November 15, 2024

Pemilu 2014: Berkah Partisipasi dan Keterbukaan

Pemilu 2014, proses dan hasilnya, merupakan momen sangat penting bagi Indonesia sebagai negara demokrasi. Negara bhineka dengan ragam dimensinya telah menyelenggarakan pemilu dengan damai dan disepakati. Ini pun memperpanjang demokratisasi tanpa kudeta pasca-pelenyapan demokrasi selama 30-an tahun.

Apa sebab? Apa hal yang bisa menjawab terselenggara dan diterimanya pemilu legislatif bersistem proporsional terbuka 12 partai nasional ditambah 3 partai lokal dengan besaran dapil 3 sampai 12 kursi dan sistem pemilu mayoritarian 4 kursi beserta pemilu eksekutif dua pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan dua polarisasi massa yang kuat?

Banyak sebab. Tapi tulisan ini ingin menjawab, ada dua hal. Partisipasi dan keterbukaan. Partisipasi masyarakat dalam mengadvokasi regulasi pemilu telah menghasilkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu dan UU No. 8/2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD mendorong iklim pemilu yang partisipatif dan transparan. Tak ideal memang tapi sangat bisa dibilang, Pemilu 2014 merupakan pemilu yang paling partisipatif dan terbuka.

Direktur eksekutif Perludem, Titi Anggraini mengatakan, Pemilu 2014 merupakan pemilu yang dalam merekrut komisioner lembaga penyelenggara pemilu menerapkan proses yang partisipatif dan transparan. Semua orang yang merasa mampu dalam kepemiluan bisa mengikuti seleksi untuk menjadi satu dari tujuh komisioner KPU RI.

Husni Kamil Manik, Ida Budhiati, Sigit Pamungkas, Arief Budiman, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, Hadar Nafis Gumay, dan Juri Ardianto merupakan komisioner KPU RI yang sebelumnya bersama 800-an orang yang mengikuti seleksi beserta rangkaian tes. Tim seleksi komisioner KPU RI yang terdiri dari dari Prof. Saldi Isra, Prof. Ramlan Surbakti, Prof. Pratikno, Prof. Siti Zuhro, Prof. Imam Prasodjo, Doktor Valina Singka Subekti, dan Anies Baswedan Phd menyerahkan tujuh nama itu bersama lima nama calon komisioner KPU RI lainnya ke DPR RI.

Deputi eksternal Perludem, Veri Junaidi mengatakan, jika kita bandingkan dengan pemilu sebelumnya, yang membedakan Pemilu 2014 yaitu adanya pandangan positif terhadap pemilu dari masyarakat dan segala pihak terkait sehingga mendorong partisipasi dan transparansi. Bukan rahasia umum jika rezim tirani Orde Baru selama 30-an tahun membentuk masyarakat yang apolitis. Dan kita semua tahu, sebelumnya pemilu merupakan salah satu bidang yang jauh dari masyarakat.

Bandingkan Pemilu 2009 dengan Pemilu 2014. Partisipasi masyarakat saat Pemilu 2009 menggunakan pendekatan negatif. Jangan pilih politisi/caleg/partai busuk atau jangan pilih caleg pelaku poligami merupakan tagline sosialisasi pada 2009. Di 2014 terma “orang baik”, “pilih orang baik”, “pilih yang bersih”, “pilih yang jujur” beserta inisiatif ragam masyarakat khususnya pemuda lebih mendominasi dalam sosialisasi pemilu.

Titi dan Veri bersama para aktivis demokrasi membentuk Koalisi Amankan Pemilu 2014. Bentuk aktivitas gerakannya yang pertama adalah mengawal seleksi komisioner KPU pada 2012. Ini gerakan masyarakat lintas bidang, baik pemilu, antikorupsi, HAM, hukum, perempuan dan lainnya. Sehingga kualitas komisioner KPU yang didapat berkualitas baik dan berkarakter partisipatif dan transparan.

Pengamat politik, Sandra Hamid menilai komisioner KPU RI yang terpilih untuk Pemilu 2014 adalah “The Dream Team”. Coba bandingkan dengan komisioner komisi lain, bahkan KPK! Ini buah dari partisipasi dan keterbukan.

Karakter keterbukaan komisioner KPU RI menjadi konsekuensi dari seleksi yang partisipatif dan transparan. Momentum awalnya saat Komisioner KPU, Ida Budhiati dalam sidang kode etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (9/11’12) mengatakan, keterlambatan pengumuman hasil verifikasi administratif partai politik dari tanggal 23–25 Oktober menjadi 28 Oktober 2012 dikarenakan lemahnya kinerja tim pendukung, Kesekretariatan KPU.

Bentuk keterbukaan sidang etik pemilu dari DKPP disikapi KPU dengan upaya perbaikan kesekretariatan KPU secara terbuka. Ketua DKPP Jimly Assiddiqie dalam sidang yang dipimpinnya itu menekankan, permasalahan KPU adalah permasalahan internal KPU yang terakumulasi sehingga berdampak pada kerja KPU pada luar lembaga.

Pengalaman itu sepertinya makin mengupayakan KPU untuk bisa terbuka. Saat pleno verifikasi administrasi tertutup meloloskan 16 (dari 34) partai ke verifikasi faktual, hasil tersebut tak dipercaya melalui proses yang semestinya. Diduga ada intervensi partai. Diduga KPU berpihak pada partai parlemen. Diduga ada berkas dokumen partai yang hilang atau tercecer.

Lalu, saat pleno verifikasi faktual, KPU memilih melaksanakannya dengan terbuka. 10 partai (tanpa PBB dan PKPI) diloloskan sebagai partai peserta pemilu dari 16 partai hasil verifikasi administrasi. Di pleno terbuka itu, kita tahu, begitu tak eloknya Profesor Yusril Ihza Mahendra sebagai perwakilan PBB dalam menilai KPU yang inkonstitusional karena mencoret PBB jadi peserta pemilu karena PBB tak memenuhi syarat 30 persen perempuan dalam pencalonan. Di situ pun kita bisa tahu, kata-kata kasar bisa mudah keluar untuk komisioner KPU dari wakil partai.

Setelah penetapan partai peserta Pemilu 2014, KPU berinisiatif mempublikasikan biodata caleg melalui websitenya. Ini pertama kalinya dalam sejarah pemilu di Indonesia. Dan ini pertama kalinya dalam tiga kali pengalaman Indonesia menggunakan sistem pemilu porporsional daftar terbuka. Biodata ini sebuah kesesuaian kebijakan KPU dalam sistem pemilu yang menekankan pada kedekatan calon dengan pemilih.

Keterbukaan KPU berbentuk publikasi biodata caleg meningkatkan partisipasi dan kepedulian masyarakat terhadap Pemilu 2014. Selain menjadi pemberitaan dan perbincangan publik, partisipasi masyarakat pun dilakukan oleh kalangan pembuat aplikasi digital seluler. Perludem merespon keterbukaan biodata caleg oleh KPU itu dengan mengadakan kompetisi aplikasi seluler pemilu. Dihasilkan puluhan aplikasi pemilu yang diapresiasi, digunakan, dan dijadikan petunjuk dalam menentukan pilihan pada Pemungutan Suara, 9 April 2014.

Jika merujuk kepada variabel yang bisa diukur secara angka, Pemilu Legislatif 2014 mencapai hasil yang baik dan melampaui target KPU (75 persen). Persentase pemilih mencapai 75,11 persen. Angka ini terbilang tinggi jika dibandingkan pemilu di negara lain. Belum lagi kalau kita mengaitkan kecenderungan partisipasi pemilih pemilu pasca-Reformasi yang turun 10 persen. Setelah partisipasi pemilih 1999 sebanyak 90 persen,  2004 80 persen, 2009 70 persen, Pemilu 2014 malah naik.

Jumlah suara sah pun bisa menggambarkan Pemilu 2014 berjalan baik. Dari peraturan KPU ditetapkan jumlah surat suara sah adalah 124.972.491. Jika jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya adalah 140.090.586 maka persentase suara sah sebesar 89 persen. Kalau kita memakai penilaian berskala 4, E untuk 0 sampai A untuk 4, maka variabel tingkat suara sah Pemilu 2014 mendapat nilai A.

Tingginya jumlah suara sah Pemilu 2014 menjadi bertambah nilai kesuksesannya karena ada di konteks rumitnya Pemilu 2014. Sistem proporsional daftar terbuka relatif tak memudahkan pemilih karena pemilih pada dasarnya didorong memilih caleg, bukan partai. KPU berinisiatif menyelamatkan suara warga dengan PKPU.

Jika merujuk pada metode dasar memilih caleg (bukan partai) di konteks sistem proporsional daftar terbuka pun Pemilu 2014 cukup berhasil. Ada 69 persen pemilih yang memilih caleg, bukan partai. Artinya, hampir 70 persen warga mengerti, Pemilu 2014 memilih caleg, bukan partai. Dan sangat mungkin ini terkait dengan partisipasi positif “orang baik” dan keterbukaan pemilu oleh KPU di antaranya dengan publikasi biodata caleg.

Sebelumnya, KPU di Pemilu 2014 menggunakan sistem daftar pemilih (Sidalih). Melalui sistem informasi berbasis internet ini, pemilih secara personal bisa mengecek status terdaftar/tidak-nya sebagai pemilih di daftar pemilih online. Ada keintiman pelayan KPU terhadap pemilih di sini. Saat pemilih melalui media pribadi kesehariannya bisa mengecek hak politiknya. Ini pun pertama kali dalam sejarah pemilu Indonesia meski pun internet sudah masuk massif di Indonesia sejak Reformasi.

Hasil penghitungan suara di Pemilu Legislatif 2014 melalui sistem hitung (Situng) pun relatif lebih diterima partai sebagai peserta pemilu. Meratanya perolehan suara pada 10 partai yang masuk parlemen menjadi keadaan aman untuk senyum bersama. Pihak yang tak bisa menerima hasil suara adalah caleg.

Perselisihan hasil pemilu yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi memang lebih banyak dibanding Pemilu 2009 dengan sistem pemilu (proporsional daftar terbuka utuh) yang sama. Tapi putusan MK dan rekomendasi penyelesaian perselisihan hasil pemilu kepada mahkamah partai menjadi akhir pemilu yang hasilnya disepakati.

Peserta pemilu, baik partai dan para caleg bisa merujuk proses penghitungan dan hasil suara. Terlepas dari daerah yang mengalamai hambatan jaringan internet dalam pengunggahan formulir hasil suara per-TPS (C1), semua pihak bisa mengetahui perkembangan hasil suara dan mendapatkan dokumen digitalnya.

Keterbukaan Situng Pemilu 2014 pun memenuhi kebutuhan mengetahui (perkiraan) hasil suara pilpres secara cepat. Transparansi data suara berformat digital melalui internet mendorong duplikasi informasi layak publik. Informasi hasil suara bertahap dan cepat dari Kawalpemilu.org tak hanya mengawal proses transparansi penghitungan suara tapi juga mengoreksi kesalahan publikasi informasi hasil suara dari pihak-pihak berkepentingan kuasa atau keuntungan materi semata.

Keterbukaan Situng Pemilu 2014 itu lah yang juga menyelamatkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014. Kita tahu bagaimana kuatnya polarisasi massa dan pemilih Prabowo dan Jokowi. Kita pun tahu, pengambilan sejumlah titik untuk memperkiraan hasil pemilu (yang biasa disebut quickcount) oleh lembaga survei akan menjadi rujukan disikapi publik dengan kebingungan soal kebenaran dan netralitasnya. Bayangkan jika formulir C1 per-TPS itu tak bisa diketahui perkembangan dan hasil akhirnya secara elektronik!

Jadi, bukan Jokowi yang mendorong partisipasi dan keterbukaan di Pemilu 2014. Selain secara angka Jokowi (dan tentu saja bersama Prabowo) hanya menarik partisipasi pemilih sebanyak 69,58 persen (dari total DPT) sebagai angka partisipasi pemilih terendah sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, partisipasi dan keterbukaan sudah hadir di ancang-ancang Pemilu 2014, jauh sebelum Jokowi dicalonkan PDIP nyapres. Bahkan kalau orang suka sebut “Jokowi’s effect”, malah Jokowi dicalonkan karena survei elektabilitas menyatakan cuma Jokowi yang bisa mengalahkan Prabowo (baca: Prabowo’s effect).

Sepertinya kita sepakat, Pemilu 2014 bukan yang ideal. Perlu juga kita menjernihkan penilaian dari sentimentil pihak atau pengalaman kita masing-masing. Apakah masalah pemilu otomatis harus menunjuk KPU sebagai kambing hitam? Apakah kesalahan di pemilu lepas dari keterkaitan partai? Apakah kompleksitas pemilu yang menyulitkan warga dan penyelenggara tak bisa menyalahkan fraksi partai di komisi II DPR RI? Atau, apakah masyarakat dan perwakilannya akan selalu menjadi pihak yang tak perlu dipersalahkan?

Yang pasti, partisipasi dan keterbukaan merupakan keharusan demokrasi. Partisipasi dan keterbukaan yang membedakan demokrasi dengan pemerintahan lain. Prinsip pemilu dalam Luber, salah satunya adalah “rahasia” tapi itu hanya berlaku di TPS, selebihnya harus terbuka.  Di konteks Pemilu 2014, partisipasi dan keterbukaan hadir sebelum pemilu keempat pasca-Reformasi memulai tahapan.

Keduanya membuat pemilu dan orang-orang yang menyelenggarakan pemilu menjadi demokratis. Pengalaman Pemilu 2014 semoga makin mendewasakan demokrasi Indonesia. 5 menit bukan hanya untuk 5 tahun tapi untuk perjalanan panjang demokra(tisa)si Indonesia.

USEP HASAN SADIKIN