November 15, 2024

Pemilu Belum Akses bagi Penyandang Disabilitas

Pemahaman dan penyikapan terhadap disabilitas yang belum kondusif menjadi sebab pemilu Indonesia belum sepenuhnya aksesibel. Masalah ini bercampur dengan banyak ragam permasalahan dan kompleksitas penyelenggaraan pemilu. Demokrasi sebagai dasar pemilu diselenggarakan membutuhkan prasyarat dan keberlanjutan negara yang tak diskriminatif.

“Pemberitaan isu disabilitas di media sudah banyak namun lebih memberitakan dan menggambarkan keunikan disabilitas. Media hanya meliput penyandang disabilitas saat memberikan suara namun tidak memiliki pesan moral yang tegas dan sering menggunakan istilah yang tidak tepat,” kata pegiat Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), M. Afiffudin dalam Pelatihan Panduan Media Untuk Pemberitaan Pemilu Akses (13/8).

Afif menjelaskan, penyandang disabilitas tak pernah meminta diistimewakan dalam pemilu. Sudah menjadi kewajiban negara menjamin semua masyarakat, yang berhak memberikan suaranya, bisa dengan mudah menggunakan haknya.

Sejak Pemilu 2014, istilah pemilu akses mulai didengungkan pegiat pemilu dan organisasi penyandang disabilitas untuk mendorong penyelenggaraan pemilu yang aksesibel bagi semua masyarakat. Tetapi “pemilu akses” dan “disabilitas” ini belum begitu dipahami masyarakat. Dilihat dari data hasil evaluasi pemilu, pemilu yang akses belum sepenuhnya terpenuhi.

Definisi dan jenis penyandang disabilitas

UU No.8/2016 tentang Penyandang Disabilitas mengartikan disabilitas. Dalam Pasal 1 Ayat (1), “penyandang disabilitas” adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Person with Disabilities) PBB pun mengartikan disabilitas. Dalam Pasal 1, penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki kekurangan fisik, mental, intelektual, atau indera dalam jangka panjang, yang dalam menghadapi berbagai sikap negatif atau hambatan fisik, dapat mencegah orang tersebut berpartisipasi penuh di masyarakat, atau secara setara dengan orang lain.

General Election Network for Disability Access (Agenda) sebagai penyelenggara pelatihan menyebutkan 7 jenis disabilitas.  Semuanya dirinci berdasarkan arti penyandang disabilitas undang-undang dan konvensi. 7 jenis diabilitas itu adalah, (1) disabilitas fisik; (2) disabilitas netra atau buta; (3) disabilitas neurologis; (4) disabilitas rungu atau tuli; (5) kondisi medis kronis; (6) disabilitas intelektual; dan (7) disabilitas psikososial atau skizofrenia.

“Ketidakmampuan seseorang untuk menjalankan aktivitas secara efektif bukan hanya disebabkan oleh disabilitas fisik, mental, dan intelektual, tetapi juga oleh lingkungan yang tidak memfasilitasi dia untuk dapat beraktivitas seperti orang tanpa disabilitas,” kata Penasehat Hak-hak Disabilitas Agenda, Tolhas Damanik.

Sebagai contoh, ketika seorang penyandang disabilitas netra tidak bisa membaca, kesalahannya terletak pada lingkungannya. Lingkungan semestinya memfasilitasi dia agar bisa membaca. Ketika lingkungan menghambat, saat itulah disabilitas terjadi.

Hak politik disabilitas dan pemilu akses

Undang-undang dan konvensi itu pun bertuliskan penyandang disabilitas mempunyai politik yang sama dengan semua warga negara. Pendidikan politik, berperan aktif dalam sistem pemilu pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya, serta memperoleh aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilu merupakan bentuk hak politik semua warga, termasuk penyandang disabilitas. Suatu kewajiban bagi Pemerintah memberikan pendidikan politik dan menyediakan pemilu akses bagi warga negara dengan disabilitas.

Hak politik yang berlaku bagi penyandang pun bukan saja mengenai hak pilih. Ada dua bentuk hak politik penyandang disabilitas yang belum menjadi pemahaman umum. Pertama, hak dipilih (mencalonkan dan terpilih). Kedua, hak menjadi penyelenggara pemilu.

Oleh sebab itu, untuk memfasilitasi penyandang disabilitas berpartisipasi secara aktif dalam pemilu, dibutuhkan pemilu yang aksesibel dan bebas dari diskriminasi atau hambatan lainnya bagi penyandang disabilitas. Pemilu akses ini penting karena menjamin para penyandang disabilitas dapat berpartisipasi dalam pemilu secara bebas, langsung, dan tanpa halangan.

“Pemilu akses itu tidak sulit. Yang penting adalah kesadaran penyelenggara bahwa ada pihak yang perlu diakomodir,” tegas Tolhas.

Yang dimaksud Tolhas bisa akseleratif terwujud dengan pemenuhan hak politik secara utuh. Jika penyandang diabilitas bisa mencalonkan dan terpilih, maka akan dikeluarkan kebijakan yang lebih akses terhadap disablitas. Jika penyandang disabilitas bisa mencalonkan dan terpilih menjadi penyelenggara pemilu, maka peraturan pemilu serta layanan dalam bentuk daftar pemilih dan TPS akan akses terhadap penyandang disabilitas. []

AMALIA SALABI