Lebih dari satu dekade pascareformasi, Indonesia belum mempunyai teknologi informasi pemilihan umum yang mapan. Pemilu 1999 TI belum berarti padahal Indonesia dipimpin “Bapak Teknologiâ€. Baru di Pemilu 2004, sistem TI pemilu dirintis dan serius diterapkan meski menyisakan tanda tanya. Di Pemilu 2009, TI pemilu yang diusahakan setengah hati dalam keterdesakan waktu, hadirkan “sulap†di rekapitulasi akhir. Kini, di Pemilu 2014 sistem teknologi informasi partai politik (Sipol) hanya disambut 11 partai baru menyertai kritik kekhawatiran TI diintervensi asing.
Fakta tersebut merupakan salah satu paradoks pemilu Indonesia. Setelah rezim otoriter Orde Baru tumbang, kebebasan informasi beserta teknologinya menjadi konsekuensi yang tak bisa dihindari. Di saat usia produktif masyarakat kepulauan ini intim dengan TI, pemilu Indonesia malah gagap teknologi. Penggunaan alat penjawab kebutuhan informasi dan memendekan jarak berkomunikasi ini tak diimbangi wawasan politik pemerintahan untuk demokrasi.
Belum merata pelayanan dan penggunaan internet, seluler juga telepon merupakan fakta yang dijadikan dalih paradoks tersebut. Meskipun TI seharusnya menjadi jawaban dari keadaan tak merata dan permasalahan jarak antar pulau. Tapi jika ada dalih itu di setiap pemilu, ini berkesan kita tak mau berniat kuat mengusahakan teknologi sekaligus tak mau percaya terhadap hasil dari prosesnya. Semuanya terakumulasi menjadi mentalitas sikap tak menerima TI dalam pemilu.
Belajar dari Idol
Intelektual multi bidang asal Inggris, Anthony Giddens menilai gerak dunia dengan kalimat “run away world“. Ini salah satu perbedaan nyata dari masa lalu dengan masa kini: kecepatan. Ya, di masa kini, isi dunia dipaksa bergerak cepat. Ada tangan tak kasat mata yang menggerakan kita mengejar capaian dalam aktivitas hidup. Semua barang atau alat yang mendukung itu harus dimiliki. Makan, minum, proses kerja hingga mobilisasi cenderung serba instan.Yang lambat, apalagi menghambat, ditinggalkan.
Bila mau relevan dengan tesis Giddens, pemilu pun harus diselenggarakan cepat. Maka TI menjadi pasti dipilih untuk kesesuaian tuntutan zaman.
Referendum popular seperti Indonesian Idol (2004-sekarang) secara cepat disimpulkan memilih “run away world” dalam seleksi alam industri tayangan televisi. Penyelenggaraannya menekankan kecepatan. Pun seperti itu dengan Akademi Fantasi Indonesia (2003-2006) sebagai perintis hingga yang terbaru (2010) dan masih gegap gempita bernama Indonesia Mencari Bakat. Bila dikalkulasi, sudah hampir satu dekade kita disuguhi penyelenggaraan sekaligus partisipasi kolosal pemilu Idol.
Cepatnya gerak dunia perlu kita istirahatkan. Berhenti sejenak untuk menengok pengalaman dan contoh sebagai referensi. Kita yang membutuhkan TI pemilu untuk menyesuaikan kecepatan gerak dunia perlu belajar dari sukses kemeriahan pemilihan ala Idol.
Di mulai dari seleksi, penekanan kualitas dilakukan terbuka dan berstandar tinggi. Joy, Mike, Ihsan, Rini, Aris, Igo, dan Regina sebagai Idol telah melewati verifikasi administrasi dan faktual dari komisioner dan pakar kaliber nasional seperti Indra Lesmana, Titi DJ, Dimas Djajadiningrat, Erwin Gutawa, Anang Hermansyah, Agnes Monica dan Ahmad Dhani. Semua didukung TI yang menekankan kecepatan para Idol dipilih publik secara langsung.
Di dalam pesta itu individu memilih berdasar simpatik menyertai keterbukaan pendapat para pakar. Alhasil publik percaya sehingga mau berpartisipasi berdasar kesenangan di waktu luang bahkan tak sedikit diprioritaskan. Nilai universal hiburan menciptakan hasil demokratis.
Kita perlu membayangkan, kita bisa memilih partai atau anggota legislatif dan presiden sebagaimana kita memilihIdol. Setelah peserta diverifikasi dan ditetapkan Komisioner KPU, kita tinggal sedikit menggerakan jari untuk menekan tombol ponsel. Menyertai pertimbangan para pakar kita mengirimkan pesan pada partai/siapa kita menjatuhkan pilihan. Lalu, beberapa menit kemudian, presiden dan partai parlemen menyertai aleg terpilih.
Semuanya serba cepat dan mudah. Kita tak perlu datang ke TPS. Tak perlu juga berlama-lama menunggu hasil pemilihan.
Kampanye pun tak perlu menggunakan waktu, tenaga dan biaya yang banyak. Kita tak perlu ke lapangan atau gedung yang mengorbankan waktu aktivitas banyak orang. Kita tak perlu pawai dan arak-arakan di jalanan yang membuat macet serta hadirkan polusi udara. Kita tak perlu pasang dan tempel sana-sini gambar calon yang mengotori wajah kota/daerah. Kampanye cukup dengan mengirimkan informasi para kandidiat seputar visi-misi, program, biografi dan lain-lain, melalui situs maya atau ke kotak e-mail para konstituen.
Kita tak tahu kapan semua hal tersebut bisa dilakukan. Tapi yang pasti, TI cepat dan hebat merupakan syarat pemilu dalam kecepatan dunia yang juga mendorong pragmatisme multidimensi. Banyak dari kita tak sempat memperhatikan tawaran ideologi, visi-misi dan program partai politik. Dalam hidup, kita didorong kuat untuk terus maju beraktivitas. Tak penting datang ke kampanye di lapangan karena besok kita perlu kerja dan berhenti berarti memutus masa depan. Ngapain kita datang ke TPS karena kerja paksa kita hadirkan dahaga liburan.
Memang, pemilihan Idol yang lebih berkepentingan pada hiburan dan bisnis tak sama dengan pemilu yang berkepentingan untuk memilih pemerintahan lima tahun ke depan. Tapi, di dalam bumi yang tinggi rotasi, pemilu harus rela ditempatkan setara atau bahkan tak lebih penting dari pemilihan Idol. Pergantian waktu yang cepat pun menumbuhkan pragmatisme partai dan entitas kuasa lain. Sehingga, apa dasar kuat bagi masyarakat untuk harus peduli terhadap pemilu yang mengkonteskan peserta gila kuasa? Tak ada yang ideologis dan empatik, tak perlulah kita berlama-lama serius memperhatikan pemilu. Karena itu, sertakan TI dalam pragmatisme menasional terhadap pemeritahan dan pemilihannya yang berkala.
Siap/tak siap kita membutuhkan TI pemilu. Bila tak siap kita bisa beli, sewa, pinjam, meminta atau menerima tawaran dari pihak asing. Toh selama ini kita beraktivitas dan hidup bahkan bergaya dengan teknologi dari pihak yang kita maknai sebagai asing. Industri stasiun televisi sukses dengan kemeriahan dan partisipasi masyarakat berkat mengadopsi kontestasi Idol yang sebelumnya asing.
Amat disayangkan jika sebagian kita malah tak menggunakan hal dari asing meskipun itu baik. Apalagi dengan mencurigai TI yang telah berhasil sebagai teknologi pemilu di beberapa negara.
Kepercayaan publik dalam tuntutan cepat demokrasi tak hanya dicapai dengan The Dream Team Komisioner KPU, seleksi berstandar tinggi, peraturan yang adil, transparansi proses dan keuangan, partai berideologi dan empatik juga calon pemimpin jujur-visioner-peduli, tapi juga TI cepat dan hebat. Dengan semua ini pemilu akan sukses dengan kemeriahan dan tinggi partisipasi layakya pemilihan Idol. []
USEP HASAN SADIKIN