Jadwal pemilu yang berserak membuat masyarakat adat terus berkonflik dan tak sempat berekonsiliasi. Akhirnya masyarakat adat hanya menjadi komoditas suara peserta pemilu. Desain pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal membuat cuma ada dua pemilu dalam lima tahun.
“Kemarin kita baru pileg. Lalu pilpres. Nanti ada pilkada kabupaten. Terus ada pilkada provinsi,” kata peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kholilullah dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara V di Desa Tanjung Gusta, Deli Serdang, Sumatera Utara (15/3).
Keadaan jadwal berserak itu membuat pemilu jadi sering dalam kurun 5 tahun. Bisa ada 4 sampai 5 pemilu. Masyarakat adat sebagai ikatan identitas kolektif selalu dijadikan basis massa pendulang suara antar peserta pemilu.
Setiap pemilu, masyarakat adat memungkinkan berkonflik bahkan bisa menyertakan kekerasan. Pemilu selesai, belum selesai rekonsiliasi antar masyarakat adat, sudah berkonflik lagi karena masuk waktu pemilu lagi.
Pemilu serentak nasional adalah pemilu yang menggabungkan pemilu presiden, DPR, dan DPD dalam satu waktu pemungutan suara. Pemilu serentak lokal adalah pemilu yang menggabungkan pemilu gubernur, bupati/walikota, serta pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota dalam satu waktu pemungutan suara.
“Dalam kurun lima tahun, hanya ada dua pemilu. Sehingga konflik bisa terkelola,” kata Kholil. []