Pemilu 2024 merupakan pemilu terburuk dalam sejarah afirmasi keterwakilan perempuan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berkewenangan menetapkan partai politik dan para calon legislator Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) malah mengabaikan undang-undang pemilu yang sudah menjamin pencalonan keterwakilan perempuan minimal 30% di tiap daerah pemilihan pemilu DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Tradisi sanksi tegas tidak menyertakan kepesertaan partai politik pada dapil terkait, seharusnya dilakukan.
“Pemilu saat ini adalah yang paling buruk dalam hal keterwakilan perempuan,” kata anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Pemilu 2009, Wahidah Suaib dalam “Quo Vadis Penyelenggara Pemilu 2024?” konferensi pers yang disiarkan langsung melalui You Tube Netgrit Channel (9/11).
Di dalam konferensi pers ini, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay membuktikan, KPU dan partai politik telah melanggar undang-undang pemilu karena tidak memenuhi pencalonan perempuan minimal 30% tiap dapil untuk pemilu DPR. KPU langsung saja menetapkan daftar calon legislator untuk 18 partai politik peserta pemilu pada 4 November 2023.
Wahidah menjelaskan, afirmasi perempuan dalam pemilu Indonesia dimulai sejak Pemilu 2004. Melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, afirmasi perempuan diwujudkan dalam bentuk keterwakilan 30% perempuan.
Pasal 65 ayat (1) U 12/2003 berbunyi: Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurangkurangnya 30%.
Dapat kita lihat, dalam ketentuan undang-undang pemilu tersebut bahwa, afirmasi keterwakilan perempuan dalam pemilu DPR dan DPRD sejak awal sudah menekankan pada pencalonan perempuan tiap dapil. Keterwakilan perempuan minimal 30% perempuan dalam pencalonan pemilu DPR dan DPRD bukan keterwakilan untuk total dapil. Karena, jika tiap dapil sudah memenuhi pencalonan perempuan minimal 30%, maka ini otomatis akan memenuhi untuk keseluruhan dapil.
“Saya berani mengatakan, KPU melanggar sembilan dari 11 prinsip pemilu,” tegas Wahidah.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 bertuliskan prinsip penyelenggara pemilu. Ada 11 prinsip yaitu: a. mandiri; b. jujur; c. adil; d. berkepastian hukum; e. tertib; f. terbuka; g. proporsional; h. profesional; i. akuntabel; j. efektif; dan k. efisien.
Wahidah menjelaskan, salah satu prinsip yang dilanggar oleh KPU, yaitu prinsip mandiri. Ketentuan afirmasi pencalonan perempuan minimal 30% tiap dapil, tidak ditaati KPU, padahal Mahkamah Agung sudah mengeluarkan putusan untuk mematuhi undang-undang pemilu. KPU tetap tidak merevisi PKPU yang diduga ada intervensi DPR.
KPU pun melanggar prinsip jujur. Para anggota KPU tidak jujur dalam menyajikan data pencalonan perempuan. Data yang disajikan adalah data rata-rata nasional atau keseluruhan dapil. Padahal, ketentuan keterwakilan perempuan dalam pemilu DPR dan DPRD adalah keterwakilan perempuan tiap dapil.
Lalu, KPU melanggar prinsip adil. KPU secara sengaja menghilangkan hak ribuan perempuan calon legislator untuk terdaftar dalam daftar calon tetap.
Selebihnya, prinsip berkepastian hukum KPU langgar dengan mengabaikan ketentuan afirmasi perempuan dalam pencalonan anggota DPR. Ini yang juga berdampak pada pelanggaran prinsip penyelenggara pemilu yang lain: tertib, terbuka, profesional, dan akuntabel.
Hadar menegaskan bahwa pelanggaran oleh KPU tersebut merupakan pelanggaran yang serius yang tidak pernah terjadi sejak adanya pengaturan afirmasi perempuan. Menurutnya, KPU bukan hanya melanggar undang-undang tapi juga menghancurkan capaian panjang afirmasi perempuan dalam pemilu.
Hadar (Netgrit) merinci data partai politik. Secara berurut dari partai yang paling banyak tidak memenuhi pencalonan perempuan 30% di tiap dapil DPR adalah sebagai berikut: PKB 29 dapil; Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 26 dapil; Partai Demokrat 24 dapil; Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 22 dapil; Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) 21 dapil; Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) 19 dapil; Partai Amanat Nasional (PAN) 17 dapil; Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Bulan Bintang (PBB) 16 dapil; Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 12 dapil; Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda) 9 dapil; Partai Buruh 6 dapil; Partai Persatuan Indonesia (Perindo) serta Partai Ummat 5 dapil; dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) 4 dapil.
“Data ini sangat tidak sesuai dengan deklarasi pemilu berintegritas yang kemarin dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Karena KPU jelas melakukan pembiaran atas pelanggaran sistem pencalonan pemilu dan amanat undang-undang,” tegas Hadar.
Sanksi tegas
Berdasar data tersebut, KPU jelas sudah melanggar UU 7/2017 tentang Pemilu. Pasal 245 bertuliskan: Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).
Dalam pasal itu, sudah jelas dan tegas bertuliskan istilah “daftar bakal calon”. Dalam pasal sebelumnya dan setelahnya, daftar bakal calon merupakan makna langsung dari satuan tiap daerah pemilihan, bukan keseluruhan.
Manajer Program Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil mengatakan, langkah diskualifikasi tersebut bisa dilakukan karena regulasi dan undang-undang yang digunakan pada Pemilu 2024 tidak berubah. Hal itu juga dilakukan pada Pemilu 2014 dan 2019, yang mendiskualifikasi partai pada tiap dapil yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan 30% pada daftar caleg tiap dapil.
Fadli juga mendesak Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) melakukan pengawasan dan penanganan pelanggaran. Sikap ini seharusnya tanpa menunggu adanya laporan dari masyarakat atau peserta pemilu. Menurutnya yang paling penting dari proses penyelenggaraan pemilu adalah tertib hukum.
Anggota KPU 2012-2017, Ida Budhiati juga meminta Bawaslu menyampaikan kepada seluruh pemangku kepentingan pemilu mengenai hal ini. Harus ada hasil pengawasan pada tiap tahapan pemilu.
Ida pun mengingatkan bahwa DKPP punya otoritas untuk mengoreksi perilaku anggota penyelenggara pemilu. Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) 2017-2022 ini mencontohkan, misalnya perilaku anggota KPU yang gagal memahami kerangka hukum pemilu dan perilakunya yang tidak menopang tercapainya tujuan pemilu.
“UU Pemilu dalam Pasal 4 mengatakan, tujuan pengaturan pemilu yang pertama adalah memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis” jelas Ida.
Sementara itu Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan adalah agenda demokrasi yang dijamin dalam undang-undang pemilu. Amanah ini harus dijaga dan ditegakkan bersama, khususnya oleh penyelenggara pemilu.
“Berbagai penyimpangan dalam pemilu harus dikoreksi,” ucap Titi. []
USEP HASAN SADIKIN