Kasus pencatutan data warga dalam proses pendaftaran jalur perseorangan di Pilkada DK Jakarta 2024 ramai di media sosial. Keluarga mantan gubernur DK Jakarta, Anies Baswedan turut menjadi korban pencatutan. Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) membuka posko aduan untuk warga yang mengalami pencatutan data.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, pencatutan data warga sebagai pendukung bakal calon perseorangan merupakan pelanggaran pidana, apabila terbukti merupakan tindak manipulasi. Sanksi pidana tak hanya dapat dikenakan kepada bakal pasangan calon (paslon), namun juga penyelenggara Pilkada yang melakukan verifikasi terhadap dukungan calon. Bakal paslon juga dapat didiskualifikasi dari kompetisi.
“Kalau terbukti manipulasi, dan ternyata jumlah dukungannya tidak seperti yang diserahkan ke KPU, bisa didiskualifikasi, dinyatakan TMS (tidak memenuhi syarat). Dan ada unsur pidana yang bisa dikenakan kepada calon yang memanipulasi data, dan KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang tidak melakukan proses verifikasi secara akurat,” tandas Khoirunnisa pada diskusi “Dugaan NIK KTP Dicatut Harus Diusut” yang disiarkan oleh Metro TV pada Minggu (18/8).
Pasal 185A UU Pilkada No.10/2016 memberikan sanksi bagi setiap orang yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, dan denda paling sedikit Rp36juta dan paling banyak Rp72juta. Bagi penyelenggara Pilkada, sanksi pidana ditambah sepertiga dari ancaman pidana maksimum.
Kemudian, Pasal 185B dapat menjerat anggota PPS, PPK, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota KPU Provinsi, dan/atau petugas yang diberikan kewenangan melakukan verifikasi dan rekapitulasi, yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap dukungan calon, dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, dan denda paling sedikit Rp36juta dan paling banyak Rp72juta.
“Sanksi untuk KPU dan jajarannya, kalau tidak secara akurat melakukan verifikasi. Jadi, ada persoalan tata kelola proses Pilkada, apakah prosesnya dilakukan dengan jujur sejak awal atau tidak,” ungkap Khoirunnisa.
Ia menambahkan bahwa masalah pencatutan data warga dalam proses pencalonan di pilkada merupakan buntut dari beratnya syarat pencalonan dari jalur perseorangan. Selain harus mengumpulkan dukungan sebanyak 6,5 sampai 10 persen dari jumlah penduduk yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT), verifikasi faktual dilakukan dengan metode sensus.
“Syarat pencalonan ini sulit. Harus dicek satu persatu apakah yang bersangkutan betul-betul memberikan dukungan kepada bakal calon perseorangan. Ini proses yang sulit,” tutup Khoirunnisa. []