Debat konstitusionalitas ketentuan ambang batas pencalonan presiden sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa permohonan yang menginginkan agar ambang batas pencalonan presiden dibatalkan dalam pelaksanaan pemilu serentak ditolak oleh MK. Sebagai sebuah putusan lembaga peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, putusan ini tentu harus dihormati. Apalagi putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir, yang sifat putusanya mengikat dan berlaku umum (erga omnes).
Namun, sebagai sebuah sandaran konsitutsionalitas norma hukum yang menyangkut sistem ketatanegaraan, putusan MK mesti dilihat secara mendalam. Apalagi putusan kali ini memutus mekanisme pencalonan presiden, yang sesungguhnya sudah diatur di dalam konstitusi UUD NRI 1945. Cara berfikir hakim MK patut untuk diungkap dan dilihat lebih detail. Putusan ini juga tidak disepakati secara bulat oleh 9 hakim konstitusi. Dua orang hakim konstitusi, Saldi Isra dan Suhartoyo menyampaikan pendapat berbeda. Keduanya memandang bahwa permohonan untuk membatalkan ketentuan ambang batas pencalonan presiden harusnya dikabulkan.
Tak Menjawab
Di dalam bagian pertimbangan hukum pada perkara pengujian ketentuan ambang batas pencalonan presiden, terdapat enam kali frasa penguatan sistem presidensial diulang oleh MK. Bahkan narasi penguatan sistem presidensial ini menjadi bagian pertama yang dipertimbangkan oleh MK dalam memutus permohonan ini. Selain frasa penguatan sistem presidensial, pada bagian pertimbangan hukum juga terdapat sebelas kali frasa penyederhanaan partai politik diulang oleh MK.
Semangat penyederhanaan partai politik ini ditarik dari logika, bahwa dengan adanya ambang batas pencalonan presiden, nantinya partai politik yang banyak, perlahan-lahan akan berubah menjadi satu partai politik besar atas dasar kesamaan platform. Salah satu rekayasa sistem pemilu yang diyakini MK dapat melakukan penyederhanaan partai politik adalah dengan memberlakukan ambang batas pencalonan presiden. Dua hal ini yang menjadi pendekatan dominan di dalam pertimbangan hukum MK. Dengan pertimbangan itu, MK sampai kepada kesimpulan untuk menolak membatalkan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dalam pelaksanaan pemilu serentak.
Namun, kalau melihat basis persoalan konstitusional yang dibawa oleh para pemohon ke MK, sesungguhnya bukanlah persoalan penguatan sistem presidensil dan penyederhanaan partai politik. Enam permohonan pengujian Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 sama sekali tidak hendak memperkarakan, apakah ambang batas pencalonan presiden berkesesuaian dengan semangat penguatan sistem presidensil dan penyederhanaan partai politik. Alasan kenapa tidak dua hal tersebut yang dimohonkan ke MK, karena memang dua hal itu tidak disebutkan secara eksplisit di dalam konstitusi. Lebih lagi, penguatan sistem presidensil dan penyederhanaan partai, bukanlah persoalan konstitusional yang mesti dijawab oleh MK.
Hal mendasar yang dimohonkan oleh pemohon adalah, apakah dengan adanya pembatasan mininmal jumlah kursi DPR dan jumlah suara pemilu legislatif sebagai syarat pencalonan presiden, sesuai dengan makna pencalonan presiden di dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 atau tidak. Bukankah dengan adanya syarat jumlah kursi DPR dan jumlah suara hasil pemilu legislatif itu telah mereduksi makna Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, yang memberikan kesempatan kepada partai politik yang memenuhi syarat menjadi peserta pemilu bisa mengajukan pasangan calon presiden. Hal ini yang tidak dijawab oleh MK. Padahal, pembatsaan mekanisme pencalonan presiden itu secara tegas dan terbatas (expresis verbis) disebutkan oleh UUD NRI 1945. Poin ini juga yang menjadi salah satu argumentasi yang disampaikan oleh dua hakim konstitusi yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), Saldi Isra dan Suhartoyo.
Logika berfikir 7 hakim MK yang menolak permohonan ini justru jauh kearah yang tidak seharusnya. Pertimbangan MK malah fokus kepada frasa alternatif di dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 “atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum” yang disebut constitutional engineering untuk memperkuat sistem presidensial, sekaligus menyederhanakan partai politik.
Padahal, frasa “atau gabungan partai politik” itu derajatnya satu tingkat dibawah frasa awal Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 yang mengatakan “pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik…” peserta pemilihan umum. Artinya, setiap partai politik yang sudah ditetapkan menjadi peserta pemilihan umum adalah organ yang berhak mengajukan pasangan calon presiden. Tetapi, kepada partai politik itu diperbolehkan untuk bergabung dengan partai politik lain jika hendak mengusung pasangan calon presiden yang sama. Tetapi, bergabung itu sifatnya adalah pilihan. Partai politik tidak bisa dipaksa bergabung sebagaimana ketentuan ambang batas pencalonan presiden untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kontradiksi
Ditinjau dari teori ilmu politik dan sistem pemerintahan, menjadikan ambang batas pencalonan presiden sebagai alat untuk memperkuat sistem presidensial adalah sesuatu yang keliru. Bahkan, gagasan itu bisa dikatakan kontradiksi dari tujuan penguatan sistem presidensil. Jika pencalonan presiden digantungkan dengan suara hasil pemilu legislatif, ini tentu sebuah kebijakan yang justru melemahkan posisi presiden. Karena, sedari pencalonan saja, presiden sudah dipaksa untuk terlibat dengan transaksi suara dan dukungan kursi partai politik untuk bisa menjadi calon presiden. Padahal, presiden dan legislatif atau DPR adalah jabatan yang sama-sama mendapatkan mandat langsung dari rakyat. Harusnya, kalau memang ingin memperkuat, tidak seharusnya pencalonan Presiden dan DPR justru bergantung satu sama lain.
Selain itu, di dalam Putusan 53/PUU-XV/2017, secara jelas terlihat inkonsistensi MK dalam menilai perlakuan berbeda terhadap partai politik atau calon peserta pemilu. Untuk pertimbangan hukum dalam persoalan verifikasi partai politik, MK menyebutkan di dalam pertimbangan [3.13.3] halaman 111, “Norma UU Pemilu tidak boleh memuat norma yang pada pokoknya mengandung perlakuan berbeda terhadap calon peserta pemilu, sebab perlakukan berbeda pertentangan dengan ha katas kesempatan yang sama dalam di dalam hukum dan pemerintahan”. Atas pertimbangan ini, MK menilai bahwa verifikasi faktual terhadap seluruh partai politik calon peserta pemilu mesti dilakukan tanpa kecuali.
Namun, di dalam pertimbangan terkait ketentuan ambang batas pencalonan presiden, MK menilai tidak ada ada perbedaan perlakuan atau tindakan diskriminasi terhadap partai politik yang terhalang dan tidak bisa mengajukan pasangan calon presiden, karena ketentuan syarat minimal jumlah kursi dan minimal suara hasil pemilu legislatif. Apalagi, di dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017, syarat jumlah kursi DPR atau suara pemilu legislatif, diambil dari hasil Pemilu 2014. Padahal, untuk Pemilu 2019 nanti, sangat mungkin tidak semua partai politik peserta pemilu sudah memiliki hasil Pemilu 2014.
Inkonsistensi sikap, apalagi masih dalam putusan yang sama, tentu saja sesuatu yang mengejutkan, dan tidak harusnya terjadi. Tetapi, lepas dari semua itu, hal ini sudah diputus oleh MK. Biarlah sejarah yang mencatat, jaminan hak mencalonkan presiden dan wakil presiden oleh setiap partai politik peserta pemilu sudah tereduksi oleh putusan ini. Dengan putusan ini juga keinginan untuk mendapatkan sebuah sistem pencalonan presiden yang adil dan demokratis mesti menunggu entah untuk waktu berapa lama lagi. []
FADLI RAMADHANIL
Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)