Setelah sempat tertunda, pelaksanaan pilkada serentak akhirnya bulat ditetapkan pada tanggal 9 Desember 2020. Pilkada kali ini diramalkan bakal menumpuk sejumlah tantangan dan potensi kerawanan. Lantas, bagaimanakah peran penyiaran menyukseskan gelaran pilkada serentak?
Berdasarkan rilis Bawaslu terbaru terkait Indeks Kerawanan Pilkada Serentak 2020, titik kerawanan penyelenggaraan pilkada berpotensi terjadi pada empat dimensi yaitu, konteks sosial-politik, penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, kontestasi dan partisipasi. Variabel dan indikatornya menggambarkan kondisi kerawanan pilkada di 261 kabupaten/kota dan 9 Provinsi di Indonesia. Termasuk diantaranya 9 kabupaten/kota di Kalimantan Timur.
Sebelumnya, Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, telah lebih dulu mengidentifikasi tiga potensi ancaman kerawanan dalam pelaksanaan Pilkada 2020. Pertama, polarisasi di tengah masyarakat akibat penyebaran informasi lewat media sosial. Kedua, politik identitas dan politisasi isu SARA. Ketiga, keberpihakan dan ketidaknetralan penyelenggara pilkada kepada salah satu pasangan calon.
Di masa pandemi, kerawanan pilkada bisa jadi semakin menguat dan berkembang. Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggaraini, menguraikan ada 10 potensi kerawanan pilkada serentak jika pemungutan suaranya berlangsung di bulan desember 2020 antara lain, menguatnya politik transaksional akibat ekonomi masyarakat semakin terpuruk, politisasi dan kampanye terselubung menggunakan program penanganan Covid 19, gangguan profesionalisme dan integritas penyelenggara, ASN dan birokrasi daerah yang tidak netral, pelaksanaan tahapan pilkada bermasalah, meluasnya penyebaran kampanye jahat melalui media digital, politik biaya tinggi, konflik internal partai, menguatnya skeptisme pemilih dan potensi petugas, peserta, dan masyarakat pemilih terpapar Covid-19.
Urgensi penyiaran dalam pilkada
Dalam kaitan itulah andil penyiaran dibutuhkan. Relasi penyiaran bertalian erat dengan pilkada sebagai konsekuensi kedudukan media sebagai pilar demokrasi. Penyiaran merupakan pilar sekaligus instrumen berharga untuk mewujudkan pilkada yang demokratis. Melalui pilkada yang demokratis kesempatan mendapatkan pemimpin yang ideal dan sesuai nurani rakyat lebih terbuka.
Ada empat aspek fundamental yang mendudukkan penyiaran sebagai entitas penting dalam pilkada. Pertama, Hak publik untuk mengetahui informasi tentang pilkada secara utuh dan menyeluruh. Kedua, Hak dan kewajiban lembaga penyiaran untuk menginformasikan secara adil dan setara. Ketiga, Hak peserta pilkada untuk menggunakan media sebagai sarana komunikasi politik dan pendidikan politik. Keempat, Hak dan kewajiban penyelenggara pilkada untuk mensosialisasikan setiap perkembangan pilkada secara transparan dan profesional.
Menyikapi berbagai tantangan dan potensi kerawanan, peran lembaga penyiaran sebagai pilar demokrasi dituntut agar semakin nyata dan membumi. Lembaga penyiaran harus mengaktifkan seluruh sumber daya dan kredibilitas yang dimilikinya demi menyukseskan pilkada serentak.
Peran krusial penyiaran
Pertama, Menjaga Kredibilitas Informasi. Lembaga penyiaran harus berposisi penyeimbang dan menjadi rujukan kredibel di tengah banjir informasi, khususnya yang bersumber dari media sosial. Informasi yang berseliweran perlu diverifikasi dengan mengacu pada prinsip dan kaidah jurnalistik. Dalam konteks kontestasi, lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitasnya dengan berkiblat pada regulasi maupun standar etika yang ada.
Dalam Standar Program Siaran (SPS) Komisi Penyiaran Indonesia, eksplisit menggariskan bahwa program siaran wajib menyediakan waktu yang cukup bagi peliputan pilkada dengan prinsip adil dan proporsional (pasal 71). Lembaga penyiaran dilarang memihak atau menunjukkan warna pemberitaan yang berbeda antar peserta pilkada. Pemberitaan dan peliputan antar peserta pilkada harus diimplementasikan secara imparsial, setara dan seimbang. Baik dalam takaran kuantitas maupun kualitasnya.
Kedua, Menggiatkan Literasi Politik. Lembaga penyiaran harus concern terhadap agenda literasi politik. Dalam arti sederhana literasi politik adalah senyawa antara pengetahuan, sikap dan kemampuan dalam menyikapi realitas politik (Bakti: 2012). Tujuan luhur dari literasi politik untuk menghidupkan kesadaran warga agar mau dan mampu terlibat dalam agenda politik serta berpolitik secara rasional, kritis dan bertanggung jawab. Sehingga selain berperhatian juga memiliki kepedulian untuk terlibat dalam proses politik yang dinamis. Suburnya politik identitas dan politisasi isu SARA merupakan akibat kronis dari apatisme dan rendahnya literasi politik di tengah masyarakat.
Secara praktis lembaga penyiaran dapat menggelar dialog atau talkshow mengundang para opinion leader seperti tokoh agama, tokoh adat, akademisi, pimpinan ormas, budayawan dan para influencer untuk mencerahkan masyarakat melalui pesan-pesan sejuk tentang keragaman dan urgensi partisipasi dalam membangun daerah. Dengan semakin meningkatnya literasi politik diharapkan dapat meminimalisasi residu pilkada semisal politik identitas dan SARA.
Ketiga, Mengampanyekan Literasi Media. Untuk meminimalisir potensi kampanye jahat dan polarisasi di tengah masyarakat akibat penyebaran informasi sesat, lembaga penyiaran dapat melakukan upaya preventif, seperti menggalakkan literasi media kepada seluruh lapisan masyarakat agar memahami bagaimana mendeteksi dan menyikapi hoaks, disinformasi, ataupun berita yang beraroma provokasi. Literasi media secara fungsional akan melahirkan masyarakat berdaya dan selektif mengonsumsi informasi yang bersumber dari beragam media.
Lembaga penyiaran dapat melakukan kajian internal seputar informasi hoaks lalu mengeksposnya atau menghadirkan pakar dan analis media untuk mengemukakan treatment serta diseminasi hasil riset terkait hoaks dan disinformasi pilkada. Disamping itu, lembaga penyiaran dapat mengembangkan kemitraan dengan institusi dan para pegiat literasi media seperti Diskominfo, KPID, kampus, ormas/okp dan seluruh komunitas pemerhati media yang eksisting di Kaltim untuk mengisi program siaran yang berkaitan agenda literasi media.
Keempat, Mempertajam Fungsi Pengawasan. Dalam membantu pencegahan terjadinya politik transaksional dan pragmatisme politik, lembaga penyiaran dapat mengintensifkan sosialisasi melalui iklan layanan masyarakat, dengan mencantumkan hotline atau saluran pengaduan, agar masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam mengawasi. Fungsi pengawasan ini bisa diperluas, bukan hanya untuk saluran pelaporan kegiatan politik transaksional, tapi juga ke wilayah yang sifatnya berpotensi mengganggu pilkada, seperti ketidak-netralan ASN, potensi penyalah-gunaan bantuan pemerintah, dan gangguan profesionalisme dan integritas penyelenggara pilkada.
Pilkada serentak merupakan hajat demokrasi yang sangat bermakna. Kebermaknaannya terletak pada harapan akan lahirnya pemimpin yang representatif dan perubahan yang diartikulasikan melalui peran kepemimpinan yang transformatif. Oleh karena itu, pilkada harus ditekadkan untuk mencapai kualitas terbaik, baik secara teknis maupun pencapain secara etis. Maka, suksesnya pilkada serentak bukan hanya harapan pihak penyelenggara saja, melainkan mimpi kita semua. Untuk itulah, lembaga penyiaran wajib hadir untuk memastikan agar mimpi itu dapat terwujud. []
ANDI MUHAMMAD ABDI
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalimantan Timur