Rancangan Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) memuat ketentuan partai politik peserta pemilu menyertakan 30 persen keterwakilan di kepengurusan partai. Ketentuan ini perlu disikapi positif secepat mungkin bagi perempuan masuk dan aktif di partai. Partai membutuhkan calon perempuan karena diwajibkan dan para perempuan butuh terlibat berpolitik.
“Dalam pengalaman saya, partai mempertimbangkan dan mengapresiasi keterlibatan perempuan dalam kepengurusan. Jadi perlu banyak perempuan masuk dan aktif di partai. Satu hingga dua tahun untuk nanti dicalonkan,” kata Anggota Dewan Komisi II dari Fraksi Partai Golongan Karya, Hetifah Sjaifudian pada diskusi “Perempuan di Pilkada 2017 dan Politik Afirmasi UU Pemilu” di Gandaria, Jakarta Selatan (28/11).
Hetifah menyayangkan jika tuntutan keterwakilan perempuan dalam pencalonan yang tak menyeluruh. Di pihak partai hanya sekedar menggugurkan persyaratan. Di pihak para perempuan yang sekedar mencalonkan untuk kemudian terpilih tanpa punya keterhubungan kepada partai secara organisasi.
“Jadi perempuan yang dicalonkan partai, memang perempuan yang sudah terlibat dalam pendidikan politik dan aktivitas internal partai. Bukan perempuan yang satu dua hari atau minggu langsung menjadi caleg,” tegas Hetifah.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menambahkan, regulasi dan sikap perempuan harus saling menyambut. Jangan lagi ada keadaan partai kesulitan mencalonkan perempuan. Di luar partai pun merasa para perempuan kesulitan untuk menjadi calon melalui partai.
“Ini regulasi yang perlu kita apresiasi. Kualitas perempuan bisa ditingkatkan dengan upaya mendorong perempuan hadir dalam struktur pengurus harian dan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan internal partai,” ujar Titi. []