Ambang batas pencalonan presiden yang disebut dalam konteks Indonesia sebagai presidential threshold, alih-alih presidential nomination threshold yang digunakan secara internasional, telah ditentang oleh masyarakat sipil sejak pertama kali wacananya disebut oleh Pemerintah pada rapat Panitia khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu di bulan-bulan terakhir tahun 2016. Sebelumnya, pada 21 Agustus 2016, Tim Pakar Pemerintah dalam Penyusunan RUU Penyelenggaraan Pemilu, Dani Syarifudin Nawawi mengatakan Pemerintah menyediakan dua pilihan untuk isu pencalonan presiden-wakil presiden. Satu, semua partai peserta Pemilu 2019 berhak mencalonkan presiden-wakil presiden. Dua, hanya partai yang memiliki kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berdasarkan hasil Pemilu 2014 yang dapat mengusulkan calon (Baca: http://rumahpemilu.org/13-isu-strategis-uu-pemilu-versi-pemerintah/).
Ambang batas pencalonan presiden lantas mempertahankan posisinya sebagai salah satu isu strategis sepanjang pembahasan RUU Pemilu, yang keputusannya ditentukan melalui pilihan paket bersama empat isu strategis lainnya. Pansus RUU Pemilu mengeluarkan lima paket pilihan, yang hanya satu diantaranya yang tidak menerapkan ambang batas pencalonan presiden, yakni Paket B (Baca: http://rumahpemilu.org/lima-paket-isu-krusial-diumumkan/). Bahkan, pada rapat kerja RUU Pemilu terakhir (13/7/2017), Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa sikap Pemerintah adalah kukuh terhadap ambang batas pencalonan presiden minimal 20 persen dari kursi DPR RI. Aturan 20 persen dinilai teruji menghasilkan presiden yang dipilih oleh rakyat dengan perolehan suara 50 persen dan sedikitnya 20 persen di tiap provinsi. Tjahjo bahkan mengatakan Pemerintah akan undur diri dari pembahasan RUU Pemilu jika ambang batas pencalonan presiden tak disepakati 20 persen.
“Kalau Pemerintah dikatakan kaku atau kekeuh, itu semata-mata karena dari kacamata Pemerintah, masalah ini sudah menjadi bagian yang sudah baik dan harus dipertahankan,” kata Tjahjo pada rapat kerja di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan (13/7). (Baca: http://rumahpemilu.org/sikap-pemerintah-atas-lima-isu-krusial-di-raker-akhir-ruu-pemilu/)
Alhasil, sidang paripurna penetapan lima isu strategis di dalam RUU Pemilu berjalan alot. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), Fraksi Partai Golongan Karya (F-Golkar), Fraksi Partai NasDem, Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (F-Hanura), dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) memilih Paket A. Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (F-Gerindra), Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) memilih Paket B. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) gamang menyatakan sikap (Baca: http://rumahpemilu.org/rapat-paripurna-ruu-pemilu-diskors-mayoritas-minta-waktu-tambahan-untuk-musyawarah-mufakat/). Paket A akhirnya disahkan oleh Ketua DPR RI, Setya Novanto. Empat fraksi mengundurkan diri, yakni F-Gerindra, F-PAN, F-Demokrat, dan F-PKS.
“Kami memutuskan untuk tidak ikut ambil bagian. Kami tidak ingin melanggar konstitusi. Bagi kami, presidential threshold itu melanggar konstitusi,” ujar anggota F-Demokrat, Benny Kabur Harman (Baca: http://rumahpemilu.org/voting-atas-dua-paket-isu-krusial-akan-diputuskan-malam-ini-empat-fraksi-undur-diri/).
Dalam diskusi-diskusi, penentangan disuarakan
Dalam catatan pemberitaan rumahpemilu.org, setidaknya terdapat tujuh organisasi masyarakat sipil yang terang menyatakan penentangan terhadap ambang batas pencalonan presiden sejak pembahasan RUU Pemilu. Tujuh organisasi tersebut yakni, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Indonesia Corruption Watch (ICW), Komite Independen Pemantau Pemilihan (KIPP), Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), dan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas. Beberapa pegiat demokrasi dan pakar pemilu juga terdengar lantang menyuarakan ketidaksetujuan terhadap ambang batas pencalonan presiden, seperti Effendi Ghazali, Wahidah Suaib, Bivitri Susanti, dan Djayadi Hanan.
Penentangan masyarakat sipil santer terdengar dalam diskusi-diskusi publik yang diselenggarakan. KoDe Inisiatif, melalui diskusi “Pasal Inkonstitusional dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu” (3/11/2016) misalnya, menyatakan bahwa ambang batas pencalonan presiden tak sesuai dengan konsep pemilu serentak. Semestinya, semua partai yang dinyatakan lolos menjadi partai politik peserta pemilu dapat mengusulkan pasangan calon. Konsolidasi demokrasi tak dapat dilakukan jika mengacu pada hasil perolehan suara Pemilihan Legislatif lima tahun sebelumnya(Baca: http://rumahpemilu.org/syarat-ajukan-capres-di-ruu-pemilu-tak-sesuai-konsep-pemilu-serentak/).
Perludem juga mengadakan serial diskusi untuk mengawal tarik ulur isu ambang batas pencalonan presiden. Begitu pula dengan JPPR. Koordinator JPPR, Sunanto mendorong DPR untuk memilih paket B guna mendorong partisipasi publik secara luas dan tak memperparah oligarki dalam politik Indonesia (Baca: http://rumahpemilu.org/jppr-himbau-anggota-dpr-pilih-paket-b/). Wahidah Suaib menggalang suara kelompok perempuan untuk turut menentang ambang batas pencalonan presiden sebab kebijakan ini mempersulit munculnya perempuan capres atau cawapres.
Melawan di jalur hukum
Penentangan terhadap ambang batas pencalonan presiden berlanjut ke ranah hukum. Perludem, KoDe Inisiatif, dan Hadar Nafis Gumay mengajukan uji materi Pasal 222 UU Pemilu kepada Mahkamah Konstitusi (MK) (6/9/2017). Koalisi masyarakat sipil ini memandang Pasal 222 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UU Dasar (UUD) 1945 karena memperlakukan partai politik peserta pemilu secara berbeda dalam mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden (Baca: http://rumahpemilu.org/perludem-gugat-pasal-222-uu-no-7-2017-ke-mk/).
“Kita tidak bisa meloloskan pasal-pasal di UU Pemilu yang bertentangan dengan UU. Kita berhak punya pemilu yang adil dan konstitusional, dan ini kepentingan kita sebagai warga negara. Lagipula, di Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 tertulis bahwa calon presiden dan calon wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Artinya, partai politik dapat mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden tanpa harus bergabung dengan partai politik lain,” tandas Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini di gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat.
Hadar memperkuat argumen Titi. Ia menerangkan bahwa persyaratan dan tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden (wapres) telah selesai diatur oleh konstitusi sehingga tak perlu ada aturan lainnya. Ambang batas pencalonan presiden merupakan akal-akalan pembuat undang-undang dan pemerintah yang berdampak pada tertutupnya ruang bagi majunya warga negara potensial yang memiliki gagasan segar untuk pembaruan dan perbaikan. Ambang batas pencalonan presiden pun tak diterapkan oleh negara lain yang juga menerapkan pemilu serentak dalam sistem presidensial (Baca: http://rumahpemilu.org/sistem-pemilihan-presiden-indonesia-telah-selesai-di-konstitusi/).
“Di Korea Selatan misalnya, semua partai politik di parlemen dan independen dapat mengajukan diri sebagai capres atau cawapres. Bahkan, setiap partai politik melakukan pre-election atau pemilihan pendahuluan sebelum menetapkan capres-cawapres,” tukas Hadar.
Tak hanya Perludem, KoDe Inisiatif, dan Hadar, Partai Idaman dan Effendi Ghazali, figur yang berada di balik putusan MK tentang pemilu serentak, juga menggugat ambang batas pencalonan presiden. Partai Idaman menilai ambang batas pencalonan presiden sebagai diskriminasi, sedang Effendi memandang ambang batas pencalonan presiden menciderai hak warga negara atas informasi dan pilihan politik, sebab pada Pemilu 2014, warga negara berhak pilih tak diberi informasi oleh Pemerintah bahwa pilihannya untuk Pemilihan Anggota DPR RI 2014 memiliki andil dalam penentuan partai politik pengusul paslon presiden-wakil presiden(Baca: http://rumahpemilu.org/presidential-threshold-tak-dapat-diterapkan-di-pemilu-2019/).
Uji materi Koalisi dan Effendi sukses ditolak MK. Dalam pertimbangan putusannya, MK berargumen bahwa ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan hukum terbuka yang menjadi hak pembentuk UU untuk menentukan. MK melihat ambang batas pencalonan presiden sebagai instrumen untuk memperkuat sistem presidensialisme yang dianut Indonesia (Baca: http://rumahpemilu.org/tolak-jr-pasal-222-mk-agar-sistem-presidensil-tak-rasa-parlementer/).
Tak patah arang. Perlawanan masyarakat sipil tak berhenti sampai di situ. Perludem, untuk kedua kalinya mengajukan uji materi, begitu juga dengan Effendi Ghazali. Kali ini, Juli 2018, Perludem maju bersama Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Argumentasi bertolak dari tafsir Pasal 6A ayat (2) yang dinilai Perludem sebagai kebijakan hukum tertutup. Pasal 6A ayat (2) tak memaktubkan perintah untuk mengatur lebih lanjut di UU sebagaimana Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5) yang memaktubkan perintah untuk mengatur lebih lanjut di UU. Selain itu, Pasal 6A mengatur tata cara pencalonan presiden dan wakil presiden, sementara Pasal 6 memuat syarat sebagai capres-cawapres.
“Kami menilai putusan MK belum melihat secara utuh pemaknaan terhadap konsep yang membedakan syarat menjadi capres dan cawapres, syarat pengusulan capres dan cawapres, dan tata cara pengusulan capres dan cawapres. Pasal 222 itu, dia memotong asas konstitusionalitas di dalam Pasal 6A ayat (2) tentang syarat pengusulan capres dan cawapres. Jadi, kami ingin mengatakan, untuk ambang batas pencalonan presiden, itu tidak dibuka ruang oleh UUD 1945. Karena, sudah eksplisit bahwa setiap partai politik atau gabungan partai politik boleh mengajukan capres dan cawapres, baik sendiri-sendiri maupun bergabung,” terang Titi di gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat (3/7). (Baca: http://rumahpemilu.org/titi-anggraini-bedakan-syarat-sebagai-capres-cawapres-syarat-pengusulan-capres-cawapres-dan-tata-cara-pengusulan/).
Bersamaan dengan permohonan Perludem, Nugroho Prasetyo, pendiri organisasi masyarakat (ormas) Front Pembela Rakyat turut menggugat Pasal 222 (Baca: http://rumahpemilu.org/pasal-222-coat-tail-effect-dan-kerugian-konstitusionalitas-partai-partai-baru/). Namun lagi-lagi, gayung tak bersambut. Permohonan ditolak MK dengan alasan tak ada perubahan ketatanegaraan yang membuat MK mesti merubah putusannya. Ambang batas pencalonan presiden adalah kebijakan hukum terbuka yang boleh ditetapkan oleh pembuat UU untuk tujuan efektivitas sistem presidensil. MK juga tak melihat ada pembohongan publik dalam kebijakan ambang batas pencalonan presiden dalam pemilu serentak, melainkan dampak dari masa transisi dari pemilu terpisah menjadi pemilu serentak (Baca: http://rumahpemilu.org/mk-tolak-empat-permohonan-mengenai-ambang-batas-pencalonan-presiden/). MK, di kemudian hari, disebut oleh Effendi berkontribusi pada fenomena terbelahnya masyarakat akibat hanya adanya dua paslon di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Presiden Joko Widodo terpilih kembali
Sekretaris Jenderal KIPP, Kaka Suminta menilai ambang batas pencalonan presiden sebagai langkah politik presiden petahana, Joko Widodo atau Jokowi untuk mengamankan posisinya di periode kedua. Kaka memprediksi, apabila terdapat lebih dari dua paslon dan terjadi putaran kedua, posisi Jokowi terancam. Sebab itu, Pemerintah melalui Mendagri kukuh sejak awal menyatakan sikapnya bahwa ambang batas pencalonan presiden adalah kebijakan yang tak bisa ditawar.
“Kalau buat sebagian partai dan Presiden, ya memang kepentingannya harus ada presidential threshold. Partai butuh jaminan presiden, incumbent perlu membatasi pesaing,” ujar Kaka dalam status Facebooknya (20/6/2017). (Baca: http://rumahpemilu.org/presidential-threshold-nol-persen-penting-agar-presiden-tak-tersandera-partai/)
Langkah politik tersebut terbukti berhasil dan tak menjadi senjata makan tuan. Jokowi ditetapkan sebagai presiden terpilih periode 2019-2024 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Minggu (30/6) setelah sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) diputus MK dengan menolak seluruh permohonan paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Shalahuddin Uno.
Evaluasi: ambang batas pencalonan presiden dihapus atau pemberlakuan sistem NOTA
Kritik masyarakat sipil terhadap ambang batas pencalonan presiden terus berlanjut pasca Pemilu 2019. Pada konferensi “An Agenda for Electoral Reform in Indonesia” yang diselenggarakan oleh Australian National University di kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS) (26/6), Perludem dan Burhanuddin Muhtadi, Dosen politik pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, merekomendasikan agar ambang batas pencalonan presiden dihapuskan. Argumentasi tak berubah sejak awal, yakni bahwa ambang batas pencalonan presiden tak kompatibel dengan sistem pemilu serentak, menutup ruang munculnya paslon alternatif, menimbulkan keterbelahan masyarakat, dan diskriminasi terhadap partai baru. Keduanya bahkan mengusulkan agar metode putaran kedua diabolisi dari konstitusi.
“Ambang batas pencalonan presiden menyebabkan keterbelahan masyarakat. Nah, kalau mau konsisten dengan ini, maka sistem putaran kedua di pilpres harus dihapus dari konstitusi karena itu membuat polarisasi,” tandas Burhan pada konferensi di kantor CSIS, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Jika ambang batas pencalonan presiden tetap diberlakukan, Perludem menawarkan usulan pemberlakuan none of the above (NOTA) sebagaimana diterapkan di India. Meski tidak memiliki konsekuensi hukum, keberadaan NOTA di dalam surat suara memberikan pilihan kepada para pihak yang kecewa akan pilihan paslon yang tersedia akibat sempitnya ruang pencalonan yang dibuka oleh undang-undang. NOTA akan merekam suara golongan putih (golput) politis dengan utuh, tanpa mencampurnya dengan suara golput teknis atau golput apolitis.
“Kalau ambang batas pencalonan presiden terus diberlakukan, kami akan advokasi pemberlakuan NOTA. Tujuannya, agar suara golput politis terwadahi, dan suara itu akhirnya bisa bicara dengan jelas bahwa ada sekian orang yang kecewa dengan pilihan yang tersedia,” kata Titi kepada rumahpemilu.org (1/7).
NOTA, menurut keterangan pakar pemilu dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Adhy Aman, adalah “Liberate choice against the candidate” atau membebaskan pilihan untuk menentang kandidat. Sebelum NOTA diterapkan, kelompok yang tak ingin memilih kandidat mana pun sengaja merusak surat suara agar suara menjadi tidak sah. Dengan NOTA, suara kelompok yang kecewa akan secara formal dihitung.
“Dia memformalisasi abstention. Formalisasi dissent. Blank vote itu mewakili ekspresi politik, dan secara politik berpengaruh. Di Amerika Serikat, yang pilih NOTA lebih banyak daripada yang pilih Johnson. Di Austria, NOTA juga tinggi yang milih,” ujar Adhy pada konferensi “An Agenda for Electoral Reform in Indonesia”.
Adhy kemudian menjelaskan bahwa NOTA dapat diberlakukan dengan atau tanpa konsekuensi legitimasi. Di India, suara untuk NOTA tak berpengaruh pada berjalannya pilpres. Namun di Kolombia, NOTA dapat mendiskualifikasi kandidat yang memperoleh suara lebih kecil dari suara NOTA.
“Di India, suara untuk NOTA tidak diperhitungkan, sekalipun NOTA mendapatakan suara lebih banyak dari kandidat yang menang. Yang menang tetap kandidat yang mendapatkan suara paling banyak. Tetapi di Kolombia, kandidat yang memperoleh suara lebih kecil dari suara NOTA didiskualifikasi di next round. Kalau di next round NOTA menang lagi, seperti di Spanyol, it may deprive certain parties from achieving parliamentary threshold,” jelasnya.
Lebih lanjut, NOTA terbukti meningkatkan tingkat partisipasi pemilih di tempat pemungutan suara (TPS) di Kolombia dan India. Karena semua pilihan didengar dan tergambar lewat mekanisme di bilik suara, pemilih yang ingin menyuarakan perlawanannya terhadap para kandidat dan partai politik pengusung turut hadir menggunakan hak politiknya.
Pilihan NOTA dapat dipertimbangkan saat pilihan kandidat yang tersedia amat sedikit. Adapun soal NOTA memiliki konsekuensi legitimasi seperti di Kolombia atau tidak seperti di India, adalah isu yang layak dibicarakan dalam diskursus demokrasi Indonesia pasca Pemilu 2019.