October 4, 2024

Perpu dan Dampak Penundaan Pilkada

4 Mei 2020 Presiden Joko Widodo akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020. Penamaan rinci Perpu ini tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor I Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, atau Perpu No. 2 Tahun 2020.

Perpu yang lebih dikenal sebagai Perpu Pilkada itu sudah lama ditunggu para pemangku kepentingan pilkada, pasca-KPU melalui Keputusan KPU Nomor 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020 menunda empat aktivitas tahapan pilkada serentak di 270 daerah akibat adanya bencana nasional yang disebabkan wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Tahapan pilkada yang ditunda meliputi pelantikan Petugas Pemungutan Suara (PPS), verifikasi faktual syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP), dan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih. Dengan demikian, berakhir sudah polemik soal legalitas penundaan pilkada serentak oleh KPU yang sempat ramai di publik.

Kalau dirangkum, isi Perpu Pilkada ini mencakup tiga klaster pengaturan baru. Pertama, pemilihan serentak lanjutan bisa terjadi akibat penundaan pilkada yang disebabkan sebagian besar daerah atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan. Bencana nonalam menjadi ketentuan baru yang dapat menyebabkan penundaan pilkada.

Kedua, penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak serta pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat. Mekanismenya, pemilihan serentak lanjutan dilaksanakan setelah penetapan penundaan tahapan pelaksanaan pemilihan serentak dengan Keputusan KPU diterbitkan. Ketiga, pemungutan suara serentak Pilkada 2020 yang semula di bulan September 2020, ditunda ke bulan Desember 2020 karena terjadi bencana nonalam. Namun dalam hal pemungutan suara serentak bulan Desember tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam berakhir.

Penundaan Membawa Dampak

Penundaan pilkada sebagaimana diatur Perpu Pilkada pasti membawa dampak. Bila diidentifikasi cepat, setidaknya ada lima dampak penundaan pilkada bagi para pemangku kepentingan. Meliputi dampak hukum, teknis, politik, sosial, dan anggaran. Berikut akan diuraikan dampak-dampak dari penundaan pilkada tersebut.

Kesatu, dampak hukum. Akibat penerbitan Perpu Pilkada, KPU harus melakukan penyesuaian kerangka hukum pengaturan teknis pilkada. Terutama berkaitan dengan perubahan Peraturan KPU mengenai tahapan, program, dan jadwal pilkada serentak 2020 sebagai revisi atas PKPU No. 15 Tahun 2019 jo PKPU No. 16 Tahun 2019 jo PKPU No. 2 Tahun 2020. Adanya pergeseran hari pemungutan suara dari September ke Desember 2020 serta merta menggeser pula waktu pelaksanaan tahapan-tahapan pra dan pascapemungutan suara.

Khususnya, dampak penundaan empat aktivitas tahapan pilkada pasti mengakibatkan perubahan waktu pelaksanaan tahapan-tahapan selanjutnya. Misal, pendaftaran calon, pengadaan logistik, maupun kampanye pemilihan. Selain itu, KPU juga wajib mengatur mekanisme penundaan serta tata cara dan waktu pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan sebagaimana diperintahkan Pasal 122A ayat (3) Perpu Pilkada.

Kedua, dampak teknis. Secara logis, penundaan pilkada pasti berdampak pada tata kelola teknis pilkada. Kalau dirujuk implikasi teknis pilihan pemungutan suara di bulan Desember 2020, membuat KPU harus sudah mulai menyiapkan tahapan pilkada pada Juni 2020. Artinya, akan ada irisan pelaksanaan tahapan dengan fase penanganan puncak pandemi dan masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang belum bisa dipastikan kapan akan berakhir. Melaksanakan tahapan yang beririsan dengan masa puncak pandemi memerlukan dukungan dan disiplin ketat untuk sepenuhnya patuh pada protokal kesehatan penanganan pandemi Covid-19 oleh seluruh pemangku kepentingan pilkada. Mulai dari petugas pemilihan, calon peserta pemilihan, maupun masyarakat pemilih.

Untuk itu, KPU mesti merumuskan tata kelola teknis pilkada yang sejalan dengan protokol penanganan Covid-19, terutama berkaitan dengan mekanisme interaksi antara petugas dengan pemilih maupun peserta pemilihan yang tidak beresiko penyebaran Covid-19. Misalnya saja, bagaimana tata cara teknis verifikasi faktual syarat dukungan bakal calon perseorangan, coklit data pemilih, pendaftaran calon, kampanye, pemungutan suara, maupun rekapitulasi yang sesuai kebijakan jaga jarak (physical distancing) agar tidak terpapar Covid-19.

Ini tentu saja tidak mudah. Sebab Perpu Pilkada masih menggunakan pendekatan tata kelola pilkada dalam situasi normal (tanpa pandemi/krisis), karena materi muatannya tidak membuat pengaturan soal penyesuaian pelaksanaan tahapan pilkada agar sejalan dengan penanganan pandemi Covid-19. Perpu ini, masih mengkonstruksi keseluruhan tahapan pilkada serentak 2020 dikelola berdasarkan ketentuan yang sudah ada dalam UU Pilkada. Maka KPU harus strategis dan sigap untuk menyikapi dan mensiasatinya. Supaya saat KPU melakukan pengaturan teknis pilkada yang koheren dengan protokol penanganan Covid-19, pengaturan yang dibuat itu tidak dianggap bertentangan degan hukum ataupun melampaui kewenangan.

Ketiga, dampak politik. Konfigurasi politik daerah sangat mungkin berubah, sebagai dampak dari jeda penundaan pilkada. Sebut saja soal status mandat/rekomendasi yang sudah diberikan atau potensial diberikan pada bakal calon sangat mungkin berubah dan berganti pada orang lain akibat perubahan elektabilitas atau posisi politik para aktor politik di daerah. Selain itu, konsolidasi politik tim bakal calon pasti makan waktu lebih panjang karena durasi pra kompetisi yang mundur sampai Desember 2020, tentu ini akan mengakibatkan dinamika tersediri di internal maupun eksternal tim pendukung calon.

Dampak lainnya adalah kebutuhan yang makin besar pada dukungan keuangan atau pendanaan untuk logistik kerja-kerja politik calon. Biaya politik (political cost) yang harus dikeluarkan calon baik untuk merawat konstituen maupun menjaga elektabilitas mereka menjadi makin tinggi. Hampir semua parpol meminta para calon melakukan survei elektabilitas yang dibiayai oleh calon semdiri, dan survei ini biasanya dilakukan oleh lembaga survei yang telah ditunjuk partai. Belum lagi dilakukannya kembali uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) oleh parpol terhadap para calon, berakibat pula pada biaya tambahan yang harus dikeluarkan.

Politik biaya tinggi ini bisa mengakibatkan kompetisi yang tidak sehat dan tidak setara pada para calon yang tidak memiliki banyak modal. Ini tentu mengancam dan bisa menurunkan kualitas demokrasi lokal kita. Lain halnya kalau pilkadanya ditunda ke 2021. Para calon bisa sekalian menunda semua aktivitas politik mereka di 2021 yang berkaitan dengan partai ataupun pencitraan elektoral, dan bisa kembali berkonsentrasi untuk menyiapkan segala sesuatunya di tahun depan saat tahapan pilkada sudah dimulai lagi. Mereka relatif bisa bernafas dan mampu pula mengatur ulang strategi serta mengumpulkan sumber-sumber pendanaan baru.

Keempat, dampak sosial. Secara sosial, dilakukan penundaan pilkada bisa membuat masyarakat melihat pandemi Covid-19 sebagai persoalan serius, karena Covid-19 sampai bisa mengakibatkan tertundanya agenda rutin lima tahunan pilkada serentak. Masyarakat juga secara sosial melihat penundaan merupakan langkah yang diambil agar semua pihak serius menangani Covid-19 sehingga pilkada serentak lanjutan pascapenundaan bisa terkelola dengan lebih baik tanpa terganggu oleh kekhawatiran pada paparan Covid-19.

Akan tetapi, kalau pelaksanaan tahapan pilkada pascapenundaan ternyata tetap beririsan dengan masa penanganan puncak pandemi Covid-19, hal itu juga bisa mengakibatkan reaksi sosial yang kontraproduktif berupa skeptisme, antipati, dan pragmatisme masyarakat pada proses pilkada. Karena masyarakat menganggap aktivitas politik dilakukan kurang humanis, di saat mereka berada dalam masa sulit akibat pandemi yang berdampak pada banyak aspek kehidupan, khususnya kemampuan ekonomi warga.

Makanya pemerintah, DPR, dan KPU sudah selayaknya tidak mengabaikan kondisi psikososial masyarakat akibat ekses pandemi Covid-19 yang mereka rasakan. Memaksakan pilkada di waktu yang tidak tepat bukan hanya mengancam kualitas pilkada, tapi juga bisa menurunkan reputasi pemerintah, DPR, dan KPU di mata masyarakat.

Terakhir, kelima, dampak anggaran. Akibat penundaan pilkada, perlu daya dukung anggaran ekstra untuk memenuhi segala fasilitas yang sejalan dengan protokol penanganan Covid-19. Ada resiko yang bisa membahayakan kesehatan dan keselamatan petugas dan pemilih bila kita tidak bisa memastikan keterpenuhan fasilitas dan daya dukung untuk memproteksi mereka dari kemungkinan terpapar Covid-19 saat pelaksanaan pilkada.

Karena itu, pengalokasian dana tambahan untuk memenuhi segala fasilitas dan kebutuhan yang sejalan dengan pemenuhan protokol kesehatan penanganan Covid-19 menjadi tidak terhindarkan. Sebut saja, misalnya keperluan untuk pengadaan masker, hand sanitizer, termometer, disinfektan, dan alat pelindung diri. Kita belajar soal ini setidaknya dari Pemilu Korea Selatan yang begitu optimal menyediakan fasilitas tambahan bagi para petugas pemilihan sesuai dengan protokol penanganan Covid-19 yang diatur negara mereka, pada saat mengelola teknis pemilu parlemen mereka 15 April lalu.

Dana tambahan juga diperlukan untuk membiayai tahapan yang sebelumnya sudah pernah dilakukan, namun harus diulang kembali karena keberadaannya sudah tidak lagi bermakna/relevan. Hal itu sebagai konsekwensi tahapan pilkada yang ditunda yang menghilangkan nilai aktivitas-aktivitas yang sudah dilakukan sebelum penundaan dilakukan. Misalnya, kegiatan sosialisasi tahapan, program, dan jadwal yang sudah dilakukan sebelum penundaan, mau tidak mau harus kembali diulang karena berubahnya kerangka waktu dan substansi tahapan, program, dan jadwal pascapenundaan.

Penutup

Penundaan pilkada setelah penerbitan Perpu No. 2 Tahun 2020 harus diantisipasi dengan terencana dan menyeluruh. Pembuatan peraturan pelaksanaan pilkada dan berbagai kebijakan turunannya, termasuk penganggaran, selain harus tepat waktu dan bisa menangkap realita lapangan, juga harus dipastikan sejalan dengan kebutuhan penyelenggaraan pilkada sesuai protokol penanganan Covid-19.

Apabila realitanya berdasarkan berbagai telaah pemungutan suara memang tidak dimungkinkan terselenggara Desember 2020, KPU sebagai lembaga mandiri mesti berani cepat memgambil sikap. Agar tidak banyak kerugian hukum, politik, ekonomi, maupun sosial terjadi akibat kebijakan yang lambat, tidak matang, dan dipaksakan. []

TITI ANGGRAINI

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)