November 15, 2024

Perpu Pilkada: Kepastian yang Belum Pasti

Selasa malam (5/5), mantan Ketua KPU, Juri Ardiantoro, mengirimkan naskah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Atau yang populer disebut Perpu Pilkada. Produk hukum yang sudah dinanti banyak orang akhirnya terbit juga.

Pertama, tentu kita tetap perlu berikan apresiasi pada pemerintah yang akhirnya menerbitkan Perpu dan bisa memberikan kepastian hukum terkait keberlanjutan tahapan pilkada pasca penundaan yang telah dilakukan KPU. Perpu No. 2 Tahun 2020 ini sekaligus menjadi legalitas atas penundaan pilkada serentak secara nasional yang telah diputuskan KPU pada 21 Maret 2020 lalu melalui Keputusan KPU Nomor 179/PL.02-Kpt/01/KPU/III/2020. Penundaan empat aktivitas tahapan secara nasional yang dilakukan KPU menjadi absah melalui pengaturan perubahan Pasal 120 ayat (1) Perpu No. 2 Tahun 2020 tersebut.

Pasal 120 ayat (1) Perpu Pilkada mengatur bahwa dalam hal pada sebagian wilayah Pemilihan, seluruh wilayah Pemilihan, sebagian besar daerah, atau seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana nonalam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan Pemilihan atau Pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilihan lanjutan atau Pemilihan serentak lanjutan. Kalau dalam UU Pilkada sebelumnya tidak mengenal mekanisme penundaan pilkada akibat bencana nonalam maupun penundaan secara nasional di seluruh wilayah, maka Perpu Pilkada secara eksplisit telah mengaturnya.

Pasal 122A ayat (1) Perpu Pilkada mengatur bahwa Pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dilaksanakan setelah penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak dengan Keputusan KPU diterbitkan. Ayat (2) Pasal ini lantas menegaskan bahwa penetapan penundaan tahapan pelaksanaan Pemilihan serentak serta pelaksanaan Pemilihan serentak lanjutan dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Ralryat. KPU melalui Pasal ini menjadi tak sepenuhnya mandiri dalam membuat keputusan teknis terkait penundaan dan pelaksanaan Pemilihan lanjutan. Sesuatu yang cukup disayangkan, karena sangat mungkin KPU akan terjebak dalam tarik menarik kepentingan politik diantara Pemerintah dan DPR yang memiliki agenda politiknya masing-masing.

Selain itu Perpu Pilkada pada Pasal 201A ayat (2) menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak pilkada 2020 yang ditunda akibat bencana nonalam, akan dilanjutkan pelaksanaannya pada bulan Desember 2020. Pasal ini sejatinya memberikan arah yang lebih jelas soal tahapan pelaksaan pilkada yang akan berujung pada proses pungut hitung di bulan Desember 2020. Sejalan dengan salah satu skenario yang ditawarkan KPU, yaitu menunda pemungutan suara selama tiga bulan dari 23 September 2020 menjadi 9 Desember 2020.

Kegamangan Perpu Pilkada

Namun, di saat yang sama, Perpu Pilkada masih menyimpan kegamangan dan situasi tidak pasti dengan adanya pengaturan pada Pasal 201A ayat (3) yang menyatakan bahwa dalam hal pemungutan suara serentak 2020 tidak dapat dilaksanakan pada bulan Desember 2020, maka pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam berakhir, melalui mekanisme persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan DPR.

Terlihat bahwa Pemerintah melalui Perpu ini, meski mengatur pemungutan suara pilkada serentak 2020 pada Desember 2020, tapi tetap menyimpan ketidakyakinan terkait situasi pandemi yang dihadapi. Alih-alih memilih waktu yang lebih memadai, misalnya menunda ke Juni 2021 dengan pertimbangan waktu yang lebih memadai untuk melakukan persiapan dan penyesuaian pada penanganan pandemi Covid-19, Pemerintah malah menyerahkan skema kemungkinan penundaan kembali pilkada melalui kesepakatan tripartit KPU, Pemerintah, dan DPR.

Kalau dirujuk implikasi teknis pilihan pemungutan suara pada bulan Desember 2020 membuat KPU harus sudah mulai menyiapkan tahapan pilkada pada Juni 2020, artinya akan ada irisan pelaksanaan tahapan dengan fase penanganan puncak pandemi dan masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang belum bisa dipastikan kapan akan berakhirnya. Melaksanakan tahapan yang beririsan dengan masa puncak pandemi memerlukan dukungan dan disiplin ketat pada kepatuhan terhadap protokal kesehatan penanganan pandemi Covid-19 oleh semua pemangku kepentingan pilkada, mulai dari petugas pemilihan, calon peserta pemilihan, maupun masyarakat pemilih.

Dan hal itu mengandung resiko tersendiri terutama bila kita tidak bisa memastikan keterpenuhan fasilitas untuk proteksi kesehatan pada para petugas pemilihan dan kepatuhan pada disiplin aturan main protokol kesehatan yang ada. Tentu perlu daya dukung anggaran ekstra untuk memenuhi segala fasilitas yang sejalan dengan protokol penanganan Covid-19, sebut saja keperluan pengadaan masker, hand sanitizer, disinfektan, dan lain-lain. Kita belajar soal hal ini setidaknya dari Pemilu Korea Selatan yang sedemikian rupa menyediakan fasilitas tambahan bagi para petugas pemilihan sejalan dengan protokol penanganan Covid-19.

KPU semestinya harus merumuskan berbagai peraturan teknis pilkada yang sejalan dengan protokol penanganan Covid-19, khususnya soal interaksi petugas dengan pemilih maupun peserta pemilihan yang tidak beresiko menyebarkan Covid-19. Misalnya saja, teknis verifikasi faktual syarat dukungan bakal calon perseorangan, coklit data pemilih, pendaftaran calon, maupun kampanye, dan pemungutan suara, mestinya sesuai dengan kebijakan jaga jarak (physical distancing) untuk mencegah penyebaran Covid-19. Namun Perpu nampaknya kurang menangkap kebutuhan teknis ini agar bisa diatur dengan baik oleh berbagai peraturan teknis yang dibuat penyelenggara pemilihan.

Jadi bisa disimpulkan bahwa Perpu No. 2 Tahun 2020 ini masih setengah hati dalam memberikan kepastian hukum keberlanjutan pilkada serentak 2020. Ada kepastian tapi belum sepenuhnya pasti. Selain itu, pilihan pemungutan suara di bulan Desember 2020 juga masih membawa resiko kesehatan pada para pihak yang terlibat di pemilihan, khususnya bila KPU tidak mampu menyiapkan teknis pemilihan yang kompatibel dengan protokol penanganan Covid-19. []

TITI ANGGRAINI