August 8, 2024

Perselisihan Hasil Pemilu di MK OLEH HAMDAN ZOELVA

Dalam hukum pemilu di Indonesia dibedakan antara pelanggaran atau sengketa dalam proses pemilu dan perselisihan hasil pemilu. Perselisihan hasil pemilu merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi, sedangkan pelanggaran dan sengketa proses diselesaikan Bawaslu, PTUN, peradilan pidana untuk pelanggaran pidana, dan DKPP untuk pelanggaran etik.

Pelanggaran hukum dan sengketa dalam proses pemilu terbagi dalam tiga bentuk, yaitu pelanggaran pidana pemilu, pelanggaran etik pemilu, dan pelanggaran administrasi pemilu.

Pelanggaran pidana adalah bentuk pelanggaran pidana yang diatur dalam UU Pemilu. Pelanggaran pidana wewenang peradilan pidana. Proses penyidikan dimulai dari laporan masyarakat atau temuan Bawaslu, diverifikasi Bawaslu mengenai adanya dugaan tindak pidana, dilanjutkan penyidik kepolisian dan penuntutan oleh jaksa untuk ke pengadilan.

Pelanggaran etik, terkait perilaku dan pelanggaran oleh penyelenggara pemilu, dapat berupa hasil laporan masyarakat atau temuan Bawaslu. Untuk pelanggaran etik, diselesaikan dan diputuskan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan ditindaklanjuti oleh KPU.

Pelanggaran administrasi adalah pelanggaran tata cara, prosedur, atau mekanisme yang terkait administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan pemilu, tidak termasuk pelanggaran pidana dan etik. Pelanggaran administrasi antara lain pelanggaran dalam proses pendaftaran pemilih, penetapan DPT, penetapan pasangan calon, pelaksanaan kampanye, dan seterusnya.

Penyelesaian pelanggaran administrasi menjadi wewenang Bawaslu untuk menyelesaikan. Walaupun politik uang merupakan pelanggaran pidana, UU memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk menyelesaikan dan memutuskan politik uang jika terjadi terstruktur, sistematis, dan masif.

Adapun sengketa proses pemilu adalah sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu atau peserta pemilu dengan KPU. Sengketa proses pemilu diselesaikan dalam tingkat pertama oleh Bawaslu, dan jika para pihak keberatan atas keputusan Bawaslu, dapat ke PTUN untuk menyelesaikan.

Berdasarkan uraian itu, pelanggaran baik yang bersifat parsial, terstruktur, sistematis, masif, maupun sengketa dalam proses pemilu, pada dasarnya menjadi wewenang Bawaslu, PTUN, DKPP, ataupun peradilan pidana. Peserta Pemilu 2019 seharusnya sudah mengajukan semua pelanggaran dan sengketa proses pemilu melalui mekanisme yang ada.

Menurut UUD 1945 (Pasal 24C Ayat (1), MK hanya menyelesaikan dan memutus perselisihan hasil pemilu. Kewenangan ini dilatari oleh pengalaman Pemilu 1999 yang deadlock saat penetapan hasil pemilu dan KPU tidak bisa mengambil keputusan.

Wewenang meluas

Semula perselisihan hasil pemilu yang dapat diputuskan oleh MK hanyalah perselisihan angka perolehan suara. Pembuktiannya sangat sederhana, cukup cek di tingkat mana dan berapa perselisihan angka yang dipersoalkan. Artinya, yang dibuktikan adalah kecurangan dalam proses rekapitulasi dan pelanggaran yang bersifat parsial. Dalam perkembangannya, ternyata perselisihan angka saja tidak menjawab persoalan keadilan pemilu karena bisa saja pelanggaran tak terkait dengan angka, tetapi juga proses.

Karena itu, melalui putusannya dalam perkara perselisihan hasil pemilukada, MK tak terikat lagi pada perselisihan angka, tapi juga pelanggaran dalam proses yang memengaruhi hasil pemilu. Terjadi perluasan kewenangan MK. Dari sinilah lahir istilah pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Pelanggaran TSM adalah pelanggaran yang sedemikian masif dilakukan, direncanakan dengan matang untuk menang secara curang, dan melibatkan struktur pemerintahan, petugas penyelenggara, ataupun pengawas pemilu secara berjenjang dari tingkat TPS sampai atas.

Dalam pelanggaran TSM, pemohon harus dapat membuktikan pelanggaran tersebut dilakukan secara TSM. Pada umumnya tidak mudah bagi pemohon untuk membuktikan karena selain harus membuktikan adanya pelanggaran yang bersifat TSM, ia juga harus dapat membuktikan bahwa dampak pelanggaran   signifikan memengaruhi keterpilihan.

Putusan perselisihan hasil pemilukada yang bersifat TSM dapat dibaca dalam putusan Pemilukada Provinsi Jawa Timur No 41/2008, Pemilukada PHPU Kotawaringin Barat 45/2010.

Ketentuan Pasal 475 Ayat (2) UU No 7/2017 menentukan bahwa keberatan yang diajukan ke MK hanya keberatan terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon. Artinya, jumlah suara yang dipersoalkan dalam keberatan itu dapat memengaruhi terpilihnya pasangan calon. Keberatan yang diajukan, tetapi tidak memengaruhi terpilihnya pasangan calon, walaupun terbukti, tentu ditolak oleh MK.

Contohnya, pemohon mengajukan keberatan atas pelanggaran yang menimbulkan hilangnya suara pemohon sejumlah satu juta suara, sedangkan selisih perolehan suara pemohon dengan yang terpilih menurut KPU adalah sepuluh juta suara. Dalam hal ini, walaupun terbukti satu juta karena pelanggaran TSM, keberatan ditolak oleh MK karena tidak memengaruhi keterpilihan.

Hamdan Zoelva Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia 2013-2015

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 22 Mei 2019 di halaman 6 dengan judul “Perselisihan Hasil Pemilu di MK”. https://kompas.id/baca/opini/2019/05/22/perselisihan-hasil-pemilu-di-mk/