August 8, 2024

Persoalan Kaum Muda dalam Politik adalah Akses, Bukan Apatisme

Kaum muda kerap dinarasikan sebagai generasi yang tidak peduli pada politik. Hal ini menjadi kesimpulan umum atas rendahnya partisipasi memilih kaum muda dalam pemilu. Di sisi lain, gerakan-gerakan politik yang baru-baru ini mencuat dipelopori oleh kaum muda—bahkan dari generasi yang baru saja mencapai usia memilih.

Mitos bahwa kaum muda apatis secara politik tidak sepenuhnya salah. Memang benar kaum muda apatis—lebih tepatnya apatis pada politik formal. Tetapi di luar itu, kaum muda masih percaya pada politik. Kaum muda masih mau terlibat dalam politik tapi dalam cara yang berbeda—mereka turun ke jalan, melakukan protes, dan menginisiasi gerakan-gerakan alternatif di luar politik formal dan kemudian meneruskannya dalam siklus pemilu.

Sebagai contoh, gerakan murid-murid yang menuntut keamaanan sekolah menengah atas tempat mereka belajar secara eksplisit membawa serta isu akses pendaftaran pemilih. Isu pengaturan kepemilikan senjata juga diangkat menjadi isu elektoral yang ditawarkan pada kandidat. Gerakan lain, Climate Strike, menekankan pentingnya memilih dan menyediakan layanan untuk mendaftar sebagai pemilih melalui pesan pendek maupun secara daring di website.

“Di media dan berita kita sering kali mendengar bahwa kaum muda tidak peduli dan apatis pada politik. Tapi itu tidak benar. Kaum muda mau memilih di pemilu dan sadar akan pentingnya hal tersebut. Kaum muda percaya bahwa memilih dalam pemilu dapat membuat perubahan,” kata Adam Strong, peneliti pada CIRCLE (The Center for Information and Research on Civic Learning and Engagement), di Washington D.C (14/11)

Adam memfasilitasi salah satu sesi pada Opportunity Youth Network Summit 2019 di Washington D.C: “Mengatasi Ketimpangan Akses Pemilih di Pemilu.” Dalam sesi ini, Adam bersama Lashon Amado, Deputi Direktur Opportunity Youth United, membagi hasil riset garapan organisasinya yang membahas hambatan memilih yang dihadapi Opportunity Youth—kaum muda berusia di antara 16—24 yang tidak sekolah dan/atau tidak bekerja.

“Memperluas Akses Pemilih,” judul penelitian tersebut, menunjukkan bahwa 88 persen dari mereka yang disurvei percaya bahwa terlibat di pemilu adalah salah satu jalan untuk membuat perubahan. Namun demikian, mereka kesulitan untuk terlibat dalam pemilu karena informasi tidak terdistribusi secara merata dan akses untuk memilih juga tidak terbuka. Masih ada kaum muda yang tidak memilih karena mereka tidak yakin apakah mereka mendapatkan informasi yang benar tentang pemilu. Opportunity Youth juga merasa bahwa mereka tidak mengetahui tentang siapa yang bisa mereka pilih dan apa arti suara mereka. “Dua dari lima dari kaum muda yang disurvei tidak tahu kemana harus memilih,” Adam menjelaskan.

Kaum muda dari latar belakang ekonomi rendah ini juga menghadapi berbagai kendala logistik untuk memilih. Beberapa hambatan tersebut di antaranya adalah kesulitan mencari transportasi menuju tempat pemungutan suara, kesulitan mencari tempat untuk menitipkan anak, atau kesulitan mencari seseorang untuk menggantikannya waktu kerjanya.

Masalah dan hambatan yang teridentifikasi pada penelitian ini menjadi dasar bagi komunitas di bawah organisasi Opportunity Youth United untuk mengembagkan program yang bertujuan untuk mengingkatkan akses pemilih di pemilu. Mereka bekerja dengan penyelenggara pemilu di tingkat lokal. Kolaborasi ini dibuat agar penyelenggara pemilu yang pengetahuannya relatif terbatas tentang Opportunity Youth dapat terhubung dengan komunitas tersebut.

“Inisiatif ini dibuat agar penyelenggara pemilu benar-benar mendatangi kaum muda di tempat dimana mereka benar-benar tinggal dan mengatasi hambatan yang mereka hadapi,” tambah Adam.

Jika penyelenggara pemilu lebih mengerti kebutuhan prioritas kaum muda berpenghasilan rendah ini—dan, sebaliknya, jika kaum muda mengerti informasi pemilu yang disusun penyelenggara pemilu—keduanya dapat membuat perubahan bersama demi makin terbukanya akses pada pemilu.

Tiga komunitas lokal memimpin inisiatif: Coalition for Responsible Community Development yang berbasis di Los Angeles, California; United Way of Tucson and Souther Arizona, dan Soar yang berbasis di Seattle, Washington. Komunitas lokal ini mengelola relasi dengan penyelenggara pemilu agar kerja-kerja penyelenggara pemilu bisa menjangkau kaum muda lebih luas dan lebih inklusif.

Di Los Angeles, Coalition for Responsible Community Development menancapkan tujuan yang ambisius: mengubah budaya memilih. Mereka berencana melibatkan penyelenggara pemilu dan organisasi masyarakat sipil lain dalam merancang materi komunikasi. Dengan upaya ini, Opportunity Youth diharapkan bisa lebih mudah mengakses informasi-informasi krusial tentang pemilu.

“Mereka (penyelenggara pemilu) bertemu banyak sekali orang setiap hari. Kami (Opportunity Youth) harus selalu dalam radar mereka,” kata Luis Bautista-Morales, anggota Coalition for Responsible Community Development.

Di Arizona, United Way of Tucson and Southern Arizona menyusun materi pendidikan pemilih bersama penyelenggara pemilu. Salah satu informasi yang disajikan adalah hak memilih bagi kaum muda yang pernah atau sedang terkena tindak pidana.

“Beberapa kaum muda yang melakukan tindak pidana berat tidak mengetahui bahwa mereka dapat memulihkan hak memilih mereka. Itu akan menjadi bagian penting dalam materi pendidikan memilih yang kami susun. Kami akan memasukkan informasi tentang bagaimana mereka dapat melakukan pemulihan hak-hak mereka sehingga mereka dapat memilih di pemilu,” kata Jasmine Jones, Koordinator Keterlibatan Pemuda Cradle to Carrier’s United Way of Tucson and Southern Arizona, yang memimpin proyek ini di Tuscon, saat diwawancara (8/11).

Di Seattle, Soar menghubungkan Opportunity Youth dengan penyelenggara pemilu. Soar telah mengadakan tiga pertemuan yang dilakukan bersama penyelenggara pemilu lokal di King County. Salah satu dialog dilakukan di sekolah alternatif di area penggusuran.

“Ini adalah salah satu pencapaian besar karena saya bisa mengubah perspektif penyelenggara pemilu. Kami bisa sama-sama memikirkan hal apa yang terlewat dalam upaya pendidikan memilih. Kami bisa bertukar pikiran dan mencari tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya,” Kata Makayla Wright, Youth Voice Organizer untuk Soar, yang memimpin upaya ini di Seattle, saat diwawancara (9/11)

Inisiatif yang dipimpin oleh ketiga komunitas ini adalah upaya untuk mengatasi kesenjangan antara penyelenggara pemilu dan masyarakat berpenghasilan rendah. Upaya ini dilakukan untuk membangun kenyamanan dan kepercayaan bagi kaum muda untuk menyuarakan tantangan yang mereka hadapi. Hal ini akan membantu penyelenggara pemilu mengidentifikasi kerja dan cara apa yang berhasil dan apa yang tidak. Ini juga membantu para penyelenggara pemilu untuk mengidentifikasi kesenjangan informasi pemilu dan menyesuaikan kembali informasi-informasi tersebut sehingga dapat dijangkau secara efektif.

Tulisan ini adalah tulisan keempat dari program magang di Spark Action—organisasi kaum muda yang berbasis di Brooklyn, New York, Amerika Serikat—atas dukungan US Department of State melalui program Community Solution Program. Simak tulisan pertama di sini, tulisan kedua di sini, dan tulisan ketiga di sini.