November 15, 2024

Pertanggungjawaban Wakil Rakyat dan Pemilu Proporsional Terbuka

kodifikasi-07

Keadilan adalah tujuan dan karena itu juga merupakan tolok ukur segala politik. Politik itu lebih daripada teknik penataan ruang publik: Asal dan tujuannya ialah keadilan, dan ini bersifat etis. Demikianlah Negara mau tak mau selalu berhadapan dengan soal: bagaimana keadilan dapat diwujudkan sekarang dan di sini (hic et nunc)? Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa tatanan kemasyarakatan dan kenegaraan yang adil merupakan tugas sentral politik. Negara yang tidak diperintah dengan keadilan, adalah gerombolan besar perampok, sebagaimana dikatakan oleh Agustinus “Remota itaque iustitia sunt regna nisi magna latrocinia.

Namun bagaimana faktanya, khususnya lembaga legislatif, sudahkah mereka hadir sebagai lembaga politik yang menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara baik dan benar serta professional melalui mekanisme-mekanisme pertanggungjawaban kepada rakyat secara terbuka? Ataukah masih bersembunyi di balik dalih-dalih dan pembenaran diri yang sebenarnya hanya mau lari dari tuntutan untuk mempertanggungjawabkan apa yang dikerjakannya kepada rakyat?

Pemilihan Umum adalah suatu perangkat demokrasi,  dengan demikian merupakan hak rakyat yang harus dilindungi. Politik adalah urusan bersama, maka seluruh rakyat wajib berperan-serta. Peranserta itu tidak terbatas pada saat Pemilihan Umum saja, melainkan juga pada seluruh proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  Dengan segala pertimbangan tersebut, hal-hal berikut perlu diperhatikan:

Pertama, perlu disadari dan ditekankan bahwa melalui peristiwa Pemilihan Umum hak asasi manusia setiap warga negara di bidang politik, diwujudkan. Oleh karena itu baik keikutsertaan maupun penolakan dalam Pemilihan Umum dapat menjadi ungkapan tanggung jawab politik. Pemilihan Umum pada dasarnya adalah bagi rakyat untuk membuat suatu kontrak politik dengan politisi dalam lembaga legislatif maupun mengoreksinya. Keinginan dan cita-cita perubahan serta perbaikan dapat ditempuh antara lain dengan memperbaharui dan mengubah susunan para penyelenggara negara kita. Sistem Pemilihan Umum  proporsional daftar terbuka membuka peluang untuk mewujudkan cita-cita perubahan dan perbaikan itu, dengan memilih orang-orang yang paling tepat, yakni orang-orang yang dapat diharapkan memenuhi tuntutan etika politik.

Kedua, perlu disadari bahwa undang-undang Pemilihan Umum yang setiap menjelang Pemilu direvisi, pelaksanaannya kerapkali sulit dan bisa membingungkan bagi kebanyakan orang. Karena itu perlu dibentuk kelompok penyuluh pada tataran akar rumput yang mendampingi masyarakat akar rumput agar mereka dapat memilih dan mengungkapkan pilihan politik mereka dengan benar dan baik. Calon-calon wakil rakyat yang dikenal bersih, berjuang untuk kepentingan dan kebaikan bersama perlu diperkenalkan kepada para pemilih. Dalam Pemilihan Umum sistem proporsional daftar terbuka, pemilih mendapat kesempatan untuk memberikan suaranya untuk calon wakil yang dikenal memenuhi syarat sebagai calon yang baik dan juga partai asal calon tersebut.

Ketiga, masyarakat perlu didorong untuk terus-menerus mengontrol mekanisme demokrasi supaya aspirasi rakyat sungguh mendapat tempat. Sistem perwakilan yang menjadi tata cara pengambilan keputusan nyatanya sering meninggalkan aspirasi warga negara yang diwakili. Hal ini bisa disebabkan karena para politisi wakil rakyat itu sangat mungkin mempunyai tujuan, kepentingan atau nilai sendiri. Mereka juga tidak jarang melakukan tindakan yang tidak semuanya dapat diamati dan dipantau oleh rakyat banyak. Selain itu tidak sedikit dari antara para politisi yang ingin terpilih karena dengan jabatannya itu mereka memperoleh keuntungan.

Salah satu tugas pokok seorang wakil rakyat (anggota legislatif) adalah menyerap aspirasi rakyat (konstituen) yang dilaksanakan melalui kunjungan kerja secara berkala. Penyerapan aspirasi dari masyarakat tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (yang kemudian ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014)  tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menyebutkan bahwa kewajiban anggota DPR/DPRD antara lain : Pertama, menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala. Kedua, menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat. Ketiga, memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.

Bagaimana tugas dan kewajiban ini sudah dipenuhi oleh para anggota dewan terhormat itu ada begitu banyak pembahasan dan bahkan penelitian. Sebenarnya yang sekarang menjadi lebih penting adalah perlu adanyapolitical will (kehendak politik) dari anggota dewan itu sendiri untuk benar-benar menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewajibannya sesuai undang-undang yang berlaku serta terus dikontrol oleh kesadaran moral serta rambu-rambu etika yang harus terus dihayati. Tanpa kemauan yang kuat untuk mewujudkannya, maka semua yang baik hanya akan menjadi utopi.

Kalau ditanyakan: mengapa perilaku politik itu tidak banyak berubah dan menjadi lebih baik? Alasannya ada beberapa: pertama, iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata. Penghayatan iman lebih berkisar pada hal-hal lahiriah, simbol-simbol dan upacara ke-agamaan. Dengan demikian kehidupan politik di Indonesia kurang tersentuh oleh iman itu. Salah satu akibatnya ialah lemahnya pelaksanaan etika politik, yang hanya diucapkan di bibir tetapi tidak dilaksanakan secara konkrit. Politik tidak lagi dilihat sebagai upaya mencari makna dan nilai atau jalan bagi pencapaian kesejahteraan bersama. Maka  diperlukan pertobatan, yaitu  perubahan dan pembaharuan hati serta budi.

Kedua, kerakusan akan kekuasaan dan kekayaan yang menjadi daya pendorong politik kepentingan yang amat membatasi ruang publik, yakni ruang kebebasan politik dan ruang peran-serta warganegara sebagai subyek. Ruang publik disamakan begitu saja dengan pasar. Yang dianggap paling penting adalah kekuatan uang dan hasil ekonomi.

Ketiga, bertindak berdasarkan dalil tujuan menghalalkan segala cara. Ketika tujuan menghalalkan cara, terjadilah kerancuan besar, karena apa yang merupakan cara diper-lakukan sebagai tujuan. Dalam logika ini, ukuran adalah hasil. Intimidasi, kekerasan, politik uang, politik pengerahan massa, teror dan cara-cara  imoral lainnya dihalalkan karena memberi hasil yang diharapkan. Kriminalisasi politik menghasilkan politisasi kriminalitas. Akibatnya tidak sedikit pelaku kejahatan politik, provokator dan koruptor menikmati tiadanya sanksi hukum. Lemahnya penegakan hukum mengaburkan pemahaman nilai baik dan buruk yang pada gilirannya menumpulkan kesadaran moral dan perasaan bersalah. Kalau hal-hal itu tidak disadari, orang menjadi tidak peka dan menganggap semua itu wajar saja. Kerusakan hidup bersama juga disebabkan dan sekaligus menghasilkan penumpulan hati nurani. []

EDY PURWANTO PR.

Sekretaris Eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)

*Opini merupakan makalah Keynote Speaker Seminar Kodifikasi UU Pemilu “Penguatan Sistem Pemilu Proporsional Daftar Terbuka” di Kantor Pusat KWI, Jakarta Pusat (16/6). 

**Makalah lengkap bisa diunduh melalui tautan di bawah ini:

pemilu-dan-pertanggungjawaban-politik-wakil-rakyat