Dalam pertimbangan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta No.82/G/2020/PTUN-JKT yang dikeluarkan untuk gugatan Evi Novida Ginting, PTUN menjelaskan empat hal, yakni kewenangan PTUN untuk mengadil gugatan, ketidakhadiran Evi sebagai teradu dalam sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), pencabutan perkara di DKPP oleh pengadu, dan pengambilan putusan oleh majelis yang tak memenuhi syarat kuorum.
Kewenangan PTUN mengadili gugatan
Menurut PTUN Jakarta, meskipun putusan DKPP bersifat final dan mengikat, namun hal tersebut tak berarti imunitas bagi DKPP. Terdapat fakta empiris, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 31/PUU-XI/2013 yang secara tidak langsung menguji putusan DKPP. Meminjam pertimbangan MK tersebut, sifat final dan mengikat putusan DKPP hanya berlaku bagi Presiden, Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang melaksanakan putusan DKPP.
“Sebagaimana diafirmasi oleh pertimbangan putusan MK tersebut di atas dan dikonfirmasi sendiri oleh praktek Peradilan TUN sebagaimana dimaksud di atas sehingga berlaku prinsip cursus curiae est lex curiae (praktik peradilan adalah hukum bagi pengadilan),” halaman 247-248.
Ketidakhadiran Evi dalam persidangan
PTUN juga menyalahkan DKPP karena DKPP tak melihat ketidakhadiran Evi di persidangan DKPP sebagai pertimbangan. Hal tersebut menghilangkan hak dan kesempatan teradu untuk mengajukan hak pembelaan diri.
“Dalam kondisi seperti ini apabila tetap digelar maka yang terjadi adalah serupa dengan persidangan in absentia untuk kasus-kasus extraordinary crimes, sesuatu yang justru semakin kontradiktif dengan hilangnya kepentingan pengadu yang pada persidangan pertama telah menyatakan mencabut pengaduan,” halaman 254.
Tetap lanjutnya persidangan meski aduan telah dicabut
Pasal 19 Peraturan DKPP No.3/2017 disinggung di dalam pertimbangan hukum PTUN. Dalam pandangan PTUN, meskipun Pasal 19 memberikan kewenangan diskresioner untuk meneruskan atau menghentikan pengaduan yang telah melewati verifikasi materi, namun dikaitkan dengan ketentuan Pasal 24 Undang-Udang (UU) Administrasi Pemerintahan, implementasi kewenangan diskresioner tersebut mestilah diikuti oleh sejumlah syarat, yakni alasan melanjutkan dijelaskan secara proporsional, rasional dan transparan.
“Artinya, dalam penggunaan diskresi menjadi tidak dibenarkan badan/pejabat pemerintahan menggunakan diskresi hanya menyandarkan secara formal kepada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan; dengan kata lain mengapa diskresi tersebut digunakan harus diikuti dengan alasan hukum yang relevan menurut batas penalaran yang wajar,” halaman 255.
Pasal 19 berbunyi: “Dalam hal Pengaduan dan/atau Laporan yang telah dicatat dalam Berita Acara Verifikasi Materiel dicabut oleh Pengadu dan/atau Pelapor, DKPP tidak terikat dengan pencabutan Pengaduan dan/atau Laporan.”
PTUN Jakarta menilai DKPP tak menjelaskan alasan melanjutkan aduan yang telah dicabut di dalam Putusan DKPP No.317.2019. Padahal, menurut PTUN, alasan tersebut semakin genting dalam konteks pentingnya menjamin asas keadilan bagi semua pihak, sebab Evi tak hadir pada persidangan di DKPP untuk melakukan pembelaan diri.
Putusan DKPP tak sesuai dengan hukum acara persidangan di DKPP
Argumentasi lain yang dijabarkan oleh PTUN Jakarta yakni, bahwa DKPP mengesampingkan hukum acara DKPP. Pasal 36 Peraturan DKPP No.3/2017 menyebutkan, untuk rapat pleno mesti dihadiri oleh minimal 5 anggota. Peraturan ini ternyata bertentangan dengan Keputusan Ketua DKPP No. 04/SK/K.DKPP/SET-04/I/2020 Tentang Rapat Pleno Pengambilan Keputusan tertanggal 17 Januari 2020 yang mengatur bahwa rapat pleno putusan dapat dihadiri paling sedikit 4 orang anggota DKPP.
“DKPP mengesampingkan (put aside) hukum acaranya sendiri: sehingga dalam keadaan tertentu rapat Pleno Putusan dapat dihadiri paling sedikit 4 (empat) orang anggota DKPP vide Keputusan Ketua DKPP No. 04/SK/K.DKPP/SET-04/I/2020 Tentang Rapat Pleno Pengambilan Keputusan tertanggal 17 Januari 2020 (Bukti T-19) yang isinya berbeda dan bertentangan dengan Pasal 36 Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2019,” halaman 256-257.
PTUN juga menjelaskan bahwa adanya satu anggota DKPP yang berpindah jabatan publik semestinya tak menggugurkan terpenuhinya syarat kuorum. Hukum acara bukan sekedar hukum yang mengatur tata cara menegakkan aturan hukum materil, melainkan juga perwujudan esensial hak para pencari keadilan untuk membela dan mempertahankan kepentingannya, serta sebagai rambu-rambu pembatas bagi setiap otoritas yang bertindak untuk dan atas nama hukum. Hukum acara juga
“Sejalan dengan prinsip due process of law, hukum acara adalah salah satu komponen hukum hak asasi manusia, sesuatu yang tidak dapat disimpangi oleh suatu keputusan administrasi (beschikking) yang jangkauan keberlakuannya masih problematis apakah hanya berlaku ke dalam atau keluar, sehingga seharusnya perubahan hukum acara harus diatur perubahannya dalam produk hukum yang sejenis dan atau setidak-tidaknya setingkat dengannya sesuai asas lex superior derogat legi inferior,” halaman 257.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, PTUN Jakarta berpendapat bahwa Putusan DKPP No. 317/2019 bertentangan dengan Pasal 24 UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Pasal 458 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (8) UU No. 7/2017 tentang Pemilu maupun dengan Pasal 36 Peraturan DKPP No. 2/2019. Oleh karena Putusan yang menjadi dasar penerbitan keputusan objek sengketa mengandung cacat yuridis, maka secara dengan sendirinya keabsahan Keputusan Presiden menjadi tidak terpenuhi secara yuridis.
PTUN Jakarta mengabulkan permintaan Evi untuk seluruhnya. (Baca: https://rumahpemilu.org/ptun-jakarta-kabulkan-gugatan-evi-novida/). Bahkan, dalam putusannya, PTUN Jakarta juga mengabulkan permintaan penundaan pelaksanaan Surat Keputusan Presiden yang memberhentikan tetap Evi sebagai anggota KPU RI periode 2017-2022.
“Alhamdulillah dikabulkan gugatan seluruhnya, termasuk permohonan penundaan di putus berasamaan. Harapannya amar putusan dilaksanakan,” ucap Evi kepada rumahpemilu.org melalui Whats App (24/7).