August 8, 2024

Pilkada dan Kaum Perempuan

Hajatan pilkada serentak yang digelar pada 9 Desember 2015 akan melibatkan 260 kabupaten/kota, dan 9 provinsi. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) gelaran pilkada serentak yang pertamakali ini, terdapat 752 calon kepala daerah laki-laki dan 58 calon kepala daerah perempuan. Kemudian ada 746 calon wakil kepala daerah laki-laki, dan 64 calon wakil kepala daerah perempuan. Data tersebut mengonfirmasi masih minimnya keterwakilan perempuan dalam ritual pilkada. Padahal, hadirnya berbagai kebijakan affirmative action dapat menjadi wahana baru bagi upaya memperluas ruang publik kaum perempuan dalam kancah politik nasional.

Tapi, nyatanya kultur politik Indonesia masih dominasi oleh patronase kaum patriarki dan cengkeraman oligarkis dalam internal partai politik (parpol). Alhasil, magnet elektoral yang dimiliki kaum perempuan seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan politik sesaat. Sehingga ruang gerak kaum perempuan kemudian berjalan semakin tidak terarah dan cenderung mengikuti jejak agensi politik patriarki.

Keadaan tersebut berarti, peningkatkan partisipasi kaum perempuan belum juga paralel dengan perwujudan politik kehadiran (the political of presence) yang signifikan terutama dalam peningkatan integritas, pengalaman, ataupun kapasitas. Perbedaan kualitas inilah yang menjadikan wilayah politik kaum perempuan semakin terpinggirkan oleh derasnya kepentingan patron-klien termasuk kaum patriarki. Itu mengapa, gerak politik kaum perempuan dekade terakhir semakin tersegregasi dan terpolarisasi.

Ada beberapa kendala yang dihadapi kaum perempuan saat ini di antaranya; Pertama, tantangan diskursif atau ideologis, yaitu masih samar-samarnya ideologi yang menjadi panutan kaum perempuan dalam berpolitik, terutama ideologi yang berbasis gender. Akibatnya, banyak politisi perempuan baik di parlemen dan eksekutif cenderung mengikuti jejak kaum patriarki, bahkan ikut terjerembab dalam habitus korupsi suap. Kedua, hambatan sosio-ekonomi yang menegaskan bila kaum perempuan tidak semua memiliki modal sosial dan ekonomi seperti yang dimiliki oleh kaum laki-laki.

Ketiga, hambatan politisi dan kelembagaan. Hal ini dapat dicerna dari masih dominannya kaum patriarki dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan partai politik. Keempat, hambatan pribadi dan psikologi yang memaparkan realitas patriarki di tingkat individu dan masyarakat seringkali menjadi kendala utama bagi kaum perempuan untuk terlibat aktif dalam kancah politik.

Gambaran itu jika ditelaah lebih mendalam, kerap membuat banyak kaum perempuan mengurungkan niatnya untuk terjun ke kancah politik. Ini termasuk keengganan perempuan untuk mendaftar menjadi calon kepala daerah dalam pilkada. Stigma kotornya dunia politik dan tidak setimpalnya pengorbanan keluarga yang harus diberikan kaum perempuan, menjadi alasan utama sebelum terjun menjadi pekerja politik bagi kaum perempuan.

Kenyataan itulah yang harus disadari oleh partai politik. Tapi ironisnya, partai politik sebagai institusi demokrasi sejauh ini hanya memandang kaum perempuan sebatas simbolisasi elektoral semata tanpa berupaya memperbaiki dari sisi kualitas. Artinya, bila gejala ini tetap dipelihara, dikhawatirkan dapat menjadi mimpi buruk bagi masa depan kaum perempuan dalam kancah politik di masa mendatang.

Permasalahan tersebut harus segera diatasi oleh partai politik dengan mempertegas kembali penanaman ideologi gender pada kaum perempuan. Harapannya agar kaum perempuan dapat mengerti kiprahnya ketika terjun di kancah politik dan bukan hanya sebatas memperjuangkan kepentingan pribadi atau partainya saja, melainkan, dapat memainkan peran yang lebih luas yaitu kesetaran dan keadilan gender.

Oleh sebab itu, hal yang dibutuhkan saat ini adalah sikap responsif dari parpol untuk dapat mendorong kaum perempuan agar memiliki kesadaran dalam berpolitik. Sudah seharusnya perempuan dapat mewarnai sistem politik Indonesia. Kehadiran kaum perempuan dalam dunia politik ditujukan sebagai alternatif menjadi penyeimbang antara praktik kepartaian dengan aktivitas politik.

Singkat kata, momentum pilkada serentak  dapat dijadikan pijakan bagi parpol untuk kembali menyemai kesadaran kaum perempuan dalam berpolitik. Termasuk  mengefektifkan komunikasi dan orientasi bersama dalam upaya mewujudkan isu pengarusutamaan gender. Akhirnya, kita berharap semua simpul masyarakat sipil dan media massa untuk dapat mendesak parpol agar dapat memastikan penguatan kapasitas kaum terutama internalisasi konsep revolusi mental, sebagai prasyarat utama memperluas keterwakilan perempuan dalam politik. Semoga. []

BEKTI HANDAYANI
Pegiat Pengarusutamaan Gender dan Staf Peneliti RINJANI Yogyakarta