November 15, 2024

Pilkada Mahal?

Banyak orang mengatakan,  pemilihan kepala daerah itu mahal. Para calon kepala daerah, politisi, hingga penggiat pemilu, mengatakan, pilkada mahal lebih dikarenakan biaya kampanye. Sebut saja pembiayaan soal kampanye: spanduk, pamflet, pin, brosur konsumsi saat dialog dengan warga, mengganti ongkos warga, hingga membayar saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Semua dilakukan untuk menaikan elektabilitas dan menjaga suara.

Saya justru tidak sependapat dengan mereka yang mengatakan biaya Pilkada itu mahal. Mengapa? Karena negara sudah memberikan subsidi. Dan hal itu termaktub dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pasal 63 ayat (1) mengatakan, kampanye dilaksanakan sebagai wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab.

Di ayat (2) kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh partai politik dan/atau pasangan calon dan dapat difasilitasi oleh KPU Provinsi untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati serta Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota.

Pertanyaannya apa saja yang difasilitasi oleh negara? PKPU Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye merinci jawaban pertanyaan ini. Pertama, debat publik atau debat terbuka antar pasangan calon. Kedua penyebaran bahan kampanye kepada umum. Ketiga, pemasangan alat peraga kampanye. Dan keempat iklan di media massa cetak dan/atau media massa elektronik.

Bagaimana dengan saksi yang ingin dihadirkan oleh calon kepala daerah disetiap TPS? Menurut saya hal itu tidak diperlukan, mengapa? Karena negara juga sudah menghadirkan pengawas TPS disetiap TPS.

Meski sudah difasilitasi oleh negara, tetap saja para calon kepala daerah membuat alat praga kampanye (APK) sendiri dan tetap menghadirkan saksi di setiap TPS untuk menjaga suara. Al hasil, APK yang dibuat ditertibkan karena tidak sesuai aturan KPU, dan saksi mereka di TPS datanya tetap menggunakan KPU dan Bawaslu.

Pasangan calon kepala daerah (paslon) punya tiga faktor yang saling berkaitan untuk bisa terpilih. Faktor pertama yaitu mengandalkan hubungan emosional. Kedua, kecerdasan. Ketiga, uang.

Bagi seseorang yang ujuk-ujuk ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan tidak memiliki hubungan emosional terhadap masyarakat, sudah pasti paslon tersebut tidak akan meraih suara yang banyak. Pasalnya, menjadi seorang kepala daerah haruslah banyak teman dan jaringan sosial yang memiliki hubungan emosional agar bisa ikut menarik teman, saudara atau tetangga untuk mendukung dirinya agar terpilih.

Faktor pertama (hubungan emosional) tidak akan berhasil, jika calon yang ditawarkan teman, saudara atau tetangga tidak memiliki kecerdasan. Sebab, masyarakat menyadari bahwa pekerjaan yang nanti akan dijalani dan diemban oleh paslon sangat berat yaitu bagaimana mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, kenyaman, dan kedamaian. Dan hal tersebut memerlukan pengetahuan yang luas dan pemahaman secara spesifik baik secara geografis, budaya, dan agama.

Kemudian, uang memang bukan segalanya, tetapi tanpa uang hampir mustahil seseorang menjadi kepala daerah. Namun, perbedaannya yang mendadak dan ujuk-ujuk atau hanya mengandalkan uang dan polularitas, ialah uang yang dikeluarkan lebih besar dari pada yang sudah memiliki faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya.

Paslon yang sudah memenuhi kedua faktor tersebut hanya butuh mengeluarkan uang sedikit. Kebutuhan hanya seputar ongkos bensin dirinya dan sedikit memberikan pin atau souvenir untuk berkampanye ke warga-warga, karena hubungan emosional dan kecerdasan tersebut sudah mengikat hati masyarakat.

Bagi kita yang tidak memiliki ketiga faktor tersebut, penulis hanya biasa menyarankan bahwa lebih baik tidak mencalonkan diri. Mundur saja menjadi calon kepala daerah jika tidak ingin sakit hati akibat tidak diberi kepercayaan oleh publik.

Yang membuat ongkos politik itu mahal adalah partai politik itu sendiri. Sebab semua pencalonan harus mendapat persetujuan atau merupakan rekomendasi dari Dewan Pengurus Pusat (DPP) partai politik.  Jika DPP sudah membuat persetujuan dan persetujuan itu tidak dilaksanakan baik oleh Provinsi (DPW) kalau Calon Gubernur, atau oleh Kabupaten/Kota (DPD) kalau calon Bupati/Walikota, itu bisa diambil alih langsung proses pencalonannya oleh DPP.

Fakta yang terjadi, DPP mewajibkan setiap orang yang mau menjadi calon kepala daerah harus membayar ongkos politik, dan menurut Ketua Umum Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Prabowo Subianto Djojohadikusumo dalam rekaman video berdurasi 20 menit 56 detik yang diunggah ke youtube oleh spardaxyz news channel pada 24 Juli 2017 mengatakan minimal harus punya uang Rp 300 miliar, dan itu paket hemat, pahe. Calon presiden pada pemilu 2014-2019 itu menyebut Sandiaga Uno sebagai contoh figur yang memiliki uang sendiri untuk maju dalam Pilkada di Jakarta.

Negara melalui Undang-Undang, sesungguhnya sudah membuat agar pilkada menjadi murah meriah. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi dari kalangan kepala daerah yang memang memiliki kesempatan besar untuk menyalahgunakan jabatan.

Berbagai instrument sudah dimunculkan, mulai dari menambah anggaran bantuan keuangan bagi partai politik, membatasi belanja kampanye, subsidi untuk alat kerja kampanye dari anggaran negara, dan memasang satu orang pengawas TPS untuk menjaga kemurnian suara. Semua ini dilakukan agar para calon kepala daerah di 171 daerah tidak lagi memikirkan biaya kampanye atau membayar saksi di tiap-tiap TPS hingga miliaran rupiah.

Jika sudah dibiayai negara, masihkan kita menyebut Pilkada itu mahal?

Ahmad Halim

Ketua Panitia Pengawas Pemilu Kota Administrasi Jakarta Utara