November 15, 2024

Pilkada oleh DPRD, Langkah Mundur Demokrasi

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mencuatkan gagasan pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Mekanisme pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, juga walikota dan wakil walikota  ini menggantikan mekanisme sebelumnya yaitu pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat.

Pada awalnya, wacana tersebut muncul sebagai gagasan yang diusulkan pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan dilatarbelakangi dua hal besar. Pertama, mahalnya biaya pemilukada (baik ongkos untuk petugas penyelenggara maupun penyelenggaraannya). Kedua, maraknya konflik horizontal maupun tindak kekerasan dalam pilkada langsung.

Jika ditelaah secara mendalam menurut pendekatan konsolidasi demokrasi, maka gagasan pilkada oleh DPRD merupakan wacana yang sejatinya mengingkari semangat dan tujuan besar demokratissasi di Indonesia. Demokrasi mensyaratkan peningkatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat sebesar-besarnya, menguatkan transparansi proses politik dan ketatanegaraan, serta menjamin akuntabilitas peralihan kekuasaan dan kepemimpinan baik dalam skala nasional maupun lokal sehingga lahir pemimpin yang betul-betul bertanggung jawab terhadap rakyatnya.

Politik biaya mahal

Alasan mahalnya ongkos politik penyelenggaraan pilkada langsung adalah alasan yang tidak bisa menjustifikasi pilkada oleh DPRD. Belum ada penelitian ilmiah yang bisa memastikan bahwa biaya pilkada oleh DPRD jauh lebih efisien dari pada pilkada langsung. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa ongkos politik “tidak resmi” untuk “membeli perahu” partai di DPRD jauh lebih sedikit ketimbang penyelenggaraan pemilihan langsung oleh rakyat.

Untuk mengatasi mahalnya ongkos penyelenggaraan pilkada adalah dengan secepatnya memperbaiki kualitas aturan penyelenggaraan pilkada itu sendiri. Sebab, dalam konteks substansi, harus diakui bahwa pengaturan yang digunakan dalam penyelenggaraan pilkada memang isinya jauh lebih mundur daripada pengaturan Pileg dan Pilpres 2014. Bahkan UU 32/2004 jo UU 12/2008 yang saat ini berlaku, ketentuannya sudah terlalu banyak dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Karena itu, Pemerintah sebaiknya fokus saja pada pembuatan aturan yang bisa menekan maraknya politik uang, jual beli ‘perahu politik”, dan suara pemilih, serta penegakan hukum dan sanksi yang tegas atas pelanggaran yang terjadi. Aturan dana kampanye pilkada yang saat ini ada juga sangat tidak bergigi dalam menjerat penyalahgunaan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye.

Singkatnya, aturan yang ada lah yang telah “memfasilitasi’ terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang berujung pada politik biaya tinggi penyelenggaraan pilkada. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pelanggaran yang bersifat sistematis, masif, dan terstruktur yang diputus MK, yang harusnya jadi domain penyelenggara pemilu untuk menyelesaikannya. Namun, tidak bisa terwujud karena aturan yang ada tidak bisa membuat itu dilakukan, sehingga “harus” diambil alih oleh MK.

Pilkada dan konflik

Argumentasi konflik horizontal atau kekerasan dalam pilkada juga tidak disertai dengan data yang kuat tentang tindak masifnya kekerasan. Misalnya saja, tahun 2010 diselenggarakan setidaknya 244 pilkada, kalau terjadi kekerasan hanya di 10-20 daerah (misalnya Mojokerto, Toraja, Humbang Hasundutan, sumbawa, dll) tidak lantas melegitimasi bahwa pilkada identik dengan kekerasan. Justeru pembinaan politik yang jadi tanggung jawab pemerintah daerah dan partai politiklah yang harus ditata dengan lebih baik lagi.

Menyikapi hal itu, DPR semestinya lebih berkonsentrasi pada perbaikan substansi aturan yang bisa menjamin kualitas pilkada, memilih sistem pemilu yang efisien (misalnya usulan pemilu serentak dan pilkada satu putaran saja), menekan maraknya politik uang dengan membuat aturan penegakan hukum yang jelas/tidak multitafsir dan disertai sanksi yang tegas, serta pengaturan dana kampanye yang tidak hanya formalitas. Ketimbang menganbil langkah mundur untuk menyelenggarakan pilkada oleh DPRD.

Maka, DPR berpihaklah kepada suara rakyat. Mari perkuat perjalanan demokratisasi Indonesia dan tinggalkan semangat tambal sulam berwajah kepentingan sementara. Karena rakyat akan selalu mengawal suaranya. []

TITI ANGGRAINI
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)