Praktek politik uang selalu berpotensi terjadi dalam setiap pemilu dan pilkada. Seiring perkembangan yang terjadi di masyarakat, politik uang tak lagi berpengaruh signifikan pada preferensi pemilih. Pada Mei 2024 lalu, Muda Bicara ID merilis hasil survey terhadap 140 responden yang merupakan pemilih di Kota Jogja, terkait politik uang. Hasilnya menunjukkan sebanyak 67% responden mengaku pernah menemukan praktik pilitik uang dan 33% belum pernah.
Dalam hasil surveynya, ketika ditanya sikapnya pada politik uang, sebanyak 45% menerima, 37% menolak dan 18% menolak serta melaporkannya ke Bawaslu. Dari yang mengaku pernah menerima politik uang, alasan terbesar menerimanya karena menghargai kandidat yang memberi uang sebanyak 40% dan menerima karena kebutuhan ekonomi sebesar 30%.
Walau masih terjadi praktek politik uang dan sebagian masyarakat menerimanya, namun hal ini tak serta merta mempengaruhi preferensi para pemilih. Hal ini ditunjukkan dari hasil wawancara Harian Jogja dengan sejumlah pemilih di Kota Jogja.
Warga Kelurahan Brontokusuman, Kemantren Mergangsan, Ahmad, 31 tahun, pekerja lepas, mengatakan pada pemilu 2024 ini, tepatnya pada pemilihan legislative Februari lalu, ia beserta keluarganya mendapatkan praktek politik uang dari salah satu caleg.
“Dapat Rp100.000 satu orang, kalau di rumah ada tiga orang ya dapat semua,” ujarnya, (23/10).
Dalam politik uang tersebut, tim pemenangan caleg langsung mendatangi rumah warga dan memberikan uang di tempat. “Jadi timsesnya turun keliling di RT-RT, mengajak orang yang dikenal di kampung itu untuk memberitahu siapa saja yang bisa diberi. Di rumah ya seperti bertamu,” katanya.
Ia pun menerima pemberian tersebut, namun tidak berpengaruh pada preferensi saat pemungutan suara. “Yang penting dikasih orang, uangnya saya terima. Habis itu uangnya saya kasih ibu saya. Tapi calon yang harusnya disuruh milih tidak saya pilih,” ungkapnya.
Ahmad mengaku menerima uang tersebut karena untuk menghargai orang yang memberi saja. Namun untuk preferensi calon, ia sudah menentukan sendiri. “Prakteknya tidak akan saya coblos, karena saya sudah punya preferensi siapa yang akan dipilih, track record-nya gimana saya cek sendiri,” paparnya.
Warga Kemantren Umbulharjo yang tak mau disebutkan namanya, 52 tahun, wiraswasta, mengatakan selama ini belum pernah menerima politik uang. Ia mengaku tidak begitu mempedulikan dinamika politik dan kampanye, sehingga belum pernah bersinggungan dengan kegiatan pemenangan pemilu.Menurutnya, jika nanti mendapat uang dari kontestan pilkada, mungkin akan menerimanya, namun tidak mempengaruhi siapa yang akan dipilihnya.
“Kalau untuk saya mungkin saya terima, tapi saya ga mikir kayak gitu (memilih calon yang memberi). Saya maunya kerja sendiri. Itu kan hanya sedikit (nominal politik uang), jadi ga berpengaruh,” kata dia.
Warga Kelurahan Wirogunan, Kemantren Mergangsan, Bram, 29 tahun, mengaku pernah menemui praktik politik uang pada pemilu 2014. Waktu itu, ia menerima uang sebesar Rp50.000 dari salah satu caleg yang hingga saat ini masih duduk di kursi DPRD Kota Jogja.
“Kalau 2024 belum pernah menemukan, karena sibuk sehingga belum pernah bersinggungan, karena biasanya kan lewat kampung atau kelurahan. Cuma dalam pemilu 2014 pernah dapat, waktu itu dari anggota dewan,” ujarnya, (14/10).
Ia menceritakan pada waktu itu, ia diajak temannya dari satu Gereja untuk mengikuti kegiatan dengan judul Pengenalan Politik Pada Anak Muda, yang ternyata merupakan kegiatan kampanye caleg. Para peserta mendapat amplop dan diarahkan untuk mencoblos caleg di acara tersebut. Uang tersebut ia terima, namun saat pemilu ia tidak mencoblos caleg itu. Ia menjelaskan jika mendapati praktek politik uang, tindakan pertamanya adalah menolak dengan halus. Namun jika dipaksa, maka ia baru menerimanya.
“Saya prefer menolak halus. Berharapnya ya ga usah. Kampanye ya monggo saja. Tapi kalau dipaksa, saya orangnya ga enakan, jadi yasudah saya terima. Cuma waktu hari H mencoblos tidak berpengaruh. Paling uangnya buat beli bensin atau rokok,” paparnya.
Menurutnya, praktek politik uang adalah hal yang salah dan perlu dihindari karena sama dengan menyogok. “Karena tidak ada konteks apapun, tiba-tiba dikasih. Jadi terkesan ibaratnya seperti menyogok,” ungkapnya.
Warga Kemantren Kraton, Lia, 28 tahun, pekerja kontrak, mengaku belum pernah mendapet tawaran dari kontestan pilkada. Jika nantinya ia mendapatkan bentuk apapun dari politik uang, ia dengan tegas akan menolaknya.
“Jika mendapatkan politik uang, kalau saya tidak menerima. Selain menjadi modus sogokan untuk memilih mereka, menerima uang bukan hal yang menjadi acuan untuk memilih calon walikota dan wakil tersebut,” tegasnya, Rabu (23/10).
Politik uang menurutnya tidak mempengaruhi preferensi pemilih dalam pilkada. Justru praktek ini bisa menurunkan nilai calon yang bersangkutan, karena semestinya calon Walikota dan Wakil Walikota menawarkan visi-misi dan progam, bukan uang atau benda.
“Menurut saya, calon ini malah membuat pemilih ragu untuk memilih mereka. Karena warga memilih berdasarkan visi dan misi realistis dari calon walikota dan wakil walikota, untuk pembangunan Kota Jogja yang lebih baik,” terangnya.
Fenomena politik uang yang tidak mempengaruhi preferensi pemilih ini terjadi seiring perkembangan masyarakat yang sudah semakin terdidik dan berpengalaman menghadapi beberapa kali pemilu. Masyarakat tak lagi menggantungkan nasib lima tahun ke depan dari keuntungan sesaat.
Politik Uang Masih Marak
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Pratama, menjelaskan potensi politik uang selalu terbuka lebar dalam pemilu dan pilkada, apalagi politik uang seringkali dimaknai cara instan untuk memperoleh suara terbanyak.
“Dengan harapan dengan memberi uang, si pemilih bisa memberikan suara ke kandidatnya. Logika ini tidak sepenuuhnya bisa dimaknai benar. Karena praktek politik uang tidak seperti transaksi jual-beli di pasar. Kandidat memberikan uang, pemilih memberikan suara, selesai. Dalam transaksi jual-beli itu pemilih tidak ingin suara dibeli dengan mudah setelah itu putus,” katanya, (24/10).
Menurutnya, pemilih hari ini cenderung tidak ingin adanya jual-beli suara yang memutus pola relasi pemilih dengan kandidat. “Sehingga politik uang yang dimaknai jurus jitu tidak sepenuhnya berhasil. Harapannya di pilkada pemilih bisa lebih rasional dan meminimalisir menerima uang dari kandidat,” katanya.
Putusnya relasi antara pemilih dengan kandidat akan membuat representasi para pemilih terhenti. Padahal, representasi politik dalam politik bukan hanya di bilik suara saja, melainkan harus berjalan selama lima tahun kedepan.
Perilaku pemilih hari ini memang cukup bervariatif, maka yang perlu terus didorong yakni agar mereka menjadi pemilih rasional. Pemilih rasional yakni pemilih yang mempertimbangkan pilihan dari program yang ditawarkan, bukan untung-rugi uang yang didapatkan pemilih dari praktik politik uang.
“Perilaku pemilih rasional ini cenderung pada programatik politik. Selama lima tahun kedepan keuntungan apa yang pemilih peroleh jika kandidat terpilih. Ini yang perlu kita dorong juga salah satunya untuk membatasi praktek polisik uang,” katanya. []
Lugas Subarkah, Jurnalis Harian Jogja
Liputan ini telah terbit di Harian Jogja merupakan hasil kolaborasi dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.