Beberapa hari menjelang perhelatan Pilkada 2024, seorang teman mengirimkan sebuah foto melalui pesan pendek. Dia mengabarkan mertuanya menerima sebuah amplop berwarna putih beserta stiker bergambar pasangan calon.
“Rumah gue udah ada serangan fajar nih mas wkwk, ngasih ke mertua gue pas gue lagi gak di rumah,” tulis pesan pendek itu.
Saya pun membalas pesan teman saya. Saya menyebut di tempat tinggal saya tak jauh berbeda. Kebetulan saya dan teman saya tinggal di wilayah kecamatan yang sama, di sebuah kota di Jawa Barat.
“Wkwk ini parah mas, ngasihnya atas nama pak RT,” sambung teman saya.
“Berapa itu amplopnya?” tanya saya.
“Gue gak buka karena mau dibalikin, kalau diterawang sih keknya 50 rebu sama kupon wkwk,” balas teman saya.
Saya kembali membalas pesan teman saya, dengan menceritakan politik uang di tempat tinggal saya. Sang calon wali kota diduga memberikan sembako, dan juga mengajak ratusan ibu-ibu jalan-jalan ke tempat wisata menggunakan bus.
“Enak dong wkwkw,” gurau teman saya.
Sang calon wali kota memang petahana. Bahkan, mendekati Pilkada 2024, banyak kegiatan politik berbalut bantuan sosial alias bansos seperti pengobatan gratis. Warga pun berbondong-bondong mengikutinya. Mungkin sebagian warga tak memperdulikan, atau bahkan tak tahu motif politik di balik acara-acara seperti ini. Yang penting mereka bisa berobat gratis. Apalagi di saat kondisi sekarang, biaya berobat di rumah sakit yang tidak murah.
Sang calon walikota di wilayah saya mungkin tak jauh berbeda dengan kandidat di daerah lain jelang Pilkada 2024. Seperti Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah yang berniat maju kembali di Pilkada tahun ini, tetapi terendus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rohidin disebut-sebut terlibat pemungutan dana kepada pegawainya untuk dana Pilkada 2024. KPK menyita uang senilai Rp7 miliar dalam bentuk rupiah dan mata uang asing. Lembaga antirasuah menjerat dengan kasus pemerasan dan gratifikasi. Rohidin pun kini mendekam di sel tahanan KPK.
Politik uang mendominasi pelanggaran Pilkada 2024
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rahmat Bagja, mengungkapkan, berdasarkan data Bawaslu per 30 November 2024 pukul 11.00 WIB, ditemukan 22 masalah dalam Pilkada 2024. Dari total masalah tersebut, sebanyak 14 masalah di antaranya terkait pemungutan suara, 5 masalah pada pelaksanaan penghitungam suara, 3 masalah pada pergeseran kotak suara dan pengumuman hasil penghitungan suara.
“Adapun terdapat 59 peristiwa dugaan pembagian uang, 8 peristiwa temuan dan 51 laporan dari masyarakat serta 50 peristiwa peristiwa dugaan potensi pembagian uang, 12 hasil temuan dan 38 laporan dari masyarakat,” ungkap Bagja, dalam rapat perdana Komite I DPD RI bersama Bawaslu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada 5 Desember lalu.
Bagja menjelaskan pelanggaran lain yang menjadi sorotan ialah terkait netralitas aparatur sipil negara (ASN). Ada 433 temuan dan laporan di Bawaslu terkait ASN dan sudah direkomendasikan ke Badan Kepegawaian Negara (BKN).
“Terdapat 433 temuan dan laporan dugaan pelanggaran netralitas ASN,” tutur dia.
Lebih lanjut, dari total temuan dan laporan dugaan pelanggaran, didapati adanya 314 pelanggaran dan 99 bukan pelanggaran. Bagja memastikan Bawaslu sudah merekomendasikan hal tersebut kepada BKN.
Sebelumnya, Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, juga menyebutkan tingginya angka pelanggaran di Pilkada 2024 yang mencapai 2.937 laporan, didominasi laporan politik uang dan ketidaknetralan ASN.
“Jadi sebetulnya laporan yang masuk beragam. Tidak hanya soal dugaan ketidaknetralan aparat, ketidaknetralan ASN, tapi juga termasuk politik uang,” ujar Lolly, dalam media gathering di Kepulauan Riau, Selasa malam, 3 Desember 2024.
Lolly menjelaskan dari ribuan laporan angka pelanggaran Pilkada tersebut, ada 757 kasus yang terbukti sebagai pelanggaran.
“Dari ribuan laporan yang kami terima, sebagian besar telah diregistrasi dan diproses. Ada 757 kasus yang terbukti sebagai pelanggaran, sementara 851 laporan dinyatakan bukan pelanggaran,” ungkap dia.
Berdasarkan data Bawaslu, tren pelanggaran administrasi menjadi yang terbanyak, dengan 146 kasus tercatat. Pelanggaran ini meliputi pemasangan alat peraga kampanye (APK) di lokasi terlarang, seleksi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang tidak profesional, serta pelanggaran prosedur administrasi pendaftaran pasangan calon.
Selain itu, terdapat 124 pelanggaran kode etik, seperti ketidaknetralan PPK, PPS, dan Panwaslu Desa, serta pengawas adhoc yang melanggar pedoman perilaku penyelenggara pemilu. Sementara dalam kategori pidana, sebanyak 118 kasus dilaporkan, dengan dominasi kasus politik uang yang mengacu pada Pasal 188 UU Nomor 8 Tahun 2015 dan Pasal 187A UU Nomor 10 Tahun 2016.
Adapun sebaran pelanggaran tertinggi tercatat di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Lampung. Jawa Timur mencatat 113 laporan yang diregistrasi, dengan 65 pelanggaran yang terbukti, sedangkan Sulawesi Selatan mencatat 171 laporan diregistrasi, dengan 119 pelanggaran yang terbukti. Lampung menjadi sorotan karena tingginya kasus politik uang selama masa tenang. Kasus-kasus menonjol lainnya termasuk ketidaknetralan aparatur sipil negara (ASN) dan pelanggaran hukum lainnya, seperti penyalahgunaan fasilitas pemerintah untuk kepentingan politik.
Berikut data laporan pelanggaran Pilkada 2024 berdasarkan jenisnya:
- Pemasangan APK di lokasi terlarang atau tidak sesuai ketentuan (16 kasus).
- Ketidakprofesionalan KPU Kabupaten/Kota dalam seleksi PPK/PPS (9 kasus).
- Pelanggaran prosedur administrasi pelaksanaan pemilihan oleh KPU (8 kasus).
- Verifikasi administrasi dan faktual oleh KPU Provinsi yang tidak sesuai ketentuan (7 kasus).
- KPU Kabupaten/Kota tidak menindaklanjuti saran perbaikan Bawaslu (5 kasus).
- Pendaftaran pasangan calon tidak sesuai prosedur oleh KPU (5 kasus).
- KPU melanggar tata cara dalam pendaftaran calon gubernur/wakil gubernur atau kepala daerah lain (5 kasus).
- Pemasangan APK tidak sesuai lokasi yang diizinkan (5 kasus).
- Pejabat negara/daerah melakukan kampanye tanpa izin atau cuti (3 kasus).
Pelanggaran Kode Etik
- PPK/PPS tidak netral dan menunjukkan keberpihakan kepada pasangan calon tertentu (20 kasus).
- PPS yang tidak netral terhadap pasangan calon tertentu (17 kasus).
- Pengawas adhoc tidak netral (11 kasus).
- Ketidakprofesionalan PPK/PPS dalam menjalankan tugasnya (10 kasus).
- Panwaslu Desa/Kelurahan melanggar kode etik (9 kasus).
- Panwascam tidak netral terhadap peserta pemilu (8 kasus).
- KPU Provinsi tidak profesional dalam verifikasi administrasi pencalonan perseorangan (8 kasus).
- Sekretariat PPK menunjukkan keberpihakan kepada pasangan calon tertentu (4 kasus).
- Pengawas adhoc tidak berintegritas (3 kasus).
- Panwascam melanggar pedoman perilaku penyelenggara pemilu (3 kasus).
Pelanggaran Pidana
- ASN membuat kegiatan yang menunjukkan keberpihakan kepada pasangan calon tertentu (67 kasus).
- ASN memberikan dukungan melalui media sosial kepada pasangan calon (65 kasus).
- ASN ikut serta dalam kegiatan kampanye atau sosialisasi calon (46 kasus).
- ASN mempromosikan calon melalui media sosial (24 kasus).
- Kepala desa ikut serta dalam kampanye pemilu (22 kasus).
- Kepala desa ikut membentuk tim kampanye pasangan calon (13 kasus).
- ASN menghadiri kampanye atau pengenalan pasangan calon (12 kasus).
- Penggunaan fasilitas pemerintah untuk kegiatan politik (10 kasus).
- Perangkat desa menyalahgunakan wewenang dalam pemilu (10 kasus).
- Dugaan pelanggaran perlindungan data pribadi dan UU ITE (9 kasus).
Kurangnya Transparansi Ongkos Politik
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), salah satu musuh utama dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi, baik nasional maupun lokal di Indonesia adalah praktik politik uang. Dikutip dari laman ICW, istilah politik uang dimaksudkan sebagai praktik pembelian suara pemilih oleh peserta pemilu, maupun oleh tim sukses, baik yang resmi maupun tidak, biasanya sebelum pemungutan suara dilakukan.
Dengan politik uang, pemilih kehilangan otonominya untuk memilih kandidat pejabat publik melalui pertimbangan rasional, seperti rekam jejak, kinerja, program maupun janji kampanye, karena memilih kandidat hanya karena pemberian uang belaka. Jenis politik uang ini yang secara umum diatur undang-undang, termasuk Undang-Undang Pilkada.
Meskipun sudah diatur, tetapi efektivitas pemberantasan politik uang masih diragukan. Padalah, politik uang telah merusak sistem demokrasi pemilu dan membuat pemilu menjadi tidak kredibel. Hasilnya banyak pejabat publik yang terpilih karena pengaruh suap kepada pemilih daripada karena faktor objektif sebagaimana telah disebutkan diatas. Karena itu, banyak pejabat daerah hasil pilkada terjerat kasus korupsi setelah menjabat.
Sementara itu, dalam proses penentuan kandidat, politik uang juga disebut marak terjadi. Istilah yang lebih umum adalah candidacy buying. Dalam praktek candidacy buying, partai politik atau elite partai politik meminta sejumlah uang kepada kandidat agar bisa dipilih sebagai kandidat resmi, dan mendapatkan rekomendasi dari partai politik.
Pada kasus yang lain, kandidat memborong dukungan partai politik agar partai politik tidak mengajukan kandidat lain sebagai lawannya. Kendati, apa yang kerap disebut sebagai mahar politik, tidak mudah diungkap secara hukum.
Belajar dari pengalaman Pilkada sebelumnya, penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu sulit menghadapi hantu pemilu bernama politik uang. Meskipun regulasinya telah diperbaiki, di mana pemberi maupun penerima uang bisa dipidana, tetapi masalah pembuktian secara hukum merintangi proses penegakannya.
Untuk gelaran Pilkada 2024, ICW memberikan catatan terhadap laporan dana kampanye Pilkada 2024. Mereka menilai laporan tidak transparan, mempersempit ruang pengawasan publik, dan terindikasi tidak jujur, sehingga membuka ruang pendanaan gelap dalam kontestasi Pilkada.
Dalam catatannya, ICW menyoroti soal dana kampanye pasangan calon kepala daerah. Menurut ICW telah menjadi rahasia umum kandidat dalam pilkada kerap mendapatkan sumbangan dari pihak-pihak tertentu, misalnya para pebisnis. Hal itu karena ongkos politik dalam Pilkada sangat tinggi dan kandidat membutuhkan sumber daya untuk memenangkan kontestasi. Di sisi lain, dengan memberikan sumbangan, pebisnis berkepentingan untuk mendapatkan konsesi dan proyek-proyek negara.
Hasil penelusuran ICW yang dilakukan pada 18 hingga 21 November 2024, menunjukkan hanya terdapat 13 dari total 103 kandidat yang sumbangan kampanyenya didominasi individu. Sehingga laporan tersebut menurut ICW tidak jujur.
Lebih buruk, para individu pemberi sumbangan tersebut tidak dapat diketahui identitasnya. Dalam portal laporan dana kampanye yang dikelola KPU, infopemilu.kpu.go.id, informasi penerimaan sumbangan dan pengeluaran dana kampanye hanya menampilkan tanggal dan nominal. ICW menilai hal ini sebagai pintu masuk pendanaan gelap dari para cukong.
Keberadaan dana kampanye, menurut ICW, menjadi salah satu elemen penting dalam pelaksanaan Pilkada. Sebab dana inilah yang akan digunakan untuk menyokong berbagai kegiatan kampanye masing-masing pasangan calon.
Tak hanya itu, pelaporan dana kampanye juga penting sebagai instrumen pengawasan, guna mencegah intervensi pihak tertentu yang ingin mengkooptasi proses pembentukan kebijakan melalui politik balas budi, sekaligus untuk mengawasi penyalahgunaan dana kampanye untuk tindakan ilegal yang dapat mencederai integritas pemilu seperti politik uang.
Sayangnya, ICW menilai, KPU masih membatasi akses publik terhadap informasi dana kampanye para kandidat. Dalam portal yang KPU kelola, hanya terdapat Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) yang mencakup penerimaan dan pengeluaran, serta penerimaan sumbangan dan pengeluaran dana kampanye.
Dalam hal penerimaan sumbangan, portal ini hanya mencantumkan sumbangan dalam bentuk uang, barang, dan jasa yang bersumber dari pasangan calon, partai, dan pihak lain perseorangan. Sedangkan sumbangan dari badan swasta tidak dicantumkan.
Selain itu, KPU tidak serius merespon ketidakjujuran kandidat dalam melaporkan dana kampanye. ICW mendapati setidaknya 14 paslon yang mencantumkan penerimaan dan pengeluaran dalam LADK sebesar Rp0. Serta terdapat 33 paslon yang total pengeluarannya masih sebesar Rp0.
ICW menilai tidak mungkin para kandidat belum mengeluarkan dana sepeser pun untuk membiayai kampanyenya. KPU tidak melakukan langkah yang patut terhadap hal tersebut. Dugaan kuat atas pelaporan dana kampanye yang tidak dilakukan secara serius ini juga diperkuat dengan rerata penerimaan sumbangan kandidat yang hanya berkisar pada Rp3,8 miliar.
Sedangkan taksiran biaya yang perlu dikeluarkan kandidat dalam pemilihan skala gubernur menurut KPK pada 2020 saja berkisar antara Rp20 miliar hingga Rp100 miliar. Adanya perbedaan nominal yang sangat jauh ini mengindikasikan apa yang dilaporkan para kandidat tidak mencerminkan ongkos politik yang riil.
Di lain sisi, dominasi sumbangan dari paslon menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana kontribusi dan peran partai dalam mendukung pendanaan para kandidat. Sebab minimnya dukungan dari partai politik juga dapat berimbas pada kandidat yang mencari sumber pendanaan secara ugal-ugalan, hanya demi dapat mengumpulkan dana yang besar bagi pencalonannya.
Bukan tak mungkin, petahana yang mencalonkan kembali juga pada akhirnya menyalahgunakan kewenangannya untuk mengumpulkan modal pencalonan. Contoh kasus terbaru adalah Rohidin Mersyah, petahana Gubernur Bengkulu yang terjaring OTT KPK karena diduga memerintahkan anak buahnya untuk mengumpulkan uang hasil korupsi yang akan digunakan dalam pencalonannya.
Di sisi lain, minimnya dukungan partai dalam pendanaan kampanye kandidat juga semakin mempersempit ruang partisipasi warga untuk maju dalam kontestasi Pilkada. Sebab, hanya individu yang sudah memiliki sumber daya besar sejak awal, yang akan lebih mudah mencalonkan diri. Alhasil, hal ini juga bermuara pada munculnya kandidat-kandidat yang terafiliasi dinasti politik atau dengan pebisnis.
Karena itu, ICW meyakini perombakan regulasi secara menyeluruh terkait pelaksanaan pelaporan dana kampanye, mekanisme audit, hingga tata kelola partai politik sangat diperlukan, guna mewujudkan asas demokrasi yang sesungguhnya dalam pelaksanaan Pilkada 2024.
Kandidat Pragmatis dalam Meraih Suara
Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati menilai maraknya praktik politik uang di Pilkada 2024, disebabkan para kandidat pragmatis dalam meraih suara. Banyak calon kepala daerah berpikir ingin meraih suara dengan praktis. Mereka menganggap, politik uang lebih efektif untuk menggaet suara.
“Saya pikir maraknya politik uang dalam pilkada disebabkan oleh semakin pragmatismenya kandidat dalam meraih suara pemilih,” kata Wasisto kepada IDN Times, Jumat, 6 Desember 2024.
Praktik politik uang semakin diperparah dengan anggapan dari masyarakat yang mulai menormalisasi tindakan curang tersebut.
“Di sisi yang lain, politik uang sudah menjadi hal normal yang terjadi ketika pemilu di mata pemilih. Kedua hal itulah yang menjadikan kenapa para politisi jor-joran soal uang,” jelas Wasisto.
Alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini tak memungkiri, sebenarnya banyak pemilih sudah kritis terhadap politik uang.
“Saya pikir pemilih sudah paham soal poliitk uang tersebut, cuma soal itu diterima atau ditolak uangnya, kembali lagi ke pilihan masing-masing,” tutur Wasisto.
Sulitnya Pembuktian hingga Teori Supply and Demand
Ketua Komisi II DPR RI, M. Rifqinizamy Karsayuda menyoroti dua hal dalam politik uang. Pertama, kata dia, dari sisi hukum politik uang sudah jelas, begitu juga sanksinya. Menurutnya, alasan politik uang masih marak terjadi di pilkada lantaran beberapa hal. Pertama, karena pembuktian politik uang terhadap pasangan calon atau kandidat sangat sulit.
“Misalnya saya sebagai caleg, yang membagikan duit itu kan bukan saya atau timses saya, yang bagi duit mungkin orang yang bahkan saya tidak kenal. Nah, kalau kemudian uang itu ditemukan, ada alat peraga atas nama saya ditemukan, ada yang membagikan yang diciduk, kemudian dibawa ke Bawaslu, ya, itu untuk mengkorelasikan dia (yang membagikan uang) dan saya itu sangat sulit,” ujar dia kepada IDN Times, baru-baru ini.
Oleh karena itu, menurut politikus yang akrab disapa Rifqi, money politic tidak menakutkan bagi politisi, walapun dilarang tetapi tidak menakutkan karena tidak ada korelasi langsung dalam pembuktiannya.
Kedua, Rifqy melanjutkan, bicara politik uang tak lepas dari teori supply and dimand. Dia mencontohkan ketika seorang kandidat sudah bekerja keras turun ke rakyat belum tentu ia memenangkan kontestasi pilkada atau pemilu.
“Tetapi dalam pemilu, apakah suara orang yang bekerja keras dan dekat dengan rakyat, suaranya lebih banyak dengan orang yang tidak pernah turun? Jawabannya tidak. Karena kalau orang yang gak pernah turun dengan sumber daya kapital yang sangat besar, dia bisa menggeser kita,” kata dia.
“Kenapa bisa begitu? Karena publik tidak punya keteguhan hati, publik tidak punya idealisme, publik tidak tahu parameter untuk mendukung calon. Satu-satunya parameter adalah soal duit dan bantuan lainnya yang ia terima,” lanjut politikus Partai NasDem itu.
Menurut Rifqy upaya mencegah politik uang dengan memperbaiki undang-undang sebaik mungkin jika politik uang masuk teori supply and demand, akan sulit terwujud. Perlu upaya bersama antara pemerintah, DPR, penyelenggara pemilu, masyarakat, dan pihak terkait lainnya menyelesaikan masalah ini.
“Makanya saya bilang kalau mau bicara politik uang, jangan ‘menggonggong’ ke kami politisi, ya gonggonglah pada publik juga,” ujar dia.
Tadi pagi saya ditelepon sama salah satu calon bupati di dapil saya, kebetulan ketua partai saya di kabupaten itu, dia konsisten dalam surveinya dua tahun ini, signifikan sekali angkanya dan hanya selisih 10 persen dari kandidat lainnya. Tetapi pada hasil pilkada kemarin, hasil suaranya dia terkecil. Jauh dibanding survei-survei itu.
Rifqy pun menceritakan pengalaman salah satu kandidat di Pilkada 2024 yang kebetulan masih rekan separtainya. Dalam dua tahun belakangan, teman sejawatnya itu memiliki catatan elektabilitas hasil survei relatif baik, serta rajin turun ke masyarakat. Namun hasilnya di pilkada tidak sebanding dengan kerja kerasnya, hanya lantaran kurang modal uang.
“Saya tanya kenapa? Dia didatangi masyarakat ke rumahnya dua hari sebelum 27 November, mereka minta duit, bilang gak punya, duitnya sudah habis, pas-pasan dan sebagainya. Di sisi lain, calon yang tidak pernah konsolidasi dan kampanyenya juga tidak wah-wah banget tetapi uangnya cukup, ini yang kemudian menyelesaikan orang-orang yang mengeluh ini. Dan kemudian dia mendapatkan suara yang signifikan, ia menjadi pemenangnya,” ujarnya mencontohkan.
“Kalau begini kan gimana kita coba? Masyarakatnya sendiri yang sepertinya belum mau memperbaiki sistem dan pemilunya,” imbuhnya. []
Rochmanudin, Jurnalis IDN Times
Liputan ini telah terbit di IDN Times merupakan hasil kolaborasi dengan Perludem untuk mengawal proses Pilkada 2024 dan memastikan pilkada berjalan dengan adil dan transparan.