Menjelaskan kampanye SARA di pilkada perlu mengurai pengertian “kampanye” dan “SARA”. Ada tak kesesuaian antara harapan tinggi masyarakat dengan teks regulasi yang sempit. Perlu kesepahaman antarpihak agar pilkada tak dinilai tumpul penegakan hukum dan terjadi konflik fisik massa berdasar SARA.
UU 8/2015 yang tak mengalami perubahan pada revisi kedua (UU 10/2016) mengartikan kampanye sebagai kegiatan yang memenuhi semua unsur-unsur kampanye secara akumulatif. Pengeritan kampanye pada Pasal 1 nomor 21: kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah.
“Aktivitas kampanye hampir tidak mungkin dilaksanakan semua bersamaan,” kata peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil (3/11).
Fadli menjelaskan, kampanye berkait erat dengan penegakan hukum. Maka perlu frasa dan norma undang-undang yang bersifat alternatif, yang lebih menjelaskan kegiatan kampanye.
Penyelenggara pemilu dalam penyelenggaraan pilkada serentak sudah memastikan pengertian kampanye tanpa harus memenuhi semua unsur kampanye melalui peraturan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui PKPU 7/2015, 12/2016, dan 13/2016. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dengan Peraturan Bawaslu 10/2015. Semua peraturan itu menambahkan kata atau (/) dalam pengertian kampanye sehingga kegiatan bisa dinilai kampanye tanpa harus memenuhi semua unsur-unsur kampanye.
Semua pengertian dalam peraturan itu bertuliskan: Kampanye Pemilihan, selanjutnya disebut Kampanye, adalah kegiatan menawarkan visi, misi, dan program Pasangan Calon dan/atau informasi lainnya, yang bertujuan mengenalkan atau meyakinkan Pemilih.
Terobosan KPU dan Bawaslu itu penting diapresiasi dan dipahami bersama. Para pasangan calon serta tim suksesnya harus memahami perbaikan regulasi kampanye ini. Setiap pemilu sebelum pilkada serentak, ketakjelasan kampanye cenderung tak dipermasalahkan paslon beserta partai pengusung dan tim sukses. Semua lebih memanfaatkan celah dari sempitnya makna kampanye akumulatif.
Ketakjelasan “SARA”
Potensi ketakjelasan pengertian “kampanye” bertambah di konteks istilah SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Dalam praktiknya, kampanye SARA awam dimaknai sebagai pengucapan/memperlihatkan kalimat ajakan memilih satu atau lebih unsur dari SARA. Misal, pilih yang satu suku, satu agama, satu ras, atau satu golongan. Atau sebaliknya, jangan pilih orang luar daerah, kafir, atau tak satu golongan.
Tapi, redaksi regulasi menganggap semua ajakan atau penolakan memilih berdasarkan unsur SARA bukan merupakan kampanye. Sekali lagi, regulasi pilkada mengartikan kampanye adalah ajakan kepada pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program calon kepala daerah.
“Suku, agama, ras, dan antargolongan itu merupakan fakta demokrasi. Saya setuju dengan pandangan Ketua DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), Jimly Asshiddiqie. Menurutnya, SARA bagian dari demokrasi yang dinamika partisipasinya tak boleh dilarang sehingga harus diakui termasuk di pemilu,” kata Ketua KPU DKI Jakarta, Sumarno kepada rumahpemilu.org (27/9).
Istilah SARA sendiri ada dalam UU No.8/2015 Pasal 69 bagian b. Di sini dituliskan dalam kampanye dilarang: menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, Calon Wakil Walikota, dan/atau Partai Politik. Berdasar ketentuan itu, hal terkait SARA dalam kampanye menjadi terlarang jika, mengandung unsur penghinaan.
Lalu bagaimana jika kampanye ada dalam materi khotbah? Jawabannya, regulasi tak mempermasalahkan materi khotbah. Menjadi bermasalah hukum, jika materi khotbah berisi kampanye disampaikan di tempat ibadah atau tempat pendidikan. UU No.8/2015 Pasal 69 huruf i bertuliskan, dalam kampanye dilarang: menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan.
“Kampanye menjadi dugaan pelanggaran atau bukan terkait dengan waktu dan tempat. Jika unsur kampanye disebutkan dalam khotbah di tempat ibadah, bisa dilaporkan sebagai dugaan pelanggaran,” kata Anggota Bawaslu DKI Jakarta, Muhammad Jufri (3/11).
Menurut Jufri, Bawaslu DKI Jakarta siap untuk menyikapi pelanggaran kampanye, termasuk berkait SARA. Pasal 69 UU No.8/2015 secara umum melarang kampanye dengan menghina, menghasut, memfitnah, mengadu domba, melakukan kekerasan, ancaman, merusak fasilitas, baik dengan SARA atau tanpa SARA. Pelaporan dugaan penting dilakukan sebagai tahap awal penegakan hukum.
“Regulasi sudah jelas menghina, mengadu domba, mengancam, dan sebagainya, masuk dalam pelanggaran. Ajakan menyebutkan nomor juga jelas sebagai unsur kampanye karena mengajak dan meyakinkan,†ujar Jufri.
Sependapat dengan Jufri, Sumarno coba meyakinkan kepastian hukum dalam kampanye pilkada. Undang-undang memang mengartikan kampanye sebagai penyampaian visi, misi, dan program partai. Tapi, dalam penerapannya, penyelenggara pemilu tak akan kaku.
“Jika di tempat pendidikan ada yang mengajak memilih si A dengan menyebutkan nama atau nomor urut, itu bisa dipahami sebagai kampanye. Ini masuk yang dilarang dalam undang-undang,” tegas Sumarno.
Keserentakan Pilkada 2017 di 101 daerah semakin menguatkan kebutuhan kepastian hukum pemilu. Sebelum serentak, di Pilkada DKI Jakarta 2012, Rhoma Irama mengajak jamaah masjid untuk memilih pasangan calon berdasarkan SARA. Laporan dugaan pelanggaran berakhir dengan hukum yang menyimpulkan Rhoma tak melanggar karena tak memenuhi unsur kampanye dalam regulasi. []
USEP HASAN SADIKIN