Terdapat hubungan antara pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) secara serentak dengan kenaikan praktek politik uang di Indonesia. Hal itu diungkapkan Peneliti utama Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi. Menurutnya, banyaknya jumlah kandidat yang berlaga di Pemilu serentak meningkatkan praktik vote buying. Terbatasnya jumlah kursi dan membludaknya para penantang menjadikan kompetisi semakin ketat sehingga meningkatkan praktek politik uang.
“Sejak kita mengambil keputusan untuk Pemilu Serentak 2019, sejak saat itu normalisasi politik uang masif bahkan sampai pada tingkat massal,” kata Burhanuddin dalam Electoral Reform Outlook Forum 2024, di Jakarta Pusat, (18/12).
Sebagai informasi, Pemilu serentak 2024 menghadirkan sebanyak 20.462 kandidat yang memperebutkan total 2.024 kursi di level nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Akhirnya yang terjadi lebih banyak kandidat akan lebih banyak persaingan dan praktik politik uang.
Selain itu, faktor lain yang membuat masifnya praktik politik uang menurut Burhanudin adalah ketidakseriusan aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti tindak pidana pemilu. Karena menurutnya, pemilu serentak hanya berfokus pada pilpres saja, sementara pelanggaran pileg kurang dimonitoring.
Dalam risetnya, Burhanuddin mengatakan tren pewajaran politik uang di Indonesia mengalami peningkatan sejak akhir 2019 atau ketika pemilu serentak pertama kali dilaksanakan. Misalnya, besaran masyarakat yang mewajarkan politik uang dalam periode akhir Februari 2024 hingga Juli 2024 berada di kisaran 54,5 persen atau mengalami kenaikan sebesar 12,8 persen sejak 2006. Sementara yang menganggap politik uang tidak dapat diterima justru mengalami penurunan sejak akhir April 2009 silam.
“Saat ini jumlah masyarakat yang menyatakan ketidakwajaran politik uang sebesar 44,5 persen. Angka itu mengalami penurunan sejak 2009 silam dengan jumlah sebesar 61,9 persen. Adapun jumlah itu mengalami penurunan secara tajam pada akhir 2019 dengan jumlah 48,6 persen atau terjun sekitar 13,3 persen,” jelasnya.
Lebih lanjut, biaya vote buying yang harus digelontorkan kandidat sebelum pemilu serentak atau pada akhir 2014 hingga 2019, sebesar Rp91.000-100.000 dapat memengaruhi sebanyak 60,7 persen masyarakat. Sementara itu, hanya ada 30,7 persen masyarakat yang masih mau menerima besaran uang itu pada April 2019 hingga Februari 2024. []