Ahad 5 Juli 2020, tepat sudah 50 tahun usia Prof. Topo Santoso. Berkat dua buah karya monumentalnya “Kriminologi” yang ditulis bersama dengan Eva Achjani Zulfa dan “Tindak Pidana Pemilu” menjadi tak asing namanya di kalangan mahasiswa fakultas hukum seluruh Indonesia. Dua karya tersebut juga menguasai hampir seluruh dosen pengajar hukum pidana, meletakkan buku Prof. Topo sebagai rujukan utama dalam mengajar.
Dalam penelusuran di perpustakaan pribadi saya, ada juga buku yang pernah ditulis oleh Prof. Topo berjudul Asas-asas Hukum Pidana Islam, generasi kedua dari buku yang pernah ditulis oleh A. Hanafi. Ada juga buku yang pernah ditulisnya bersama Ida Budhiati, berjudul Pemilu di Indonesia.
Centang-perenang karya “Kriminologi” Prof. Topo, bolehlah kita bersilang pendapat masih banyak karya-karya sejenis itu oleh penulis lain. Tapi kalau buku “Tindak Pidana Pemilu” hanya bisa ditemukan nama penulis, seperti Dedi Mulyadi. Selebihnya, terdapat beberapa buku tindak pidana pemilu namun sudah tertelan usia dibalik reformasi UU Kepemiluan, di antaranya ada dua nama besar; Djoko Prakoso dan Sintong Silaban.
Sumbangsih terbesar Prof. Topo terhadap pembangunan hukum delik kepemiluan di Indonesia dalam pandangan saya, dan semoga itu tidak salah, mulai terlihat dari Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019. Bisa diamati perubahan besar tindak pidana pemilu dalam kurun waktu empat kali pemilihan pascareformasi. Kluster pengkhususan tindak pidana pemilu bukan hanya pada aspek materilnya, tetapi juga sudah pada aspek formilnya.
Sampai pada pemilu terakhir kemarin, mekanisme penyelesaian tindak pidana pemilu sangat terasa, dengan waktu yang singkat masa penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pengadilan. Ada beberapa calon legislatif daerah terpaksa gigit jari di menit-menit akhir, karena kasus pidana pemilu yang menyeretnya terbukti di pengadilan. Pada kasus calon legislatif misalnya yang melibatkan ASN dalam kegiatan kampanye, memang hanya dijatuhi pidana penjara 3 (tiga) bulan, namun karena dalam UU Pemilu terdapat ketentuan yang mengatur pembatalan sebagai calon legislatif terpilih, kala terbukti sebagai calon yang melibatkan ASN dalam kampanye. Saya berani mengatakan hingga saat ini, bahwa masih ada deterren effect dari pengkhususan tindak pidana pemilu.
Pada soal lain, Prof. Topo berpengharapan agar diutamakan sanksi administrasi untuk pelanggaran kepemiluan seperti pembatalan calon atau pembatalan hasil pemilu. Jika ke depannya demikian usulan Prof. Topo, apakah itu memungkinkan? Dan pada saat yang sama apakah dengan tanpa delik pemilu, ada jaminan pemilu dapat terselenggara secara jujur dan adil.
Secara pribadi, saya begitu kurang optimis. Tanpa evaluasi dan perbaikan kepada lembaga mana seharusnya diatribusikan wewenang untuk menjatuhkan sanksi administrasi, terutama kepada calon yang melakukan kecurangan. Apakah Bawaslu? Ataukah KPU sebagai organ eksekutif, bisa menjatuhkan sanksi administrasi yang pada dasarnya reaksi hukum semacam itu, dalam tataran teori tidak perlu dengan perantara pengadilan.
Pertanyaan-pertanyaan lain pastinya juga akan muncul dalam diskursus kepastian hukum. Bagaimana jadinya kalau misalnya ada calon legislatif sudah disanksi administrasi. Namun pada saat yang sama juga diproses pidana, lalu di belakang hari putusan pengadilan menyatakan perbuatannya itu tidak terbukti sebagai tindak pidana. Apakah sanksi administrasi tetap bertahan, calon tidak perlu dipulihkan hak dan nama baiknya, meskipun dalam putusan pengadilan bertendensi pidana menyatakannya tidak terbukti.
Pertanyaan tersebut menjadi penting agar kita semua kembali merenungkan, wacana saat ini yang sedang berkembang untuk mendepak keluar penyelesaian tindak pidananya dari UU Pemilu.
Kalau boleh memberikan usul dan pendapat, saya masih termasuk pihak yang menginginkan tindak pidana pemilu dalam lex specialist-nya dengan sejumlah catatan. Pertama, silakan menggeser tindak pidana pemilu dalam aspek formilnya, cukup diselesaikan dengan mekanisme KUHAP, tetapi untuk tindak pidana pemilu yang pelakunya berasal dari calon legislatif dinaikkan dengan standar maksimal 5 (lima) tahun ke atas. Kenapa saya memilih stelsel maksimal 5 tahun? Tidak lain untuk calon yang terpilih itu nanti, saat kasus pidananya terbukti di pengadilan, akan memenuhi syarat pemberhentian sebagai anggota legislatif berdasarkan UU MD3.
Kedua, menjadi penting untuk kita pikirkan bersama stelsel ancaman pidana kepemiluan. Apakah dengan stelsel ancaman pidana kumulatif (penjara dan denda) atau stelsel ancaman pidana alternatif (penjara atau denda) ataukah dengan stelsel ancaman pidana kumulatif alternatif (penjara dan/atau denda). Bisa digunakan stelsel ancaman pidana alternatif atau stelsel ancaman pidana kumulatif alternatif, dengan dasar argumentasi bahwa untuk tindak pidana pemilu dengan ancaman pidana berbasis kurungan, majelis hakim pengadilan berdasar hukum menjatuhkan pidana penjara bersyarat (percobaan).
Tawaran ini perlu, sebab dalam beberapa kasus tindak pidana pemilu seperti politik uang yang saya amati, beberapa putusan pengadilan justru menjatuhkan pidana penjara bersyarat padahal bertentangan dengan ketentuan umum KUHP. Untuk tindak pidana dengan stelsel ancaman kumulatif tidak dibenarkan menggunakan pidana penjara bersyarat.
Diketahui oleh para ahli hukum pidana, bahwa kalau ancaman pidana dengan stelsel kumulatif, manakala terpidana tidak dapat membayar denda maka dikenal dengan yang namanya pidana penjara pengganti. Dan kalau ada pidana penjara pengganti dari ketidakmampuan membayar denda, niscaya harus dijalani oleh terpidana, tidak boleh dengan pidana penjara bersyarat.
Terlepas dari seluruh catatan di atas. Pastinya kita semua menaruh harapan besar kepada Prof. Topo sebagai satu-satunya ahli pidana kepemiluan di Indonesia, kembali mendesain tindak pidana pemilu menuju sirkulasi elit pemerintahan yang jujur dan adil.
Saya memiliki ekspektasi besar dibalik karya-karya tindak pidana kepemiluan yang pernah ditulis oleh Prof. Topo. Sebagai Dosen FH Universitas Indonesia yang pernah juga menjabat dekan satu periode, kelak dikemudian hari menelorkan karya; uraian pembahasan tindak pidana pemilu, laksana Tafsir KUHP superlengkap dari R. Soesilo, R. Soegandhi, dan Sianturi. Atau seperti literarur hukum pidana korupsi, tindak pidana penghinaan, tindak pidana penipuan, karya Adami Chazawi yang memenuhi rak toko buku dan perpustakaan di negeri ini.
Pernahkah ada buku tindak pidana pemilu di Indonesia yang membahas atau mengurai pasal-perpasal, tafsir, berikut dengan penjelasannya? Jawabannya, ada, yaitu buku yang ditulis oleh Mr. M Kadroesman, terbitan Maduratna, 1955.
Hanyalah Prof. Topo yang bisa menjadi generasi emas kedua dari penulis tafsir pasal-pasal tindak pidana pemilu. Panjang usia dirimu, Prof Topo, berkah Allah SWT untukmu selalu. Dengan pidana mari kita mengawal pemilu yang jujur dan adil. []
DAMANG AVERROES AL-KHAWARIZMI
Penulis Buku “Seputar Permasalahan Hukum Pemilu dan Pilkada”