Maret 28, 2024
iden

Prospek Kepemimpinan Perempuan Hasil Pilkada 2015

keterwakilan-perempuan-rev-05

Perempuan terpilih hasil Pilkada 2015 akan berhadapan dengan tingginya tingkat fragmentasi parlemen. Tantangan berat untuk menjalankan pemerintahan properempuan lima tahun ke depan.

Keterwakilan perempuan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat eksekutif menjadi penting untuk menegosiasikan program atau kebijakan yang berpihak pada perempuan. Tanpa kehadiran perempuan di kursi eksekutif, regulasi di tatanan daerah berupa peraturan daerah (Perda) sering kali justru menjadi ancaman terhadap perempuan.

Hingga akhir 2014 lalu, Komnas Perempuan mencatat ada 365 peraturan daerah yang tidak berpihak kepada perempuan. Perda diskriminatif tersebut banyak ditemukan di daerah Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan mayoritas wilayah Sulawesi. Bentuk diskriminasi antara lain membatasi ruang dan waktu gerak perempuan, memaksa perempuan agar berbusana sesuai dengan agama tunggal mayoritas di daerah tertentu, serta tidak memberi pelayanan yang layak kepada perempuan korban kekerasan seksual.

Perda-perda yang properempuan diperkirakan tak akan banyak muncul dari kepala daerah hasil Pilkada 2015 ini. Fragmentasi parlemen daerah yang ekstrem memperberat lahirnya kebijakan properempuan. Belum lagi perempuan kepala daerah tak disokong oleh jumlah kursi koalisi yang solid.

Alih-alih menggolkan kebijakan yang properempuan, perempuan justru akan disibukkan dengan menanggulangi pembuatan kebijakan yang bisa berujung pada transaksi bahkan korupsi.

Perempuan kepala daerah versus polarisasi parlemen

Dalam presidensialisme yang dianut Indonesia hingga ke level daerah, keputusan dan kebijakan yang diambil adalah hasil dari kesepakatan eksekutif dan legislatif. Keberhasilan perempuan kepala daerah melahirkan kebijakan properempuan tentu dipengaruhi relasi hubungan antara pemerintah daerah—dalam hal ini kepala daerah dan wakil kepala daerah—dengan DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota.

Salah satu tantangan pengambilan keputusan dan kebijakan (dalam relasi eksekutif-legislatif tersebut) adalah tingginya rata-rata tingkat fragmentasi parlemen di daerah. Keadaan ini juga diperparah dengan lemahnya dukungan partai pengusung di parlemen bagi perempuan kepala daerah terpilih.

Indeks effective number of parliament party (ENPP) adalah indeks yang paling relevan untuk mengukur tingkat fragmentasi parlemen. Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, indeks ini adalah formula matematis yang diajukan Laakso dan Taagepera (1979) yang dimaksudkan untuk mengetahui jumlah partai relevan di parlemen dalam mengambil keputusan dan formulasi kebijakan. Semakin besar indeks ENPP, maka semakin terfragmentasi parlemen dan semakin sulit keputusan diambil.

Parlemen di daerah memiliki nilai rata-rata effective number of parliament party (ENPP) 7 (lihat tautan berikut http://www.rumahpemilu.org/in/read/10874/ENPP-Daerah-Perempuan-Terpilih-Pilkada-2015. Indeks ENPP 7 ini menunjukkan ada 7 partai relevan yang berdampak pada polarisasi kekuatan dan sulit mengambil keputusan. Kepala daerah mesti berhadapan atau melobi 7 kekuatan atau hampir seluruh partai yang memiliki kursi di DPRD untuk menggolkan kebijakannya.

Mengacu pada konsep multipartai yang diajukan Satori (1976), nilai ini menunjukkan adanya polarisasi multipartai yang ekstrem. Sistem multipartai ekstrem memiliki rentang jarak ideologi cukup jauh antar partai politik akibat terdapat lebih dari lima partai politik besar dengan jumlah kursi yang cukup signifikan di parlemen. Ini berdampak pada terbentuknya polarisasi dan sulitnya membangun stabilitas politik yang ada. Dengan kata lain sistem multipartai ekstrem cenderung terfragmentasi.

Selain kondisi parlemen, koalisi partai pengusung juga berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Di Tabanan, misalnya, Ni Putu Eka Wiryastuti didukung oleh PDIP. Di parlemen, PDIP menguasai kursi mayoritas—dalam kondisi parlemen yang moderat berindeks 2.9. Penguasaan kekuatan di parlemen akan mempermudah kepala daerah dalam mengambil keputusan.

Namun, peluang yang didapat Ni Putu Eka Wiryastuti di Tabanan tidak didapat oleh perempuan kepala daerah lain. Lemahnya koalisi partai pengusung perempuan kepala daerah di parlemen rata-rata berkisar 34 persen saja.

Fenomena ini kerap disebut sebagai pemerintahan yang terbelah—eksekutif dan legislatif dikuasai blok politik berbeda. Keadaan ini dapat memicu konflik legislatif dan eksekutif menjadi suatu keniscayaan.

Tiga pilihan

Dalam kondisi tersebut, perempuan kepala daerah dihadapkan pada tiga pilihan saat hendak mengambil keputusan bersama legislatif. Pertama, membiarkan konflik itu terjadi dan berujung padadeadlock. Kedua, menciptakan koalisi pendukung pemerintah yang solid. Ketiga, membangun sistem kepartaian yang terkartelisasi untuk memuluskan kebijakan publik yang diusulkan oleh eksekutif.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris (Kompas, 2016) menilai, di Indonesia, opsi pertama tidak akan terjadi. Perempuan kepala daerah tidak akan membiarkan keadaan ini sampai berujung pada kebuntuan atau deadlock.

Penciptaan koalisi pendukung pemerintahan yang solid juga tidak mungkin terjadi. Ini dapat dilihat dari pembentukan koalisi pengusung saat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Koalisi dibentuk hanya sekadar untuk memenuhi syarat mengajukan pasangan calon, belum sampai memikirkan pembentukan koalisi permanen pascapilkada. Dukungan partai politik terhadap pencalonan kepala daerah sebetulnya bukan hanya penting untuk meraih suara terbanyak dalam proses pemilu, melainkan penting pula untuk meraih dukungan parlemen dalam setiap pengambilan keputusan.

Berujung korupsi

Kepala daerah akan lebih memilih opsi ketiga, membangun sistem kepartaian yang terkartelisasi. Dengan pilihan ini, pemerintahan masih bisa berjalan serta kebijakan bisa terlahir karena terjadi kompromi politik. Tak jarang pula praktik ini berujung pada suap bahkan korupsi.

Partai kartel didefinisikan Krouwel dalam Katz & Crotty (2006) sebagai peleburan antarpartai politik di parlemen dengan aparatur negara dan kelompok kepentingan yang menjadi satu kesatuan dengan menggantungkan hidup kepada negara dan meninggalkan karakter kompetitifnya untuk menjamin dan mewujudkan kepentingan bersama yang berorientasi pada keberlangsungan kekuasaan.

Tak sedikit kepala daerah yang terjerat korupsi pada periode kepemimpinannya. Semenjak desentralisasi 2001 lalu hingga 2014, setidaknya ada 17 Gubernur yang pernah/sedang menjabat berstatus tersangka. Di level kabupaten/kota, ada 331 kepala/wakil kepala daerah berurusan dengan aparat hukum sebagai saksi, tersangka atau terpidana.

Sejak otonomi daerah bergulir, kepala daerah memperoleh sekaligus tritunggal sumber daya secara optimal: kewenangan (desentralisasi politik), diskresi kebijakan (desentralisasi administratif), maupun sumber keuangan (desentralisasi fiskal) (Jaweng, 2014). Sementara DPRD tak punya kuasa implementasi anggaran.

Tritunggal sumber daya ini dapat ditemukan pada UU 9/2015. Dalam, UU 9/2015 pasal 101 ayat 1 huruf b, DPRD hanya diamanatkan untuk membahas dan memberikan persetujuan APBD yang diajukan oleh kepala daerah.

Keadaan ini lah yang berpotensi berujung pada transaksi dan korupsi. Berbagai kepentingan partai di DPRD membuat DPRD mencoba mengintervensi kepala daerah dalam menyusun APBD. DPRD akan berusaha membelokkan anggaran yang harusnya digelontorkan pada kebijakan yang diusung kepala daerah ke kebijakan yang memuat kepentingan DPRD di dalamnya. []

MAHARDDHIKA
Wartawan pegiat pemilu rumahpemilu.org