Rencananya KPU akan menggelar Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (sebut saja dengan Pilkada) secara serentak di 240 Kabupaten dan tujuh provinsi pada sekitar September 2015. Rencana KPU tersebut tampaknya tidak mudah, penuh krikil dan tantangan. Pasalnya, payung hukum untuk menggelar Pilkada yakni:Â Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 tentang Pilkada dan Perppu No. 2 Tahun 2014 sebagai revisi UU No. 32 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah baru akan dibahas oleh DPR awal tahun 2015 dan tengah diajukan pengujian (Judicial Review) oleh sejumlah kalangan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sambil menunggu pembahasan Perppu oleh DPR dan MK. Langkah paling cerdas adalah terlibat secara intensif dalam proses pencermatan, pengkajian dan memberikan masukan terhadap Perppu No. 1 Tahun 2014. Sehingga manakala Perppu ini dibahas dan disahkan oleh DPR, menjadi lebih komprehensif dan berkualitas. Yang tak kalah pentingnya adalah Pilkada Langsung berpayung hukum Perppu No. 1 yang akan digelar nantinya mampu memperbaiki penyelenggaraan Pilkada Langsung sebelum ini dinilai banyak borok-boroknya. Atau apa yang oleh hasil keputusan Munas Alim Ulama Nahdhatul Ulama (NU) difrasakan sebagai lebih banyak dampak negatifnya (mudharatnya) dari pada manfaatnya.
Petahana, uji publik dan wakil kepala daerah
Cukup banyak ranjau-ranjau dalam Perppu No. 1 ini yang memerlukan pencermatan lebih intensif dan serius. Diantaranya: pertama, prihal konflik kepentingan dengan petahana (incumbent). Pada Pasal 7 ayat q Perppu No. 1 disebutkan, calon Kepala Daerah tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Dalam penjelasan dari Perppu ini disebutkan, yang dimaksud dengan ‘tidak memiliki kepentingan’ adalah antara lain, tidak memiliki ikatan perkawinan atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus keatas, ke bawah, ke samping dengan petahana kecuali telah melawati 1 (satu) kali masa jabatan.
Munculnya pasal ini terkait dengan menyeruaknya politik dinasti di sejumlah daerah di Indonesia yang menimbulkan ekses negatif. Menurut hasil penelitian Indonesia Governance Index (IGI) Kemitraan, menguatnya politik dinasti dan ketertupan dalam pengelolaan anggaran menjadi penyebab rendahnya nilai tata kelola atau IGI. Meski demikian, agar makna dan batasan yang dimaksud dengan ‘tidak memiliki kepentingan’ ini lebih jelas, memerlukan pengaturan yang lebih lanjut, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan KPU (PKPU).
Kedua, terkait uji publik. Perppu No. 1 memperkenalkan klausul baru tentang uji publik (Pasal 38) sebagai persyaratan yang harus dipenuhi calon Kepada Daerah. Spirit pasal ini sangat mulya, yakni: keinginan melahirkan gubernur, walikota dan bupati yang mempunyai integritas tinggi.
Hal ini sekaligus untuk mengatasi kerisauan akan rendahnya integritas Kepala Daerah yang ditandai oleh banyaknya Kepala Daerah yang tersangkut kasus hukum dan korupsi. Pembuktiannya data Kemendari yang menyebutkan, hingga 2014 sebanyak 318 atau sekitar 86,22 persen dari 524 orang Kepala Daerah tersangkut kasus korupsi, dan hingga Mei 2014 membengkak lagi menjadi 325 orang, baik berstatus tersangka atau sudah menjadi terpidana.
Sedangkan data dari Kemenkum-HAM, sekitar 70 persen Kepala Daerah terjerat kasus korupsi. Rincianya: gubernur sebanyak 21 orang, Wakil Gubernur sebanyak 7 orang, Bupati sebanyak 156 orang, Wakil Bupati sebanyak 46 orang, Walikota sebanyak 41 orang, dan Wakil Walikota sebanyak 20 orang. Tercatat juga 1.221 nama PNS yang terlibat kasus korupsi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 877 orang sudah terpidana.
Sementara 185 orang lainnya sudah berstatus tersangka, sedangkan 112 orang lainnya sudah terdakwa, dan 44 nama tersisa diminta keterangannya sebagai saksi. Sayangnya, kegiatan uji publik yang diatur dalam Perppu No. 1 tersebut cenderung formalitas/seremonial karena tidak bisa membatalkan calon yang tidak lolos uji publik.
Ketiga, terkait dengan pengangkatan Wakil Kepala Daerah. Menurut Perppu No. 1, Wakil Kepala Daerah tidak dipilih langsung dalam satu paket bersama Kepala Daerah dalam Pilkada Langsung. Melainkan sepenuhnya menjadi domain Kepala Daerah terpilih dan wajib diusulkan dalam waktu paling lambat 15 (lima belas) hari setelah pelantikan.
Adapun pengangkatannya berdasarkan usulan gubernur melalui Menteri dan Wakil Bupati/Wakil Walikota oleh Menteri berdasarkan usulan Bupati/Walikota melalui Gubernur sebagai Wakil Pemerintah (pasal 171). Dengan persyaratan ‘cukup berpengalaman dalam bidang pelayanan publik’ bagi non PNS. Sementara persyaratan bagi PNS, golongan kepangkatan paling rendah IV/c/sedang menduduki jabatan II/a dan untuk Wakil Gubernur dan IV/b/eseolon II/b untuk posisi Wakil Bupati dan Wakil Walikota.
Munculnya pengaturan ini, mungkin untuk beberapa tujuan, diantaranya: (a) memperkuat posisi politik Kepala Daerah, (b) memperoleh Wakil Kepala Daerah kompeten, kapabel, berpengalaman dan dapat bekerja sama, serta (c) menghindari konflik atau pecah kongsi antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di tengah jalan. Meski demikian, ada beberapa aspek yang perlu diatur lebih jauh agar tidak menimbulkan multi tafsir atau hal-hal yang tidak diinginkan.
Misalnya penjelasan lebih rinci, jelas dan teknis mengenai apa yang dimaksud dengan ‘cukup berpengalaman dalam bidang pelayanan publik’, mekanisme kewajiban Kepala Daerah terpilih untuk mengusulkan wakilnya dalam waktu paling lambat 15 (lima belas) hari agar Kepala Daerah tidak justeru sembarangan memilih wakilnya dengan alasan mepetnya waktu, pengaturan mengenai manakala terjadi konflik atau pecah kongsi antara Kepala Daerah dengan Wakilnya di tengah jalan, dan lain sebagainya.
Yang agak pasti, dalam hal pengangkatan Wakil Kepala Daerah, Perppu No. 1 mendisfungsi eksistensi dan peran KPU/Bawaslu Provinsi/Kota/Kabupaten. Maka, seperti dalam kasus mekanisme pengajuan dan penetapan PLT/Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama Jakarta menjadi Gubernur DKI paska Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) terpilih menjadi presiden, seluruhnya menjadi domain pemerintah pusat (Kemendagri) dan DPRD serta Pemprov DKI Jakarta.
Sedangkan KPU DKI dan Bawaslu DKI hanya menjadi penonton belaka. Padahal tatkala Jokowi dan Ahok masih berstatus Bakal Calon Gubernur (Bacagub) dan Cagub DKI, KPU/Bawaslu Provinsi berperan penting pada semua proses/tahapan Pemilukada DKI.
Boros dan e-voting
Dalam Perppu ini juga diatur sejumlah masalah laten, seperti tudingan Pilkada Langsung mahal atau boros. Untuk mengatasi hal ini, Perppu mengamanatkan Pilkada digelar serentak di tahun 2015, 2018 dan 2020 (Pasal 201). Mengenai borosnya Pilkada Langsung, Forum Informasi dan Transparansi Anggaran (Fitra) pada 2011 mengestimasi, anggaran untuk Pilkada Langsung di pada tingkat kabupaten/kota untuk satu kali putaran berkisar antara Rp 5 miliar-Rp 28 miliar, dan tingkat provinsi membutuhkan dana Rp 60 miliar hingga 78 miliar.
Senafas dengan dengan itu, selain dapat mencegah pemborosan, Pilkada serentak diharapkan mampu mencegah terjadinya mobilisasi massa pemilih. Pertanyaannya, benarkah Pilkada serentak akan lebih murah? Tentu masih harus dikalkukasi lagi secara lebih cermat dan tepat.
Pasalnya, sejumlah kegiatan Pilkada yang sebelum ini menjadi beban Partai Politik atau kandidat dengan Tim Kampanyenya justeru pada Perppu ini dialihkan tanggungjawab pembiayaannya kepada KPU dengan menggunakan dana dari APBN dan APBD, seperti: anggaran kampanye dalam bentuk umum, iklan kampanye, dan pemasangan atribut (Pasal 65).
Selain itu, ada kegiatan baru yang pastinya memerlukan anggaran baru pula, seperti: uji publik, kemungkinan penggunaan e-voting dan e-counting dalam pemberian suara dan penghitungan suara (Pasal 98, ayat 3), Pengawas di Tempat Pemungutan Suara (TPS-Pasal 23 ayat 5), dan lain-lain. Khusus mengenai penggunaan e-voting dan e-counting, selain kemungkinan bakal membuat Pilkada Langsung lebih efisien sekitar 50 persen menurut kalkulasi BPPT, juga diharapkan hasil pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara akan lebih cepat, akurat, terpecaya (credibilty) dan bisa menekan gugatan dan sengketa hasil penghitungan suara.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana manajemen sistem informasi supaya terintegrasi dari Tempat Pemungutan Suara hingga Provinsi? Bagaimana sistem pengamanannya agar tidak diganggu/dirusak oleh hacker? Bagaimana kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) pelaksana maupun pengawasnya? Bagaimana kesiapan infrastuktur daerah yang akan menerapkannya, khususnya jaringan listrik?
Semua itu merupakan satu paket yang patut mendapat perhatian. Dalam konteks ini dan dengan mencermati disparitas kesiapan daerah yang akan menggelar Pilkada, maka gagasan agar pelaksanaan Pilkada Langsung dengan e-voting dan e-counting dilakukan selektif atau hanya dilaksanakan oleh daerah yang sudah siap segalanya, patut dipertimbangkan dengan masak.
Khusus soal trust yang dianggap menjadi kendala dalam penerapan e-voting atau e-counting dalam Pemilu, sebenarnya untuk masyarakat umum bisa menerimanya sepanjang teknologi elektronik itu disosialisasi dengan efektif dan massif serta menawarkan efektivitas, akurasi tinggi dan kemudahan. Kendala atau benturannya lebih di tataran elit politik karena elit terbiasa dengan sikap apriori dan negative thinking dengan Penyelenggara Pemilu dan kompetitornya akan melakukan manipulasi dan kecurangan.
Selain itu, elit politik terbiasa mengajukan kalkulasi politik berdasarkan kepentingan untung-rugi pribadi dan kelompoknya dan bukan asas kepentingan dan kemanfaatan bersama. Jika demikian, sosialisasi, komunikasi dan koordinasi dengan stakeholder Pilkada prihal penggunaan e-voting dan e-counting dalam Pilkada Langsung mutlak harus secara intensif dilakukan.
Penegakan hukum sengketa pilkada
Ada yang patut dicermati dari Perppu No. 1 terkait dengan penanganan dan penegakan hukum dalam Pilkada Langsung. Misalnya, soal politik uang (money politics), yang dilakukan oleh aktor-aktor Pilkada Langsung.
Perppu No. 1 memang mengatur larangan bagi Partai Politik atau gabungan Partai Politik menerima imbalan (mahar) dalam bentuk apapun pada proses pencalonan gubernur, bupati dan walikota (Pasal 47); larangan pelibatan aparat birokrasi yang meyebabkan Pilkada tidak netral (Pasal 70); larangan bagi calon dan/atau tim kampanye dalam melakukan politik uang, seperti menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih (Pasal 73); larangan pemanfaatan program/kegiatan di daerah untuk kegiatan kampanye petahana (Pasal 71 ayat 3), dan larangan mencopot jabatan aparat birokrasi paska Pilkada karena dianggap tidak mendukung calon (Pasal 71).
Masih dalam semangat itu, dilakukan pula lebih rinci pengaturan akuntabilitas penggunaan dana kampanye (Pasal 74, Pasal 75, dan Pasal 76). Seolah hendak menjawab keprihatinan publik dimana cukup banyak Pilkada Langsung menimbulkan konflik, baik konflik elit politik lokal, birokrasi, dan terutama konflik horisontal, Perppu ini mengatur hal-hal yang dirisaukan tersebut. Diantaranya, pengaturan tanggung jawab calon atas kerusakan yang dilakukan oleh pendukung (Pasal 69 g, Pasal 195), larangan kampanye hitam yang dapat menimbulkan konflik horizontal (Pasal 68c). Sayangnya pada Perppu ini tidak diatur sanksi pidananya bagi para pihak yang melanggar.
Sanksi direkomendir pada Perppu ini sebatas pembatalan sebagai calon, setelah melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Oleh karenanya, berbagai regulasi yang tertuang dalam Perppu No. 1 ini harus ditidaklanjuti dengan pengaturan secara lebih detil, jelas dan tegas, serta mekanisme pengawasan dan penegakan hukumnya.
Hal lain yang patut disoroti adalah terkait dialihkannya penyelesaian sengketa hasil pemilihan dari MK kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk Mahkamah Agung (MA), sebagaimana dalam Bab XX Pasal 136-159 Perrpu No. 1 tahun 2014.
Hal ini sekaligus menganulir ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 24C ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK serta UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang antara lain menyebutkan, salah satu kewenangan konstitusional MK adalah memutus perselisihan tentang hasil Pemilu dan Pemilukada. Selanjutnya, dikuatkan dengan diterbitkannya Peraturan MK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilukada.
Ketentuan baru dalam Perppu No. 1 yang mengembalikan wewenang penanganan sengketa hasil pemilihan Pilkada Langsung dari MK ke MA, diragukan kredibilitas, efektivitas dan ketuntasannya. Terutama bila dikaitkan dengan reputasi dan track record MA dalam menangani berbagai perkara hukum baik secara kualitas maupun kuantitas (banyak tunggakan perkara), meskipun disadari wajah MK sempat babak belur ulah mantan Ketua MK Akil Mochtar yang terbukti memperjualbelikan sejumlah putusan MK dalam penanganan sejumlah sengketa Pilkada Langsung di beberapa daerah.
Di atas itu semua, regulasi yang termaktub dalam Bab XX Pasal 136-159 Perrpu No. 1 tahun 2014 ini seolah-olah telah mengembalikan pemilihan dari regim Pemilu kepada regim Pemerintah Daerah. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan konstitusi (UUD 1945 Pasal 22 E) dan putusan MK No. 072-073/PUU-II/2004 dan No. 97/PUU-XIII/2013 yang secara substansial memposisikan Pilkada Langsung sebagai regim Pemilu. Dengan demikian, Perppu No. 1 Tahun 2014 oleh pencetusnya didisain dengan politik setengah hati dan penuh dengan ambiguitas antara hendak melaksanakan Pilkada Langsung dengan Pilkada Tidak Langsung.
Dengan mempertimbangkan krusialitas, problematika dan ranjau-ranjau Perppu No. 1 tahun 2014, maka pembahasan Perppu No. 1 oleh DPR ini harus secara proaktif dicermati dan dikawal secara ketat oleh Penyelenggara Pemilu dengan cara memberikan masukan yang cerdas agar ketika Perppu ini disahkan oleh DPR menjadi lebih komprehensif dan berkualitas serta mampu menjawab berbagai kritik pedas terhadap ekses negatif dari penyelenggaraan Pilkada Langsung selama ini.
Pada saat yang sama, KPU dituntut bersikap profesional, akuntabel, transparan dan membuka akses publik seluas-luasnya terkait dengan perencanaan dan penyusunan PKPU Tahapan Pilkada Langsung dari draf awal hingga akhir harus melibatkan berbagai kalangan, khususnya terhadap Bawaslu. Sebab, institusi inilah yang akan mengawal dan mengawasi seluruh proses dan tahapan Pilkada, termasuk memastikan bahwa peraturan-perundangan termasuk yang diterbitkan oleh KPU dilaksanakan secara konsisten, sungguh-sungguh dan nyata. []
ACHMAD FACHRUDIN
Anggota Bawaslu DKI Jakarta