Disebutnya sejumlah nama anggota partai politik yang diduga terlibat skandal korupsi KTP elektronik menjadi momentum untuk menyegerakan penataan ulang sistem keuangan partai politik.
Selain faktor perilaku, mahalnya biaya politik dan keterbatasan pendanaan partai disinyalir menjadi latar belakang banyaknya anggota partai politik terlibat praktik pencarian dana gelap.
Sebagai institusi demokrasi, partai politik memang membutuhkan uang untuk menjalankan berbagai fungsinya, seperti kaderisasi, pendidikan politik, agregasi dan artikulasi kepentingan, serta kampanye.
Paling tidak terdapat dua jenis belanja partai. Pertama, belanja pengorganisasian partai di mana uang dipergunakan untuk memenuhi aktivitas organisasi di luar kampanye, seperti kesekretariatan, sewa kantor, rapat rutin, kunjungan ke daerah, dan kongres. Kedua, belanja kampanye, yakni uang yang dipergunakan untuk pemenangan partai di pemilu, mulai dari biaya pemasaran politik, iklan di media massa, cetak baliho, poster, hingga stiker.
Tiga sumber penerimaan
Untuk memenuhi dua jenis belanja ini, UU No 2/2011 tentang partai mengatur tiga sumber utama penerimaan partai. Pertama, iuran anggota. Sumber penerimaan ini sepenuhnya menjadi otonomi internal partai politik untuk mengatur besaran, termasuk waktu pemungutannya. Namun, iuran anggota biasanya hanya berlaku bagi anggota partai politik yang menduduki kursi legislatif ataupun eksekutif melalui mekanisme potong gaji. Sedangkan kader partai biasa relatif tidak berjalan.
Kedua, sumbangan yang sah menurut hukum, baik perseorangan maupun badan usaha memang dapat dijadikan sumber penerimaan potensial bagi partai politik untuk memenuhi segala kebutuhannya. Akan tetapi, mekanisme ini memiliki efek samping yang mengganggu otonomi internal partai jika dijadikan sumber utama penerimaan. Hal ini karena partai politik akan dibuat bergantung pada perseorangan atau badan usaha si penyumbang hingga pada akhirnya seorang penyumbang diberikan ruang untuk mengintervensi kebijakan-kebijakan partai.
Ketiga, bantuan keuangan negara. Bersumber pada APBN dan APBD, bantuan keuangan negara terhadap partai politik diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota partai. Namun, PP No 5/2009 tentang bantuan keuangan partai politik menjelaskan, selain untuk pendidikan politik, dapat digunakan pula untuk memenuhi kebutuhan operasional partai.
Bantuan ini hanya diberikan bagi partai politik yang memperoleh kursi DPR dan DPRD yang besarannya dihitung berdasarkan perolehan suara partai. Untuk partai politik yang meraih kursi DPR, misalnya, berhak memperoleh Rp 108 per suara. Jika merujuk pada kajian yang dilakukan oleh Perludem (2011), diperkirakan bantuan keuangan negara hanya mampu memenuhi 1,32 persen kebutuhan partai per tahun. Tidak heran kemudian terdapat berbagai cara yang dilakukan oleh anggota partai untuk mencari dana di luar tiga sumber penerimaan yang sudah diatur.
Meningkatkan bantuan negara
Melihat realitas ini, reformasi keuangan partai menjadi suatu keniscayaan untuk dilakukan. Salah satu caranya dengan meningkatkan bantuan keuangan negara kepada partai politik. Terdapat tiga keuntungan yang dapat diperoleh dari ditingkatkannya bantuan negara. Pertama, mampu meminimalkan praktik pencarian dana-dana ilegal yang dilakukan oleh anggota partai politik sehingga anggota partai politik yang duduk di kursi legislatif dan eksekutif dapat fokus untuk meningkatkan kualitas kerjaannya sebagai wakil rakyat.
Kedua, peningkatan bantuan negara mampu menjaga kemandirian partai politik sekaligus mengembalikan kedaulatan partai ke tangan anggota partai. Akibat dari keterbatasan anggaran, parpol terpaksa membuka ruang bagi kalangan pemodal untuk berpartisipasi aktif menyumbang. Hingga pada akhirnya partai politik dikuasai oleh segelintir elite semata. Dengan ditambahnya besaran bantuan keuangan negara terhadap parpol, sedikit banyak menjadi filter masuknya oligark ke tubuh partai politik sekaligus mengikis ketergantungan partai terhadap pemodal.
Ketiga, peningkatan bantuan keuangan negara terhadap partai dapat mengembalikan partai politik dari organisasi privat menjadi organisasi publik. Selama ini partai politik seakan-akan menjadi organisasi privat yang bertugas memenuhi kehendaknya sendiri. Padahal, partai politik memiliki fungsi publik untuk melayani masyarakat, seperti agregasi dan artikulasi kepentingan publik dalam bingkai kebijakan publik pro rakyat. Dengan ditambahnya bantuan negara terhadap partai paling tidak dapat meningkatkan tanggung jawab partai politik terhadap publik karena uang yang diperolehnya berasal dari publik.
Meski demikian, bukan berarti seluruh kebutuhan partai dibiayai negara, melainkan disesuaikan secara proporsional dengan kebutuhan partai politik. Hasil kajian KPK, misalnya, mengusulkan peningkatan bantuan keuangan negara terhadap partai politik secara proporsional dan bertahap selama 10 tahun dengan besaran bantuan 50 persen dari kebutuhan partai.
Namun, besaran ini dikhawatirkan dapat membuat partai semakin bergantung kepada negara dan mengikis sumber penerimaan yang berasal dari iuran anggota yang sebetulnya patut untuk ditingkatkan kembali. Untuk itu paling tidak negara dapat meningkatkan bantuan keuangan terhadap partai 30 persen dari kebutuhan partai.
Peningkatan ini dilakukan secara bertahap dan wajib berjalan beriringan dengan transparansi dan akuntabilitas pelaporan keuangan. Hal ini karena uang yang diterima oleh partai politik berasal dari negara yang diperoleh dari publik juga. Maka, logikanya publik berhak mengetahui dipergunakan untuk apa saja uang tersebut. Dengan demikian, setiap laporan keuangan partai wajib untuk diaudit dan jika didapati ketidaksesuaian berhak dikenakan sanksi, seperti pengurangan besaran bantuan keuangan negara di tahun berikutnya. []
HEROIK MUTAQIN PRATAMA, PENELITI PERKUMPULAN UNTUK PEMILU DAN DEMOKRASI