Setelah membaca riset Perludem dengan topik “Gangguan terhadap Hak Memilih Fenomena dan Upaya Penanggulangan” didapati bahwa kelompok disabilitas masih mengalami diskriminasi. Kelompok ini merupakan salah satu kelompok rentan di antara kelompok rentan lainnya. Perludem menjelaskan, pengusikan mengenai hak memilih penyandang disabilitas berkaitan penting terhadap hak memilih penyandang disabilitas.
Mengenai pengusikan hak memilih penyandang disabilitas, lebih spesifik penyandang disabilitas mental atau orang dalam gangguan iiwa (ODGJ). Perludem menemukan bahwa pengusikan hak memilih ODGJ yang distigmatisasi sebagai orang gila ditemukan pada Pemilu 2019. Melalui sosial media Twitter dan Facebook ada unggahan yang berisi wacana dan narasi yang mempertanyakan eligibilitas ODGJ untuk memilih dan juga pelintiran kebencian terhadap ODGJ. Hal tersebut berimplikasi kepada penyandang disabilitas mental yang kurang mengetahui pemahaman cukup baik berkaitan dengan pemilu, bahkan juga terhadap penyelenggara pemilu yang mengalami keraguan pada efek selanjutnya.
Padahal pemilu Indonesia sudah jelas menempatkan hak politik. Melalui Putusan MK 135/2015 sebagai respon mengenai uji materi mengenai frasa “tidak terganggu jiwanya atau hilang ingatannya”. MK telah memberikan putusan bahwa bahwa frase “tidak terganggu jiwa/ingatannya” dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum”.
Itu artinya Putusan MK 135/2015 menghendaki bahwa prasyarat dalam frase “tidak terganggu jiwa/ingatannya” dimaknai sebagai hal yang ditentukan oleh professional kesehatan yang menentukan seseorang terganggu jiwa/ingatannya secara permanen dan bukan parsial. Jadi prasyarat tidak terganggu jiwa/ingatannya perlu dibuktikan dengan surat keterangan profesional kesehatan yang mensyaratkan pemilih apakah bisa memilih atau tidak pada saat hari H pemungutan suara. Dasar hukum ini menegaskan, pengusikan mengenai hak memilih disabilitas mental atau ODGJ yang distigmatisasi sebagai orang gila pada Pemilu 2019 yang juga mempertanyakan eligibilitas ODGJ untuk memilih dan juga pelintiran kebencian terhadap ODGJ, tidak boleh terjadi dalam pemilu yang menetapkan makna universal suffrage di dalamnya.
Lantas apa yang diperlukan?
Sebagai langkah melawan pengusikan mengenai hak memilih disabilitas, diperlukan konsolidasi kuat antara penyandang disabilitas baik secara horizontal dalam artian antar penyandang disabilitas dalam organisasi penyandang disabilitas (OPD) dan juga konsolidasi vertikal dengan pihak terkait.
Berger dan Luckman (1990) menjelaskan bahwa struktur sosial historis tertentu melahirkan tipe-tipe identitas yang bisa dikenali dalam kasus individual. Identitas ini untuk seterusnya juga berjalin kelindan dengan pemaknaan mengenai kelompok yang dituju. Ini dapat dipahami bahwa penyandang disabilitas masih terjebak pada pola ekslusivitas yang membedakan mereka dengan nondisabilitas. Dengan jumlah dan kuantitas yang tidak sebanyak nondisabilitas pada pemilu, maka pengusikan terhadap disabilitas dapat dipahami sebagai hasil dari struktur sosial yang menempatkan disabilitas pada posisi undervalued. Dalam kasus individual yang dirujuk oleh Berger dan Luckman ini juga dapat dipahami masih banyak prasangka yang menyerang disabilitas sebagai individu yang tidak eligible dalam memilih karena keterbatasan yang dimilikinya.
Itulah mengapa peran OPD dalam membangkitkan kesadaran kolektif dan tindakan kolektif antar penyandang disabilitas menjadi penting. Konsolidasi kuat antara penyandang disabilitas secara horizontal, antar penyandang disabilitas dalam OPD menjadi satu hal yang penting. Melalui OPD dan pemberdayaan kelompok diharapkan dapat mereproduksi nilai-nilai bersama dan memperluas radius keluar dari kelompok. Ini menjadi penting juga untuk membangkitkan kesadaran di luar kelompok mereka mengenai inklusivitas dan universal suffrage.
Wacana dekonstruksi dan narasi yang berusaha meminggirkan kelompok rentan, dalam hal ini kelompok disabilitas, perlu dihadang dengan melawan dan mengarusutamakan narasi inklusif dan membangun kesadaran kolektif dan perilaku kolektif. Jika regulasi penghormatan kelompok disabilitas sudah tersedia namun masalah pengusikan penyandang disabilitas masih ditemukan, penyandang disabilitas baik secara individual maupun kelompok perlu untuk berkonsolidasi dalam membangun common interest. Penting begi OPD membangun jaringan dan mengusahakan perluasan ide gagasan dan wacana konstruktif sebagai counter narasi yang masih bersisa yang kemudian mencoba meminggirkan penyandang disabilitas dari hak konstitusional mereka.
Pada akhirnya juga dapat dipahami, jika identitas yang lahir dari struktur sosial juga beraksi terhadap struktur sosial tersebut. Dalam proses dialektis yakni mewacanakan narasi yang konstruktif mengarusutamakan narasi inklusif dan membangun kesadaran kolektif dan perilaku kolektif diperlukan dan menjadi penting dalam menanggapi fenomena yang ada. []
SAMUEL AGUS
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro