Undang-undang Pilkada yang jadi dasar penyelenggaraan Pilkada 2015 lahir dari keadaan yang tak kondusif. Kekosongan hukum, permasalahan dalam proses, dan hasil keterpilihan yang menutup proses keadilan makin menyadarkan banyak pihak UU Pilkada harus direvisi. Tapi, merujuk rancangan Revisi UU Pilkada versi pemerintah membuat kesimpulan, pengalaman Pilkada 2015 dan tersedianya waktu evaluasi UU Pilkada untuk jadi dasar penyelenggara Pilkada 2017 dan 2018 seperti tak cukup membentuk pemahaman dan semangat keserentakan. Revisi UU Pilkada cenderung mengulang keburukan dasar hukum Pilkada 2015, bahkan semakin buruk.
Tak efektif atasi politik uang
Pasal 187A menempatkan peserta dan pemilih di pilkada sebagai subjek pelaku politik uang yang sama bersalahnya. Peserta dan pemilih dihukum denda yang terlalu tinggi. Ayat (1) dan (2) bertuliskan, pemberi dan penerima uang dihukum penjara paling sedikit 24 bulan dan denda paling sedikit Rp 500 juta, paling banyak Rp 1 miliar.
Wakil direktur Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Arsil berpendapat, Politik uang selama ini tak pernah efektif ditangani karena hukumannya terlalu berat. Memberikan/menerima Rp 50 ribu jangan-jangan terus terjadi dan menjadi kewajaran karena kebingungan menegakan hukuman yang terlampau berat.
Tak berkomitmen menjaga keserentakan
Pasal 201A bertuliskan, dalam hal terdapat sengketa tata usaha negara pilkada yang belum berkekuatan hukum tetap, waktu pemilihan pemungutan suara serentak tetap dilaksanakan dan hanya ditunda untuk pilkada yang bersengketa.
Berdasarkan pengamatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) di Pilkada 2015, sengketa pencalonan yang berdampak pada diundurnya pemungutan suara sehingga tak serentak disebabkan regulasi yang tak bersemangat keserentakan. Banyaknya penyelenggara pemilu menyertakan tumpang tindih kewenangan menyelesaikan sengketa menjadi sebab berlarut-larutnya penundaan pelaksanaan tahapan pilkada.
Selain itu, diterimanya pencalonan kepala daerah dari partai pengusung yang berpengurusan ganda menjadi penyebab penundaan pilkada. Undang-undang Pilkada atau PKPU harusnya tegas melarang partai berpengurusan ganda mengusung calon di pilkada.
Komitmen keserentakan pun tak terlihat dalam pengaturan calon tunggal. Pasal 201 ayat (7a) bertuliskan, dalam hal hasil pilkada hanya diikuti satu pasangan calon dan mayoritas pemilih “tidak setuju†terhadap pasangan calon tersebut, pemilihannya akan dilaksanakan pada pemilihan serentak berikutnya.
Mempertahankan keburukan sengketa hasil
Di aspek keterpilihan atau hasil pilkada, Pasal 158 yang menjadikan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai Mahkamah Kalkulator malah tak disinggung. Dalam penanganan sengketa hasil pilkada, syarat maksimal selisih suara hasil pilkada dijadikan dasar MK membatasi keadilan pemilu.  Pakar tata negara, Saldi Isra mengatakan, adanya pembatasan selisih suara dalam permohonan perkara ‎Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP) bukan berarti Mahkamah Konstitusi (MK) melupakan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang umumnya didalilkan oleh para pemohon.
“Saya termasuk orang yang menyatakan pembatasan itu perlu. Tapi kalau ada orang yang ingin membuktikan adanya TSM itu bisa diproses (oleh MK),” ucap Saldi.
Selain itu, Pasal 157 pun diskriminatif bagi pemohon keadilan di daerah tengah dan timur Indonesia. Hari yang disediakan UU Pilkada Banyak daerah yang sulit dijangkau dengan transportasi darat dan harus menggunakan layanan penerbangan yang jumlahnya tidak memadai dibandingkan kebutuhan masyarakat.
Ayat (5) bertuliskan, Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Waktu itu tak mentolerir keadaaan jarak, cuaca, jadwal penerbangan, dan hari kerja/aktif layanan publik.
Pilkada Serentak 2015 merupakan pilkada pertama yang penyelenggaraannya bersamaan di banyak daerah tapi persiapannya tak berpemahaman keserentakan. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dibentuk dari konteks keterdesakan waktu sekaligus tarik-menarik kepentingan politik kuasa. Buruknya konteks pembentukan undang-undang dan implementasi pilkada di 2015 harusnya menjadi pelajaran melahirkan undang-undang yang lebih baik, bukan memperburuk. []
USEP HASAN SADIKIN