Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah cenderung menjadi pemutusan alur merumuskan Pemilu Serentak 2019. Disain pemilu serentak nasional dan daerah seharusnya dicicil dalam undang-undang dan penyelenggaraan Pilkada 2017 dan 2018. Setelah Pemilu 2019, pilkada harus masuk disain pemilu serentak daerah, menyerentakan pemilu gubernur dan bupati/wali kota dengan pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
“Revisi undang-undang pilkada berlarut-larut terhadap hal-hal yang sudah jelas secara hukum. Syarat mundur anggota dewan jika mencalon di pilkada dan syarat dukungan calon perseorangan, keduanya sudah ada dalam Putusan Mahkamah Konstitusi yang harus disesuaikan ke dalam undang-undang pilkada,†kata direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini di Jakarta Pusat (27/5).
Masih ada aspek lain yang sebetulnya lebih prinsipil untuk diperbaiki dalam revisi undang-undang pilkada. Misal, soal jadwal daerah berpilkada gelombang 2 pada 2017 dan gelombang 3 pada 2018. Apakah memungkinkan menggabungkan gelombang ini untuk pemenuhan makna keserentakan dan efisiensi dengan memperbanyak pilkada provinsi yang disatukan penyelenggaraannya dengan pilkada kabupaten/kota di satu provinsi? Apakah revisi ini mempertimbangkan begitu sempitnya waktu penyelenggaraan Pilkada 2018 dengan Pemilu 2019 sehingga 12 provinsi akan mengalami beban ganda penyelenggaraan pemilu.
Pilkada transisi
Pemilu serentak adalah penggabungan pemilu eksekutif dan pemilu legislatif dalam satu tahapan penyelenggaraan, khususnya tahap pemungutan suara. Tujuannya bukan semata efisiensi anggaran, melainkan juga untuk menciptakan pemerintahan kongruen atau menghindari pemerintahan terbelah (divided government), yang berwujud jumlah kursi mayoritas parlemen bukan dimiliki partai atau koalisi partai yang mengusung presiden terpilih. Dari pengertian serentak ini, pilkada serentak bukanlah pemilu serentak.
Pilkada masuk dalam desain pemilu serentak daerah yang coba diupayakan pakar pemilu melalui penyatuan/kodifikasi UU kepemiluan. Pemilu serentak lokal adalah pemilu yang diselenggarakan Komisi Pemilihan umum (KPU) untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota), anggota DPRD provinsi, serta anggota DPRD kabupaten/kota. Karena periode kepala daerah dan DPRD saat ini belum sama, maka diperlukan penyelenggaraan pilkada serentak transisi.
“Berdasarkan hitung-hitung masa jabatan kepala daerah dan anggota dewan DPRD yang disesuaikan dengan siklus pemilu, pilkada transisi itu bisa tergambar hasilnya pada Tahun 2021. Pada 2021 Indonesia bisa menyelenggarakan pemilu serentak daerah (memilih gubernur dan bupati/walikota bersamaan dengan memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota),†kata deputi direktur Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati di Jakarta Selatan (30/5).
Terputus
Tapi sayangnya revisi undang-undang pilkada menjadi alur terputus dari konsep dan cicilan mewujudkan pemilu serentak. DPR memposisikan revisi undang-undang pilkada lebih sebagai pemenuhan hasrat berkuasa antarelite berpolitik.
DPR ingin mengubah syarat kepemilikan kursi DPRD dalam penjalonan kepala daerah jalur partai dengan perbandingan syarat calon kepala daerah jalur perseorangan. Padahal merujuk pengertian “pemilu serentak”, syarat persentase kursi parlemen untuk pencalonan di pemilu eksekutif menjadi tak relevan.
Dengan begitu, tak ada relevansinya kepemilikan kursi partai di DPRD untuk pencalonan jalur partai dalam pemilu serentak daerah. Dalam pemilu serentak, idealnya semua partai bisa mencalonkan calon eksekutif. Di pemilu serentak nasional seluruh partai bisa mencalonkan presiden. Di pemilu serentak daerah pun semua partai bisa mencalonkan kepala daerah sehingga syarat dukungan calon kepala daerah jalur perseorangan bukan sentimen menggagalkan melainkan merujuk pada nilai satu kursi DPRD di suatu daerah bersangkutan.
Selain itu, revisi undang-undang pilkada sebagai alur terputus perwujudan pemilu serentak karena dikesampingkannya prinsip pengangaran pilkada berdasarkan APBN. Untuk memapankan disain pemilu serentak, pilkada yang hanya berkepentingan memilih eksekutif pada rezim pemerintahan daerah harus diperluas pada disain pemilu serentak yang menyertakan rezim pemerintahan nasional. Pilkada (langsung) diselenggarakan Komisi Pmeilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri berdasar konstitusi yang dibiayai APBN.
Salah satu kebutuhan anggaran pemilu di daerah dari APBN pun untuk kebutuhan percepatan transisi keserentakan. Periode jabatan pemerintahan daerah yang tak sama membutuhkan fase transisi untuk bisa diserentakan semua pasca-Pemilu 2019. UU No. 32/2004 menyebutkan pilkada diselenggarakan enam bulan sebelum periode menjabat pemerintahan habis dan pilkada tak bisa diselenggarakan di tahun yang sama dengan penyelenggaraan pemilu nasional.
APBN punya peran strategis untuk menyamakan periode menjabat pemerintahan daerah. Sangat sulit meminta kepala daerah menggunakan APBD untuk mengurangi masa jabatannya dengan menyelenggarakan pilkada lebih cepat.
Urgensi pemilu daerah serentak
Revisi undang-undang pilkada yang perlu terhubung dengan konsep dan alur perwujudan pemilu serentak punya urgensi berkait menyertakan pemilu serentak daerah di dalamnya. Pemilu serentak daerah dibutuhkan untuk menghasilkan fase koreksi bagi pemerintahan presidensial. Kelebihan sistem pemerintahan presidensial adalah periode jabatan presiden yang pasti. Tapi periode yang pasti ini juga menjadi kelemahan presidensial. Kalau kinerja presiden buruk harus tunggu sampai jabatannya habis. Tak bisa diturunkan, kecuali melanggar hukum.
“Pemilu serentak lokal menjadi koreksi pemerintahan nasional di tengah masa jabatan presiden,†kata profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris (18/5) di Jakarta Pusat.
Jika tak memuaskan, presiden dan partai pengusungnya bisa dihukum di pemilu serentak lokal, dengan memilih calon dan partai lain di semua tingkat daerah. Tapi jika kinerja presiden memuaskan, pemilu serentak daerah akan memperkuat relasi pusat dan daerah.
Jika revisi undang-undang pilkada benar terputus dengan pemilu serentak, merupakan tanda akan hilangnya setengah nyawa pemilu serentak. Makin berkemungkinan kuat pilkada dimaknai sebagai ketentuan hukum yang masuk rezim pemerintahan daerah, bukan rezim pemilu. Pilkada masih berkemungkinan dipilih melalui DPRD dan pilkada pun berkemungkinan tak diserentakan dengan pemilu DPRD. Dalam tujuan pemilu serentak untuk menciptakan kemapanan presidensialisme, posisi pilkada menjadi banal. []
USEP HASAN SADIKIN