Ada ungkapan terkenal sastrawan Inggris William Shakespeare, “What’s in name? That which we call a rose by any other name smell as sweet,” tulisnya dalam roman Romeo dan Juliet. Apalah arti sebuah nama? Kalau saja kita memberi nama lain untuk bunga mawar, dia akan tetap harum.
Mungkin ungkapan itu yang ada di benak para pembuat undang-undang ketika mempertahankan nama Panitia Pemungutan Suara disingkat PPS, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara disingkat KPPS.
Jika sesuai dengan nama, mestinya tugas pokok PPS adalah melaksanakan pemungutan suara. Tetapi faktanya yang melaksanakan pemungutan suara adalah KPPS. Nah, nama KPPS juga membingungkan. Tugasnya adalah melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara di TPS, tetapi mendapat predikat “penyelenggara”.
Bukankah makna “penyelenggara” meliputi kegiatan mengatur, merencanakan, menyiapkan, melaksanakan, mengendalikan, mengawasi, dan mengevaluasi? (Lihat: Penyelenggaraan vs Pelaksanaan, Lebih Luas Mana?). Sedangkan KPPS hanya melaksanakan pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS. Tidak lebih.
Bagaimana pembuat undang-undang tidak menyadari kesalahan tersebut? Bukankah sebelum undang-undang disahkan, naskahnya sempat diperiksa ahli bahasa. Apa ahli bahasa tidak menganggap hal itu salah? Atau, ahli bahasa tahu itu salah tetapi sudah terlanjur diterima pembentuk undang-undang sehingga salah kaprah tersebut dibiarkan?
Sulit untuk mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi. Namun jika kita tengok ke belakang, nama PPS dan KPPS memang memiliki sejarah panjang, sepanjang sejarah pemilu di Republik ini.
Mari kita buka UU No 7/1953 yang mengatur Pemilu 1955, pemilu pertama kita. Pasal 17 undang-undang itu menyatakan: … diadakan sebuah badan penyelenggara pemilihan… 4. dalam tiap-tiap daerah-pemungutan suara di tempat kedudukan Camat, dengan nama Panitia Pemungutan Suara; 5. dalam tiap-tiap desa di tempat kedudukan Kepala Desa, dengan nama Panitia Pendaftaran Pemilih. Lalu Pasal 18 UU No 7/1953 mengatur, Panitia Pemungutan Suara (PPS) mengesahkan daftar pemilih yang disusun oleh Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih).
Jadi, pada Pemilu 1955 di setiap desa dibentuk Pantarlih yang tugasnya menyusun daftar pemilih dan membantu mempersiapkan pemilihan. Lalu di setiap kecamatan dibentuk PPS yang tugasnya menyelenggarakan (baca: melaksanakan) pemungutan suara. Intinya, Pantarlih dibentuk di desa, dan PPS dibentuk di kecamatan. UU No 7/1953 tidak menyebut adanya KPPS.
Lama tidak ada pemilu, setelah Soekarno tumbang, rezim militer Orde Baru menyelenggarakan Pemilu 1971. Dasar hukumnya adalah UU No 15/1969. Sempat diubah tiga kali, undang-undang ini jadi dasar hukum tujuh pemilu Orde Baru. Bagaimana undang-undang ini mengatur PPS dan KPPS?
Menurut Pasal 8 ayat (4) UU No 15/1969, Pada Lembaga Pemilihan Umum diadakan: … d. Panitia Pemungutan Suara, yang berkedudukan di Ibukota Kecamatan, dengan tugas; (i) membantu tugas-tugas Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II; (ii) menyelenggarakan pemungutan suara. e. Panitia Pendaftaran Pemilih ditiap-tiap Desa/atau daerah yang setingkat dengan Desa ditempat kedudukan Lurah atau Kepala Desa/daerah yang setingkat dengan Desa dengan tugas: (i) membantu tugas-tugas Panitia Pemungutan Suara; (ii) menyelenggarakan pendaftaran pemilih.
Rupanya UU No 15/1969 tidak mengubah ketentuan Pantarlih dan PPS. Pantarlih dibentuk di desa/kelurahan/yang setingkat dengan tugas membantu PPS dan menyelenggarakan (baca: melaksanakan) pendaftaran pemilih. UU No 15/1969 juga tidak menyebut adanya KPPS.
Nama KPPS muncul pertama kali dalam PP No 1/1970, yaitu peraturan yang menjabarkan UU No 15/1969 dan mejadi pedoman penyelenggaraan Pemilu 1971. Pasal 60 PP No 1/1970 menulis: (2) Pemugutan suara di tempat pemberian suara diselenggarakan dalam rapat Panitia Pemungutan Suara, yang selama pemberian suara dilakukan dihadiri oleh sekurang-kurangnya tiga orang anggota, yang merupakan kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, disingkat KPPS.
Pasal 61 ayat (3) PP No 1/1970 mengatur lokasi tugas KPPS: Nama tempat pemberian suara ialah nama Desa di mana pemungutan suara dilakukan. Apabila pada satu Desa diadakan lebih dari satu tempat pemberian suara, maka tempat pemberian suara itu disebut dengan nama Desa itu dengan diberi tambahan angka Romawi I, II dan seterusnya dan diterangkan wilayah masing-masing.
Berdasarkan UU No 15/1969 dan PP No 1/1970, dapat disimpulkan: pertama, PPS adalah panitia pemilu tingkat kecamatan; kedua, PPS membentuk Pantarlih di setiap desa untuk melakukan pendaftaran pemilih; ketiga, PPS membentuk KPPS untuk melaksanakan pemungutan suara di TPS yang berada di desa; satu desa bisa dibangun lebih dari satu TPS sesuai jumlah penduduk.
Menjelang Pemilu 1987 keluar PP 41/1980 yang mengatur lebih jelas tentang PPS dan KPPS. Pasal 85 PP tersebut menulis: (1) Pemungutan suara sebagai dimaksud dalam Pasal 84 dilaksanakan di tempat pemungutan suara, selanjutnya disingkat TPS. (2) Camat/Ketua PPS menetapkan jumlah dan letak TPS dalam wilayah kerjanya. (3) Untuk melaksanakan pemungutan suara, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II/Ketua PPD II membentuk KPPS untuk tiap TPS sebagai dimaksud dalam ayat (2).
Dengan demikian kalau kita baca kembali undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur Pemilu 1955 dan pemilu-pemilu Orde Baru, maka kita menemukan jejak PPS dan PPK.
Pertama, pada Pemilu 1955, PPS dibentuk di setiap kecamatan dan Pantarlih dibentuk di setiap desa untuk membantu PPS dalam menyusun daftar pemilih; tugas PPS adalah melaksanakan pemungutan suara di TPS, mengingat saat itu penduduk masih sedikit sehingga TPS di kecamatan sudah memadai.
Kedua, pada pemilu-pemilu Orde Baru, PPS dibentuk di setiap kecamatan dan Pantarlih tetap dibentuk di setiap desa untuk membantu PPS menyusun daftar pemilih; di setiap desa dibentuk KPPS untuk melaksanakan pemungutan suara di TPS. Setiap desa bisa dibentuk satu atau lebih TPS dan KPPS, sesuai jumlah penduduk.
Perubahan signifikan terjadi pada Pemilu 1999, pemilu transisi dari rezim otoriter ke rezim demokrasi. UU No 3/1999 sebagai dasar hukum Pemilu 1999 membentuk panitia pemilu di kecamatan yaitu Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), sedangkan PPS diturunkan posisinya di desa/kelurahan. PPS membentuk KPPS untuk melaksanakan pemungutan suara di TPS. Ketentuan tentang ini diatur oleh Pasal 17-23 UU No 3/1999.
Undang-undang itu menggunakan nama Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) untuk nasional, Panitia Pemilihan Daerah I (PPD I) untuk provinsi, Panitia Pemilihan Daerah II (PPD II) untuk kabupaten/kotamadya, dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) untuk kecamatan, tetapi tidak Panitia Pemilihan Desa/Kelurahan (PPD/L) untuk desa/kelurahan, melainkan menggunakan nama Panitia Pemungutan Suara (PPS).
Padahal panitia tingkat desa/kelurahan tersebut tidak melaksanakan pemungutan suara di TPS. Pemungutan suara dilaksanakan oleh KPPS. Berikut bunyi Pasal 22 UU No 3/1999: Tugas dan Kewenangan PPS adalah: a. melakukan pendaftaran pemilih dengan membentuk petugas pendaftaran pemilih; b. membentuk Kelompok Pelaksana Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut KPPS sesuai dengan jumlah TPS; c. membantu tugas-tugas PPK.
Perhatikan ketentuan poin b di atas, membentuk Kelompok Pelaksana Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut KPPS sesuai dengan jumlah TPS. Jadi, UU No 3/1999 telah mengubah singkatan KPPS dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara sebagaimana diatur dalam PP No 1/1970 menjadi Kelompok Pelaksana Pemungutan Suara. UU No 3/1999 telah meluruskan nama KPPS sesuai posisi dan fungsi: sebagai pelaksana dan melaksanakan, bukan penyelenggara dan menyelenggarakan.
Pasca-Perubahan UUD 1945 mestinya menjadi momentum untuk mengubah dan menyusun undang-undang pemilu dengan konsep dan nomenkelatur yang benar. Tujuannya agar undang-undang pemilu tidak membingungkan dan mudah dipahami. Apalagi undang-undang pemilu itu jadi rujukan banyak orang untuk melihat visi politik kebangsaan sekaligus pijakan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan membangun demokrasi.
Jauh panggang dari api. Kenyataannya undang-undang pemilu yang dibentuk setelah Perubahan UUD 1945 justru mempertahankan dan bahkan menambah kesalahan. Nama PPS, singkatan dari Panitia Pemungutan Suara, tetap dipertahankan. Padahal nyata-nyata, PPS tidak melaksanakan pemungutan suara. Inilah yang tercantum dalam UU No 12/2003, undang-undang pemilu pertama pasca-Perubahan UUD 1945.
Celakanya, undang-undang tersebut juga mengembalikan kepanjangan KPPS menjadi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara seperti dirumuskan oleh PP No 1/1970. Padahal sebelumnya, UU No 3/1999 telah merumuskan bahwa KPPS adalah Kelompok Pelaksana Pemungutan Suara. Dan semua kesalahan konsep atau nomenkelatur PPS dan KPPS itu berlanjut ke semua undang-undang pemilu pasca-Perubahan UUD 1945, termasuk undang-undang pemilu terakhir, UU No 7/2017.
Sebaiknya pembentuk undang-undang pemilu meluruskan salah kaprah ini. Demi menjaga logika dan konsisten pengaturan, PPS sebaiknya diganti PPD/L singkatan dari Panitia Pemilihan Desa/Kelurahan. Sedangkan KPPS dirumuskan kembali menjadi Kelompok Pelaksana Pemungutan Suara.
Atau, agar konsisten dengan nomenklatur KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, maka PPK diubah jadi PPUK singkatan dari Panitia Pemilihan Umum Kecamatan, PPS diubah jadi PPUD/L singkatan dari Panitia Pemilihan Umum Desa/Kelurahan, dan KPPS diubah jadi PPU-TPS singkatan dari Panitia Pemilihan Umum di Tempat Pemungutan Suara, atau tetap KPPS tetapi dengan singkatan Kelompok Pelaksana Pemungutan Suara. []
DIDIK SUPRIYANTO
Penasihat Yayasan Perludem