Maraknya kasus penolakan masyarakat terhadap kampanye yang akan dilakukan oleh salah satu pasangan calon (paslon) di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta menjadi pelajaran bagi penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara pemilu harus bersikap tegas untuk menciptakan pemilu yang adil dan setara, serta menjamin rasa aman bagi setiap peserta pemilu.
Pasal 187 ayat (4) Undang-Undang No.10/2016 menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mengganggu jalannya kampanye suatu paslon akan dikenakan sanksi pidana paling sedikit satu bulan dan paling lama enam bulan dan atau denda paling sedikit enam ratus ribu rupiah dan paling banyak enam juta rupiah.
“KPU dan Bawaslu harus menjamin keamanan semua paslon dalam memenuhi haknya untuk berkampanye. Penolakan terhadap suatu paslon di suatu daerah harus segera disikapi, karena itu menciderai asas keadilan dan kesetaraan,†kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, pada acara “Menengok Kesiapan Lembaga Penyelenggara Menjelang Pilgub DKI 2017†di Menteng, Jakarta Pusat (9/11).
KPU dan Bawaslu diimbau mengadakan dialog dengan masyarakat yang melakukan penolakan kampanye paslon tertentu. Masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa menghalangi paslon untuk berkampanye bukanlah tindakan yang demokratis dan merupakan tindak pidana pemilu.
“Bangun dialog dengan masyarakat dan undang tokoh masyarakat setempat. Beri pengertian kepada mereka untuk tidak menghalangi paslon mengenalkan visi misi dan program mereka. Kalau berbeda pendapat, ya tidak usah datang ke kampanye mereka. Akan tetapi, jangan menghalangi!†tegas Titi.