DALAM kesimpulan Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Rabu (15/3/2023), DPR menyetujui keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam kesempatan tersebut Mendagri, Tito Karnavian, menyatakan dengan disetujui dan diterimanya Perpu Pemilu, maka pemilu tetap berjalan sesuai tahapan yang sudah diatur KPU.
Dalam kesempatan tersebut Mendagri, Tito Karnavian, menyatakan dengan disetujui dan diterimanya Perpu Pemilu, maka pemilu tetap berjalan sesuai tahapan yang sudah diatur KPU.
Mendagri menjelaskan bahwa Perpu Pemilu mengatur pelaksanaan pemilu di empat provinsi pemekaran di Papua dan Papua Barat mengingat UU 7/2017 belum mengatur penyelenggaraan pemilu di daerah otonom baru (DOB).
Menurut Mendagri, Perpu Pemilu perlu disetujui parlemen, kalau tidak, bisa berdampak pada penundaan pemilu akibat kepesertaan pemilu DPD dan DPR di empat provinsi pemekaran menjadi batal. Pembatalan tersebut akan berdampak pula pada pembatalan peserta pemilu secara keseluruhan.
Pemilu di DOB
Undang-undang tentang pembentukan Provinsi Papua Selatan (UU 14/2022), Papua Tengah (UU 15/2022), dan Papua Pegunungan (UU 16/2022) yang merupakan pemekaran dari Papua serta pembentukan Papua Barat Daya (UU 29/2022) yang merupakan pemekaran dari Papua Barat memang memandatkan anggota DPR di empat DOB untuk pertama kali ditetapkan berdasarkan hasil Pemilu 2024.
Selain itu, pada bagian ketentuan peralihan undang-undang pembentukan DOB disebutkan bahwa pengisian jumlah kursi DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan penetapan daerah pemilihan pada Pemilu 2024 sebagai akibat dibentuknya provinsi-provinsi baru tersebut diatur lebih lanjut dalam undang-undang mengenai pemilu.
Oleh karena itu, perlu kebijakan dan langkah luar biasa melalui penerbitan perpu untuk mengantisipasi dampak pembentukan daerah baru terhadap penyelenggaraan tahapan Pemilu 2024 agar tetap terlaksana sesuai jadwal dan tahapan sehingga menciptakan stabilitas politik dalam negeri. Ketentuan Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 telah mengatur bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Pada ayat (2) Pasal tersebut dinyatakan bahwa perpu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Sedangkan ayat (3)-nya memuat ketentuan jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Selanjutnya, Pasal 52 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 mengatur bahwa yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah perpu ditetapkan.
Sedangkan berdasar ketentuan Pasal 71 ayat (1) UU 12/2011 ditentukan bahwa pembahasan RUU tentang penetapan perpu dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU.
Selengkapnya, pengajuan perpu dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan perpu menjadi UU. Dalam hal ini, DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap perpu. Apabila perpu mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, perpu tersebut ditetapkan menjadi UU. Sebaliknya, jika tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Perpu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Perpu Pemilu sendiri ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 12 Desember 2022. Mayoritas berisi tentang penyelenggaraan pemilu di empat DOB. Namun, Perpu juga memuat norma baru terkait dengan manajemen tahapan pemilu dan persyaratan usia pengawas pemilu lapangan.
Ringkasnya, Perpu mengatur sebagai berikut, pertama, pembentukan KPU dan Bawaslu Provinsi di Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya yang ketentuan lebih lanjutnya diatur dalam Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu.
Kedua, persyaratan usia calon anggota Panwaslu Kecamatan, calon anggota Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Pengawas TPS diturunkan dari 25 menjadi paling rendah 21 tahun.
Ketiga, partai politik yang telah memenuhi ketentuan ambang batas perolehan suara secara nasional untuk Pemilu DPR 2019 dan telah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 dapat menggunakan nomor urut partai politik peserta pemilu yang sama pada Pemilu tahun 2019 atau mengikuti penetapan nomor urut yang dilakukan secara undi dalam sidang pleno KPU.
Keempat, Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 580, dari sebelumnya 575 kursi. Kelima, dalam hal belum terbentuk pengurus partai politik tingkat provinsi di empat provinsi pemekaran, maka penetapan daftar bakal calon anggota DPRD provinsi dilakukan oleh pengurus partai politik tingkat pusat.
Keenam, masa kampanye pemilu dilaksanakan sejak 25 hari setelah ditetapkan daftar calon tetap pemilu legislatif serta dilaksanakan sejak 15 hari setelah ditetapkan Pasangan Calon untuk pemilu presiden dan wakil presiden, sampai dengan dimulainya masa tenang.
Ketujuh, pelaksanaan pemilu serentak pada tahun 2024 di wilayah Kalimantan Timur yang masuk dalam wilayah Ibu Kota Nusantara, tetap berpedoman pada ketentuan dalam UU 7/2017.
Kedelapan, perubahan Lampiran UU 7/2017 menyangkut keanggotaan KPU dan Bawaslu Provinsi serta pengaturan daerah pemilihan dan alokasi kursi untuk Pemilu DPR dan DPRD Provinsi.
Sejatinya, hampir keseluruhan ketentuan dalam Perpu Pemilu ini sudah diimplementasikan. Antara lain, pertama, pengundian nomor urut partai politik peserta pemilu oleh KPU pada 14 Desember 2022 yang dilakukan sesuai ketentuan Pasal 179 Perpu Pemilu.
Kedua, penataan daerah pemilihan dan alokasi kursi Pemilu DPR dan DPRD Provinsi yang dieksekusi KPU melalui penerbitan Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2023 pada 6 Februari 2023.
Ketiga, seleksi KPU dan Bawaslu Provinsi di empat provinsi pemekaran sudah dilaksanakan prosesnya sejak Januari 2023 dan masih berlangsung hingga saat ini. Serta, keempat, jajaran Bawaslu pun telah tuntas menyeleksi Panwaslu Kelurahan/Desa dengan merujuk persyaratan usia paling sesuatu pengaturan Perpu Pemilu.
Berdasarkan prosedur yang ada, Perpu harus dibahas pada masa sidang pertama setelah Perpu ditetapkan. Masa persidangan berikut setelah Perpu Pemilu ditetapkan adalah masa persidangan III Tahun Sidang 2022-2023, yang dimulai pada 10 Januari hingga 16 Februari 2023. DPR telah mengakhiri masa sidang III pada Kamis, 16/2.
Nyatanya, sampai dengan penutupan masa persidangan III Tahun Sidang 2022-2023, rapat paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas atas Perpu Pemilu. Sehingga berdasarkan Pasal 22E Ayat (2) dan Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, Perpu Pemilu harus dicabut dan keberlakuannya menjadi gugur.
Sah dan Berlaku Dengan demikian, karena Perpu tidak mendapatkan persetujuan, maka setelah 16 Februari 2023 seluruh pengaturannya kembali merujuk pada UU 7/2017. Lalu bagaimana keberlakuan norma Perpu Pemilu yang sudah direalisasikan pelaksanaannya? Terkait hal itu, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 138/PUU-VII/2009 mengatur bahwa Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan status hukum baru, hubungan hukum baru, dan akibat hukum baru.
Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti undang-undang.
Selama masa tersebut, maka Perpu dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan undang-undang.
Meskipun Perpu Pemilu tidak disetujui pada masa persidangan pertama setelah Perpu ditetapkan, norma Perpu yang sudah dilaksanakan selama masa keberlakuan Perpu, yaitu antara 12 Desember 2022 sampai dengan 16 Februari 2023, adalah tetap sah dan berlaku.
Sehubungan itu, adanya pernyataan Mendagri bahwa pemilu bisa tertunda kalau Perpu Pemilu tidak disetujui adalah tidak tepat. Sebab, materi yang menyakut penataan daerah pemilihan dan alokasi kursi seluruhnya sudah diatur dan ditindaklanjuti selama masa keberlakuan Perpu.
Mengingat pentingnya substansi dalam Perpu Pemilu, sebagai jalan keluar, pembentuk undang-undang bisa mengakomodirnya dengan cara melakukan perubahan atas UU 7/2017. Selama ini terbukti bahwa DPR dan Pemerintah mampu bekerja cepat apabila telah bersepakat terkait suatu persoalan. Apalagi ini untuk kepentingan penyelenggaraan pemilu yang secara faktual dan objektif memang krusial dan diperlukan.
Namun demikian, adanya realitas tidak dibahas dan disetujuinya Perpu Pemilu pada masa sidang pertama setelah Perpu ditetapkan merupakan tragedi hukum yang harus jadi refleksi mendalam bagi kita semua. Sebuah pembelajaran yang tidak boleh terulang dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia ke depan. []
TITI ANGGRAINI
Pengajar Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Artikel opini ini merupakan kliping dari publikasi Opini Sindonews.com
https://nasional.sindonews.com/read/1054593/18/sengkarut-perpu-pemilu-1679612599