Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menawarkan opsi setuju dan tidak setuju dalam pemilihan kepala daerah bercalon tunggal memunculkan kebingungan baru. Siapa yang memiliki kedudukan hukum mewakili pemilih tidak setuju?
Putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015 membuat pasangan calon tunggal di Tasikmalaya, Blitar, dan Timor Tengah Utara lega. Tiga daerah tersebut tetap bisa mengikuti Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2015 dengan mekanisme yang sedikit berbeda.
Pilkada di daerah yang bercalon tunggal dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menyatakan setuju atau tidak setuju. “Kesempatan diberikan dalam surat suara yang didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan rakyat untuk menyatakan pilihan dimaksud,†ungkap ketua majelis hakim, Arief Hidayat, saat membacakan putusan (29/9).
Putusan MK ini mengakibatkan banyak hal harus direvisi. Rambe Kamarulzaman, Ketua Komisi II DPR RI, dalam rapat konsultasi dengan Kemendagri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), mempertanyakan pihak yang bisa mewakili pemilih opsi tidak setuju. Pihak ini setidaknya krusial muncul dalam tiga tahapan pilkada: lawan saat tahapan kampanye dalam format debat; saksi saat pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara; serta pemohon saat sengketa hasil.
Lawan kampanye
Dalam rapat konsultasi di DPR (12/10), Yandri Susanto, Anggota Komisi II, menanyakan ruang bagi masyarakat yang mengekspresikan pilihannya terhadap opsi tidak setuju. “Misal kampanye tidak setuju, bagaimana aturannya dan apakah dibiayai oleh negara?†kata Yandri.
Pertanyaan serupa, soal representasi pemilih opsi tidak setuju, juga muncul dari Ketua Komisi II, Rambe Kamarulzaman. Ia mempertanyakan siapa yang berhak mewakili pemilih opsi tidak setuju dalam format kampanye berupa debat. Tanpa ada representasi ini, calon tunggal tak akan mendapat lawan, esensi debat menjadi hilang.
KPU mengaku belum bisa memfasilitasi kampanye pemilih opsi tidak setuju sebagaimana memfasilitasi kampanye pasangan calon. Sebab, undang-undang mengatur yang berkampanye adalah pasangan calon dan timnya.
“Misalnya saja kita mau bangun kelompok ini punya hak untuk mewakili kelompok masyarakat yang tidak setuju kemudian dia boleh kampanye. Kalau ini mau dibuat, ini akan bertentangan dengan UU. Ini sangat rumit,†kata Hadar Nafis Gumay, Komisioner KPU, usai rapat konsultasi di Ruang Rapat Komisi II DPR RI, Jakarta Selatan (12/10).
Soal debat, Heroik M. Pratama, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menawarkan konsep uji publik untuk mengganti format debat. Dengan ini, pemilih mempunyai sarana untuk melihat lebih jauh dan menguji visi misi pasangan calon tunggal. Sarana ini perlu untuk publik karena calon tunggal tak punya pembanding dari pasangan calon lain.
“Forum tanya jawab mesti dibuka. Masyarakat perlu diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan,†tegas Heroik saat dihubungi (13/10).
Husni Kamil Manik, Ketua KPU, mengungkap bahwa esensi dari debat adalah elaborasi visi misi. KPU mendasarkan format debat pada esensi ini. Panelis bisa membantu masyarakat mengelaborasi pikiran pasangan calon untuk disajikan ke masyarakat. “Penting bagi kami untuk mengakomodasi hak-hak masyarakat untuk mengetahui dan mengenal pasangan calon,†tandas Husni.
Saksi
Kehadiran representasi pemilih opsi tidak setuju juga dinilai penting pada saat pemungutan, penghitungan, serta rekapitulasi suara. Soal ini, KPU menilai penyelenggara pemilu, baik itu KPU maupun Bawaslu, punya kewajiban moral untuk menjaga kemurnian suara pemilih serta demokratisnya pemilihan.
Atas dasar ini, peran saksi bagi pemilih opsi tidak setuju bisa dititipkan melalui pengawas tingkat TPS. “Bisa juga sebetulnya anggota masyarakat dititipkan melalui, di aturan sekarang ada yang namanya, pengawas tingkat TPS. Jadi bisa juga diberikan kepada mereka,†kata Hadar menanggapi pertanyaan siapa yang bisa menjadi saksi pemilih opsi tidak setuju (12/10).
Mekanisme ini juga tetap memberi ruang bagi masyarakat untuk bisa melaporkan pelanggaran sepanjang mempunyai bukti dan memberikan identitas.
“Laporkan saja. jadi dimaksimalkan saja itu tanpa kita membangun hal baru. Karena kalau itu kita bangun, komplikasinya menjadi sangat luas,†tandas Hadar.
Pemohon sengketa hasil
Hal yang masih menggantung hingga hari ini adalah siapa yang mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan sengketa hasil pada pilkada bercalon tunggal. Veri Junaidi, Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, menilai penting adanya peraturan MK tentang sengketa pilkada calon tunggal, setidaknya sebagai rambu-rambu apabila ada perselisihan dan potensi ketidak puasan terhadap hasil pilkada calon tunggal.
Lebih lanjut, Kode Inisiatif mengusulkan masyarakat bisa menjadi pemohon sengketa hasil pilkada di MK melalui mekanisme citizen law suit dan class action. Arie M. Haikal, peneliti Kode Inisiatif, mengemukakan, posisi pemilih dalam proses sengketa bisa secara langsung menjadi pihak yang merasa dirugikan akibat proses pemilihan yang berlangsung dengan tidak jujur dan adil.
“Selain itu, bisa juga melalui mekanisme gugatan perwakilan kelompok (class action) dimana pemilih bisa mengajukan gugatan secara kelompok yang diwakilkan kepada wakil kelompok yang merasa dirugikan,†kata Haikal dalam diskusi di Jakarta Pusat (11/10).
Mekanisme ini, menurut Haikal, perlu juga menyesuaikan dengan mekanisme sengketa di MK. Perseorangan yang menggugat sebaiknya adalah warga negara yang memiliki hak pilih di daerah itu. Terkait waktu pengajuan gugatan juga perlu diberi kelonggaran agar memiliki kesempatan untuk mengonsolidasikan diri.
Sementara itu, Perludem menyarankan pemantau pemilu juga memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon dalam gugatan sengketa hasil pilkada di MK. Pemantau pemilu adalah pihak yang mempunyai fokus tugas memastikan proses pilkada berjalan sesuai dengan prinsip pemilihan yang bebas dan adil. “Pemantau pemilu yang dimaksud di sini adalah pemantau pemilu yang terdaftar dan terakreditasi resmi oleh KPU di daerah yang bersangkutan,†kata Fadli Ramadhanil, peneliti hukum Perludem, saat dihubungi (11/10).
Pemantau pemilu merupakan salah satu pihak yang sangat mengikuti setiap tahapan pilkada yang terjadi, dan sangat mungkin juga mengetahui apakah terdapat praktik kecurangan atau tidak. Dalam aktivitasnya pemantau pemilu selalu memiliki segala laporan dan dokumentasi terhadap proses pelaksanaan pilkada yang terjadi.
Posisi pemantau pemilu dapat diposisikan sebagai pihak yang menyampaikan bahwa terjadi persoalan dalam proses pelaksanaan pilkada, khusus untuk daerah yang diikuti oleh calon tunggal. Pemantau pemilu dapat dikategorikan pihak yang paling representatif untuk memohonkan koreksi terhadap hasil dan proses pilkada yang diduga kuat mengandung persoalan dan kecurangan ke MK.
Ada kekosongan hukum terkait kedudukan pemohon sengketa hasil ini. KPU berharap MK dapat membuat peraturan soal ini. KPU tak bisa membuat aturan tentang siapa yang punya legalitas atau kedudukan hukum dalam menggugat hasil pilkada sebab aturan itu ada di dalam level undang-undang.
“Kami pernah memutuskan untuk segera rapat koordinasi yang di dalamnya ada Mahkamah Konstitusi, presiden, dan DPR. dan di situ bisa dibicarakan. Otoritas itu ada pada MK,†tutup Hadar.
MAHARDDHIKA