Perhelatan pemilihan kepala daerah tidak bisa dilepaskan dari konteks pembangunan daerah selama lima tahun ke depan.
Pemilihan kepala daerah (pilkada) hanyalah fase awal dalam setiap suksesi. Ada waktu yang lebih panjang untuk menguji pilihan politik publik tersebut. Oleh karena itu, visi dan misi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah mesti dicermati secara jeli dan cerdas oleh pemilih, bukan justru mengedepankan isu-isu terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Salah satu isu penting dan strategis untuk dibahas adalah bagaimana kepala daerah terpilih mampu membangun sistem pencegahan korupsi yang komprehensif di tingkat lokal. Problem korupsi tentu tidak hanya dilihat sebagai kasus yang ditangani penegak hukum saja, tetapi semua penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan, misalnya praktik pungutan liar, mempersulit pelayanan, termasuk tidak responsif terhadap pengaduan masyarakat.
Transparency International Indonesia (TII) menyebut sistem pencegahan korupsi di daerah ini sebagai Sistem Integritas Lokal (SIL). Dalam konteks ini, kepala daerah adalah salah satu aktor kunci yang menentukan seberapa baik sistem pencegahan korupsi ini bekerja.
Penyelenggaraan pilkada secara langsung merupakan wujud dari desentralisasi politik. Seiring dengan itu, kewenangan daerah dalam menentukan kebijakan di tingkat lokal juga semakin menguat. Dan, jika dihitung secara ekonomi, APBN 2016 mengalokasikan dana transfer ke daerah dan dana desa sekitar Rp 770,2 triliun (http://www.kemenkeu.go.id/apbn2016), lebih dari 40 persen dari pendapatan negara. Persentase ini belum termasuk alokasi anggaran untuk instansi vertikal yang ada di daerah.
Menguatnya peran daerah dalam mengelola sumber daya publik seharusnya diimbangi dengan sistem yang mampu mencegah terjadinya penyimpangan. Sistem pengawasan yang ada saat ini terbukti tidak mampu menekan laju penyalahgunaan anggaran, seperti korupsi, tidak efisien, tidak efektif, dan pemborosan.
Dari sisi kasus, tren korupsi di daerah juga meningkat. Menurut Kementerian Dalam Negeri, hingga 2015 sebanyak 343 kepala daerah terjerat kasus hukum. Sebagian besar mereka terjerat kasus hukum persoalan pengelolaan keuangan daerah. Sementara itu, hingga tahun 2014 terdapat 56 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi oleh KPK.
Adapun jumlah legislator daerah yang terjerat kasus korupsi juga tak kalah banyak. Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 2.545 anggota DPRD provinsi dan 431 anggota DPRD kabupaten/kota terjerat kasus korupsi sejak 2004 sampai 2013. Jumlah itu sekitar 6,1 persen dari total 18.275 anggota DPRD se-Indonesia. Dari sejumlah kasus tersebut, tidak satu pun merupakan hasil laporan pengawasan dari internal daerah, tetapi merupakan hasil investigasi dari penegak hukum: kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Situasi ini sangat penting untuk direspons melalui satu kebijakan khusus yang menyinkronkan seluruh aktor di daerah untuk berperan. Selain kepala daerah, ada pilar lain yang berperan, yaitu DPRD, partai politik (di daerah), pelayanan publik, pengadaan publik, pengadilan, lembaga penegak hukum, BPK (perwakilan), Ombudsman (perwakilan), pemerintah pusat (instansi vertikal), media, organisasi masyarakat sipil, dan entitas bisnis (pengusaha).
Berbasis sistem
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di daerah, peran kepala daerah tentu saja sangat signifikan, khususnya yang terkait langsung dengan pelayanan publik. Sebutlah seperti perizinan, pengadaan, dan pelayanan sosial. Maka, para calon kepala daerah seharusnya menyampaikan sistem pencegahan korupsi ini kepada publik, bukan hanya menyuguhkan janji-janji pembangunan, melainkan bagaimana transparansi dan akuntabilitasnya.
Secara umum, Sistem Integritas Lokal memadukan komponen tertentu pada setiap aktor/pilar, meliputi: kapasitas, ekspektasi publik, governance (proses bisnis), dan peran tiap pilar. Pertama, terkait kapasitas baik dari segi kewenangan/otoritas maupun sumber daya keuangan/manusia. Secara umum, hampir semua aktor memiliki kewenangan yang kuat sesuai dengan bidangnya masing-masing. Akan tetapi, dalam beberapa hal ada kelemahan dalam penyediaan sumber daya keuangan (minim anggaran). Bagaimana mau memberantas korupsi jika tidak di-support oleh anggaran yang cukup/memadai? Begitu pula dengan penyediaan sumber daya manusia yang mampu menjalankan kewenangan tersebut.
Kedua, ekspektasi publik terhadap setiap aktor. Sisi ini harus ditopang oleh kapasitas aktor di atas. Misalnya ekspektasi publik kepada KPK terlalu tinggi, tetapi otoritas/sumber daya KPK terbatas, situasinya menjadi timpang. Atau malah sebaliknya, otoritas dan sumber daya tinggi tetapi tidak dipercaya publik. Ini pekerjaan rumah paling besar, khususnya bagi penegak hukum dan birokrasi dalam membangun kepercayaan publik.
Ketiga, governance, dalam arti umum meliputi proses penyelenggaraan layanan yang transparan, berintegritas, membuka partisipasi publik, dan akuntabel dalam pelaksanaan fungsi. Komponen ini juga bekerja atas dasar kapasitas aktor, proses penyelenggaraan harus sesuai dengan kewenangan, tidak menyalahgunakan kewenangan, misalnya penyimpangan penggunaan diskresi untuk kepentingan kelompok/ individu.
Terakhir, keempat, bagaimana setiap aktor/pilar berperan dalam memberantas korupsi. Lembaga penegak hukum akan berperan ketika terjadi tindak pidana, lembaga pengawasan internal akan bekerja dan responsif terhadap pengaduan publik, dan seterusnya.
Yang dibangun adalah sistem, bukan kebijakan individu tertentu, sangat parsial dan biasanya tidak berlanjut ketika terjadi suksesi. Kita bisa belajar banyak dari kota/kabupaten yang sudah mulai memperbaiki sistem, misalnya di Surabaya dengan e-government, DKI Jakarta dengan upaya membangun e-budgeting dan inisiatif kota-kota lain. Jadi, siapa pun yang terpilih, sistem ini akan berjalan dengan sendirinya.
REZA SYAWAWI, PENELITI HUKUM DAN KEBIJAKAN TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
http://epaper1.kompas.com/kompas/books/161108kompas/#/7/