KPU Provinsi Sumatera Barat mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan KPU selingkup Sumatera Barat, akademisi, partai politik, tokoh masyarakat dan mahasiswa tentang evaluasi pilkada serentak 9 Desember 2015 (23-24/2).
Pelaksanaan pilkada Sumatera Barat diikuti satu pemilihan gubernur/wakil gubernur dan 13 bupati/walikota. Evaluasi ini menjadi penting terhadap pelaksanaan Pilkada serentak semester pertama—yang semester kedua nanti tahun 2017 harapan terhadap pilkada yang lebih baik bisa terlakasana. Banyak catatan penting yang bisa menjadi pedoman untuk kedepannya agar sistem demokrasi memiliki kemapanan.
Banyaknya evaluasi terhadap pilkada 9 Desember 2015, saya memberikan catatan tentang hal-hal yang perlu mendapatkan perbaikan kedepananya. Pertama, pengaturan dalam Pasal 42 ayat (4) dan ayat (5) UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang juga memiliki sinkronisasi dengan PKPU No. 12/2015. Intinya, UU dan PKPU tersebut mengatur tentang calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik yang harus memiliki kesesuaian dengan dukungan DPW dan DPP sama. Jika memiliki perbedaan calon yang direkomendasi daerah dengan pusat maka gagal lah calon yang diusung tadi.
Fakta yang terjadi di Sumatera Barat bisa kita lihat tentang dinamika Partai Golkar dan PPP yang memang dalam kondisi konflik (baca: dualisme kepemimpinan). Masalah ini merembes kepada partai ini mengusung calon kader partainya. Yang menjadi catatan, perbedaan calon yang diusung Partai Golkar dan PPP dengan perebutan tanda tangan pengurus pusat tentang calon kepala daerah yang diusung partai ini. Akibatnya, terjadilah masalah adminstratif partai ini mengusung calon kepala daerah.
Masalah ini menjadi persoalan yang patut untuk dipertegas kedepannya dengan revisi UU Pilkada atau pun penerjemahan PKPU. Pasalnya, persiapan UU Pilkada yang terburu-buru dengan polemik pelaksanaan pilkada melalui DPRD atau pun langsung menyebabkan UU Pilkada belum sempurna. Mengapa ini menjadi catatan saya, secara politik partai yang sedang berkonflik kesulitan mendapatkan posisi tawar yang jelas terhadap UU ini. Setelah itu calon kepala daerah niscaya mengabaikan DPW partai di daerah sebagai pintu utama untuk melobi partai—menggunakan jaringan pusat sering dipakai calon untuk mendapatkan restu untuk naik menjadi kepala daerah. Masalahnya, terjadi lah konflik DPP dengan DPW partai tentang calon yang diusung partainya yang berbeda pandangan antara pengurus partai pusat dengan daerah.
Logika uang niscaya bermain disini—DPW yang menganggap calon yang diusung memang memiliki elektibilitas yang menjanjikan dengan ketertarikan elektoral terhadap calon. Hal itu bisa saja dilakukan melalui survei, diskusi, dan lain-lain. Persoalan inilah yang menyebabkan partai kehilangan arah pada pengajuan calon yang berbenturan dengan aturan-aturan ini. Sebagai contoh bisa kita lihat tentang berpura-pura damainya Partai Golkar menjelang pilkada demi merebut posisi kepala daerah. Pada akhirnya, Partai Golkar kewalahan menunjukan taringnya sebagai partai penguasa posisi kepala daerah.
Ini bukanlah persoalan Partai Golkar yang tidak bisa mengelola konflik, tetapi bagaimana posisi aturan yang mengatur tentang calon yang diusung partai yang berbenturan antara pusat dan daerah, Sehingga transaksi politik sebagai “uang upeti†menjelang penetapan calon kepala daerah niscaya terjadi sebagai langkah pelican tanpa harus banyak menggunaka lobi-lobi.
Kedua, kepala daerah petahana memang yang paling beruntung dalam setiap pemilihan—terutama saat ia memiliki program yang bisa menunjang citranya. Pada momentum Pilkada 9 Desember 2015 dominan petahana menggunakan program pemerintah untuk mencitrakan dirinya secara pribadi. Impaknya, sambil mendayung program pemerintah banyak pulau-pulau suara yang siap didulang petahana.
Dengan mudah bisa kita lihat tentang penggunaan baliho-baliho petahana yang seharusnya itu program pemerintah, malahan itu dijadikan alat untuk kepentingan pribadi. Misalnya, mengklaim semua aktivitas yang ada di suatu daerah adalah hasil kinerjanya atas jasa-jasanya sebagai kepala daerah petahana. Konteks ini menjadi masalah yang seharusnya bisa disorot secara baik—karena pilkada yang fair memang pertarung gagasan yang akan membawa daerah masing-masing terhadap cita-cita masyarakat setempat. Bukan hanya citra yang dibungkus dengan program-program semata yang pelaksanaan dekat menjelang pilkada saja.
Sama halnya dengan Pasal 71 UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tentang pelarangan pergantian pejabat sebelum enam bulan masa jabatannya habis. Artinya, kepala daerah petahana memiliki peluang melakukan transaksi dengan pejabatan dan ASN lainnya. Posisi petahana yang sudah memahami tentang sturktur yang ada niscaya memanfaatkan ini dengan transaksi janji, jabatan atau pun ancaman.
Ketiga, pilkada 9 Desember 2015 masih menjadi masalah bagi elektoral yakni persoalan pemilih yang masih menganggap bahwa pilkada memang harus meriah bukan hanya seremonial masuk TPS, pilih dan pulang. Pesta lima menit dalam bilik suara tanpa ada orgen tunggal, umbul-umbul dan lain-lain menjadikan pilkada serentak beberapa waktu sulit mendapatkan perhatian pemilih—sebagai akibat rendahnya partisipasi.
Makanya, untuk menarik perhatian pemilih bukanya hanya tugas KPU sebagai penyelanggara—partai politik, masyarakat sipil dan lain-lain harus ambil peran untuk memberikan pendidikan dan sosialisasi politik pentingnya untuk memilih pada pilkada. Semoga pilkada serentak semester kedua tahun 2017 lebih baik.
ARIFKI
Kolumnis dan Alumunus Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas