November 15, 2024

Tantangan Presidensial Hasil Pemilu Serentak: Koalisi Mayoritas Tinggi Fragmentasi

Indonesia sudah melakukan pemungutan suara Pemilu 2019. Pemilu serentak pertama negara demokrasi terbesar ketiga ini secara umum berjalan damai dengan antusiasme memilih yang tinggi. Dari hasil perolehan suara yang sudah terlihat, sistem pemerintahan presidensial Indonesia punya tantangan untuk bisa berjalan baik dalam 5 tahun ke depan. Koalisi partai politik pengusung presiden terpilih memang meraih kursi mayoritas tapi fragmentasi parpol di DPR masih tinggi.

Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai presiden-wakil presiden terpilih berhasil menghasilkan koalisi mayoritas di DPR. Diperkirakan jumlah kursi koalisi Jokowi-Amrin sekitar 357 kursi dari total 575 kursi di DPR atau sekitar 62,09%. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 130 kursi (22,61%), Partai Golongan Karya (Golkar) 79 kursi (13,74%), Partai Kebangkitan Bangsa 65 kursi (11,3%), Partai Nasional Demokrat (Nasdem) 54 kursi (9,39%), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 29 kursi (5,04%).

Sedangkan gabungan partai politik oposisi hanya mendapat sekitar 37,91%. Rinciannya Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 81 kursi (22,61%), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 53 kursi (9,22%), Partai Demokrat 44 kursi (7,65%), Partai Amanat Nasional (PAN) 40 kursi (6,96%), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 29 kursi (5,04%).

*Perhitungan berdasar data survei https://www.detik.com/pemilu/quick-count-pileg per-18 April 2019 jam 11.31 (LSI Denny JA). Pembulatan kursi berasumsi hitungan konversi suara Sainte Lague yang proporsional.

Hasil itu disimpulkan lebih baik dibanding Pemilu 2014. Saat Joko Widodo-Jusuf Kalla terpilih sebagai presiden-wakil presiden, dukungan awal koalisinya lebih sedikit dibanding oposisi. PDIP, PKB, PPP, Nasdem, dan Hanura yang menamakan Koalisi Indonesia Hebat hanya punya kursi 247 dari 560 kursi DPR (44,10%). Sedangkan Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, dan PKS dengan nama Koalisi Merah Putih punya kursi 313 (55,89%).

Keadaan itu merupakan salah satu sebab sistemik yang membuat Koalisi Jokowi-JK sulit mewujudkan Nawacita. Inisiatif undang-undang atau kebijakan dari Pemerintah sulit diterima DPR. Sebaliknya, jika mengupayakan undang-undang dari inisiatif DPR, koalisinya pun tak cukup.

Tinggi fragmentasi

Pemilu Serentak 2019 memang menghasilkan koalisi mayoritas presiden terpilih tapi tak menghasilkan tujuan lain pemilu serentak. Penggabungkan pemilu presiden dengan pemilu DPR dalam satu hari pemungutan suara juga bertujuan menyederhanakan sistem kepartaian, mengurangi fragmentasi parpol. Ragam indeks negara dunia menunjukan, tak ada ranking yang baik bagi negara bersistem presidensial multipartai ekstrim.

Ilmuwan politik, Giovanni Satori membagi sistem kepartaian multipartai menjadi dua berdasarkan jumlah partai politik relevan di dalam parlemen. Pertama, multipartai moderat dengan jumlah 3-5 partai politik. Kedua, multipartai ekstrim dengan jumlah partai relevan lebih dari dari 5 partai politik.

Untuk mengukur jumlah partai relevan yang menggambarkan tingkat fragmentasi partai politik dalam parlemen, baik bila merujuk rumus matematis Laakso dan Taagepera dengan istilah indeks ENPP (The effective number of parliamentary parties) dengan rumus:

Jika rumus ENPP diterapkan dalam tabel perolehan kursi partai politik 2019-2024 hasilnya adalah sebagai berikut:

Merujuk tabel pembulatan kursi DPR 2019-2024 (575 kursi), didapat bahwa ENPP adalah 7,51. Artinya, dari 9 parpol dalam parlemen, masih ada sekitar tujuh partai yang punya efektivitas mempengaruhi kebijakan. Semakin banyak parpol di parlemen, cenderung meningkatkan fragmentasi parpol, sehingga presiden terpilih lebih sulit mewujudkan program/janji kampanyenya.

Bandingkan dengan fragmentasi parpol hasil Pemilu 2014. Indeksnya ENPP-nya adalah 8,16. Artinya, ENPP DPR 2014-2024 berkurang tak signifikan. Parlemen Indonesia masih bersistem kepartaian multipartai ekstrim.

Jumlah parpol di DPR 2019-2024 pun hanya berkurang 1 dibanding DPR 2014-2019. Hasil Pemilu 2019 hanya mengeluarkan 1 parpol di DPR, yaitu Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Banyaknya jumlah parpol dan tingginya fragmentasi di DPR bisa menambah buruk keadaan jika seiring dengan tuntutan permintaan kekuasaan dan proyek pembangunan. Ada kecenderungan para pimpinan parpol meminta posisi menteri kepada presiden yang didukungnya sebagai kompensasi kemenangan pemilu dan dukungan pemerintahan 5 tahun berjalan. Atau, elite parpol meminta keistimewaan di balik layar berupa proyek pembangunan untuk bertahan dan berjaya di pemilu berikutnya.

Akhirnya, pemilu serentak pertama Indonesia memang menghasilkan koalisi mayoritas di awal pemerintahan. Tapi, koalisi ini punya potensi cair. Janji kampanye Jokowi, bisa jadi terhambat lagi bila keinginan elite parpol tak dipenuhi. Pemerintahan Jokowi bisa jadi lancar berjalan, tapi menyertakan transaksional elite yang syarat kolusi. []

USEP HASAN SADIKIN