UU No.10/2016 punya sejumlah pasal yang memperkuat penegakan hukum terhadap politik uang. Tapi di sisi lain, regulasi untuk Pilkada 2017 ini berpasal yang juga melemahkan penegakan hukum saat politik uang terjadi. Terang gelap regulasi ini bergantung komitmen dan peraturan penyelenggara pemilu untuk menjamin kepastian penegakan hukum pemilu.
Sanksi pembatalan calon terdapat pada Pasal 73. Ayat (1) berbunyi, calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/atau Pemilih. Ayat (2) berbunyi, calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Tapi pasal terang tersebut digelapkan dengan Pasal 135A Ayat (1). Bunyinya, pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) merupakan pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Pada bagian Penjelasan UU No.10/2016 dijelaskan apa yang dimaksud “terstrukturâ€, “sistematisâ€, dan “masif†(TSM) itu. Terstruktur adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama. Sistematis adalah pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Sedangkan, masif adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian.
Direktur eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini (21/7) berpendapat, frasa “dan†pada Pasal 73 ayat (2) menunjukkan sifat kumulatif. Calon bisa dibatalkan jika melakukan politik uang secara terstruktur, sistematis, masif, sekaligus.
“Jika merujuk definisi pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif itu, bisa disimpulkan sepanjang politik uang tidak dilakukan aparat struktural, tidak direncanakan matang, atau tidak luas pengaruhnya maka calon yang melakukan politik uang tidak bisa dibatalkan kepesertaannya. Alias ada ruang toleransi, bahkan bisa disebut legalisasi politik uang sepanjang tidak terstruktur, sistematis, dan masif,†kata Titi.
Selain itu, Pasal 73 memisahkan politik uang yang dilakuan calon dan tim sukses melalui perbedaan bentuk sanksi terhadap calon. Ayat (2) menggelapkan penegakan hukum karena menekankan sanksi pembatalan calon karena politik uang jika politik uang dilakukan (langsung) oleh calon. Ayat (3) menambah gelap, tim sukses pelaku politik uang dikenakan sanksi pidana yang tak berdampak pada calon, baik secara pidana maupun administrasi pembatalan.
Konsultan politik, Yunarto Wijaya dalam diskusi keuangan politik (di Komisi Pemberantasan Korupsi, 26/5) menginformasikan, politik uang dalam pilkada dimulai dari pemberian uang dari calon kepada tim sukses. Tim sukses yang membuat uang calon menjadi bermacam bentuk: fresh money, pork barrel, dan club goods.
Koordinator nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz mengatakan, berdasarkan pengalaman pemantauan belum pernah ditemukan calon yang melakukan politik uang secara langsung kepada pemilih. Politik uang sangat mungkin dilakukan calon dalam bentuk mahar kepada partai tapi JPPR belum pernah menemukannya karena sangat sulit pemantauannya.
“Yang pernah ditemukan adalah calon memberikan uang dalam konser musik. Tapi (bentuk politik uang) itu sangat sulit ditindak karena tak ada himbauan untuk memilih (kepada calon pemilih),†kata Masykurudin (26/7).
“Pemberian uang oleh calon dalam konser dangdut adalah politik uang recehan. Justru politik uang yang sangat besar jumlahnya dilakukan tim sukses dalam bentuk fresh money pada serangan fajar (jelang pemilihan) dan pork barrel jauh dimulai sebelum tahapan pilkada,†kata Yunarto.
Menerangkan penegakan hukum
Penguatan penegakan hukum terhadap politik uang merupakan capaian terang dari revisi kedua undang-undang pilkada yang lebih banyak gelapnya. Penyelenggara pemilu menjadi pihak yang paling strategis memastikan terang penegakan hukum melalui komitmen dan kewenangan pembuatan peraturan pelaksana pilkada.
Ada tantangan sangat besar bagi Bawaslu untuk menjamin kewenangan barunya bergigi. Anggota Bawaslu, Nelson Simanjuntak mengakui sulitnya pembatalan calon bersyarat TSM itu.
“Sulit menyangkal bahwa tak mudah menjatuhkan sanksi pembatalan calon karena harus memenuhi syarat TSM. Suatu syarat yang sulit dibuktikan dan berpotensi disalahgunakan,†kata Nelson (21/7).
Masykurudin berpendapat, peraturan penyelenggara pemilu seharusnya bisa membuat makna TSM menjadi mungkin ditindak. Terstruktur cukup dimaknai pelibatan satu atau lebih apararat. Sistemik, dimaknai dilakukan tim sukses yang berkait dengan pasangan calon. Masif, dimaknai terjadi di satu kecamatan.
Pemaknaan TSM itu harus dimasukan dalam peraturan pelaksana pilkada yang dibuat KPU dan Bawaslu. Kedua penyelenggara pemilu ini pun harus satu pemahaman dan komitmen.
Mengenai calon yang hanya bisa dibatalkan jika langsung melakukan politik uang, Perludem pun berpendapat ini berkait dengan komitmen penyelenggara pemilu terhadap penegakan hukum di pilkada. Â Pembatalan calon bisa dijatuhkan terhadap praktik politik uang yang dilakukan langsung atau tak langsung oleh calon.
“Jika tim kampanye memberikan uang kepada pemilih atas persetujuan calon, ini berarti calon melakukan politik uang secara tidak langsung. Calon bisa dibatalkan,” kata Titi.
Anggota KPU, Ida Budhiati mengakui kecenderungan tebang pilih pelaku politik uang itu. Padahal penting juga pembatalan calon dijatuhkan jika pelakunya adalah Tim Kampanye dan lainnya.
“Tim kampanye, relawan, pihak lain, atau parpol pengusung diberikan sanksi pidana. Pembatalan terhadap calon dilakukan jika calon langsung yang melakukan politik uang,†kata Ida.
Masih ada beberapa bulan bagi KPU dan Bawaslu menghasilkan peraturan yang terang untuk menutup gelap penindakan politik uang. Proses dan hasil uji publik sangat baik jika dioptimalkan sehingga terang keadilan hukum pemilu menjadi lebih pasti. []
USEP HASAN SADIKIN