Dalam Pilkada Serentak 2017 di 101 daerah, ada calon yang di tengah tahapan panjang pilkada berstatus hukum Tersangka. Keadaan ini berbeda dengan status Tersangka seseorang sebelum ditetapkan sebagai calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tuntutan etiket politik mengundurkan diri dari proses jadi tak relevan saat status Tersangka didapat di tengah tahapan. UU Pilkada malah bisa menghukum penjara dan denda pengunduran diri calon atau pasangan calon sebelum tahapan pemilu berakhir.
“Status Tersangka dan Terdakwa seseorang setelah ditetapkan sebagai calon, harus mengikuti tahapan pilkada sampai berakhir,” kata peneliti hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil di Jakarta Selatan (14/12).
Fadli menjelaskan, pentingnya membedakan status hukum tersebut di dua konteks. Ada konteks sebelum penetapan calon. Ada konteks setelah penetapan calon.
“Yang selama ini sering kita cegah status Tersangka atau Terdakwa adalah di konteks pendaftaran. Itikad baik berpolitik itu relevan pada konteks sebelum ditetapkan sebagai calon,” tegas Fadli.
Menjadi berbeda jika statusnya Terpidana berkekuatan hukum tetap. Pada konteks pendaftaran calon, jelas regulasi pilkada sudah melarang status ini untuk ditetapkan sebagai calon. Jika status Terpidana berkekuatan hukum tetap didapat setelah tahap penetapan calon, status ini termasuk istilah “berhalangan tetap” dalam regulasi.
UU No.8/2015 Pasal 54 Ayat (5), bertuliskan, dalam hal calon berhalangan tetap pada saat dimulainya Kampanye sampai hari pemungutan suara dan terdapat 2 (dua) calon atau lebih, tahapan pelaksanaan Pemilihan dilanjutkan dan calon yang berhalangan tetap tidak dapat diganti serta dinyatakan gugur.
Tapi hasil revisi regulasi itu menjadi UU No.10/2016 malah tak mengatur keadaan berhalangan tetap seorang calon di antara tahap kampanye sampai pemungutan suara. Hasil revisi Pasal 54, seluruhnya hanya merinci keadaan calon/pasangan calon yang meninggal (54A), pemilihan satu pasangan calon atau calon tunggal (54C) dan keadaan calon tunggal yang kalah dalam pemilihan (54D).
UU No.10/2016 hanya menampung istilah Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana di konteks keterpilihan. Pasal 163 Ayat (6) bertuliskan, dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi tersangka pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
Ayat (7) bertuliskan, dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi terdakwa pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sementara sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
Ayat (8) bertuliskan, dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.
Ketua KPU DKI Jakarta, Sumarno mengatakan, status Tersangka/Terdakwa tidak mempengaruhi pencalonan Cagub/Cawagub. Calon bersangkutan mengikuti dan menjalankan tahapan pilkada sampai pemungutan suara seperti calon lainnya.
Jika calon sudah terpilih, status Tersangka/Terdakwa tak menggugurkan kelanjutan tahapan pilkada terakhir yaitu pelantikan calon. Jika statusnya Tersangka, calon terpilih akan tetap menjabat sebagai kepala daerah. Jika statusnya Terdakwa, calon terpilih akan diberhentikan sementara hingga mendapat putusan hukum tetap.
“Kalau sudah berstatus Terpidana yang berkekuatan hukum tetap, yang bersangkutan diberikan sanksi berupa pembatalan sebagai calon,” kata Sumarno.
Sanksi pidana dan kewajiban debat
Regulasi pilkada akan menghukum seseorang yang sudah ditetapkan sebagai calon oleh KPU lalu mengundurkan diri di tengah tahapan pilkada. Jika calon mengundurkan diri, akan dikenakan pidana berupa penjara dan denda.
UU No.8/2015 Pasal 191 Ayat (1) bertuliskan, Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah penetapan pasangan calon sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 bulan dan paling lama 60 bulan dan denda paling sedikit Rp 25 miliar dan paling banyak Rp 50 miliar.
Calon berstatus Tersangka/Terdakwa pun wajib memenuhi ketentuan kampanye yang difasilitasi KPU. UU Pilkada menuliskan kewenangan KPU provinsi atau kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada memfasilitas alat peraga, debat publik, dan kampanye media massa.
“Debat wajib diikuti calon. PKPU mengaturnya,” ujar Sumarno.
Peraturan KPU No.12/2016 tentang Kampanye menguatkan kewajiban pemenuhan kampanye yang difasilitasi KPU itu dengan menyertakan hukuman jika tak dipenuhi calon. KPU provinsi atau kabupaten/kota penyelenggara pilkada akan mengumumkan penolakannya dan tak menayangkan calon dan pasangan calon bersangkutan dalam iklan media massa yang dibiayai penyelenggara pilkada.
Pasal 22A Ayat (1) bertuliskan, dalam hal Pasangan Calon terbukti secara sah menolak mengikuti debat publik atau debat terbuka antar-Pasangan Calon, Pasangan Calon dikenai sanksi berupa: a. diumumkan oleh KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota bahwa Pasangan Calon yang bersangkutan menolak mengikuti debat publik atau debat terbuka; dan b. tidak ditayangkannya sisa iklan Pasangan Calon yang bersangkutan terhitung sejak Pasangan Calon tidak mengikuti debat publik atau debat terbuka.
“Iklan media massa hanya difasilitasi KPU. Calon tidak boleh beriklan di media massa. Jika tak datang debat, diberikan sanksi penghentian iklan kampanye calon di media massa,” tegas Sumarno. []
USEP HASAN SADIKIN