Maret 19, 2024
iden

Tiga Masalah Menggeser Jadwal Pemilu 2024

Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan perubahan jadwal pemungutan suara pemilu presiden dan pemilu legislatif pada 2024. Dalam diskusi virtual (30/5), Ketua KPU mengatakan, Hari H pesta demokrasi 21 April 2024 perlu diubah menjadi 21 Februari 2024. Penggeseran jadwal bertujuan agar pilkada serentak yang juga diselenggarakan pada 2024 punya waktu lebih cukup bagi banyak tahapan prapemungutan suara.

Hari H pemilu presiden dan pemilu legislatif perlu dimajukan, juga karena mempertimbangkan fase perselisihan hasil pemilu dan persiapan kepesertaan pilkada. Partai politik dan peserta pemilu lebih punya waktu bersidang di Mahkamah Konstitusi (MK) dan mempersiapkan calon untuk pilkada serentak 2024 di seluruh daerah Indonesia.

Usulan KPU tersebut kemudian direspon positif oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah. Komisi II DPR dan Kementerian Dalam Negeri beserta Penyelenggara Pemilu menyepakati jadwal pemungutan suara pada 28 Februari 2024 untuk pemilu presiden dan pemilu legislatif serta pada 27 November 2024 untuk pilkada serentak. Belakangan, pilihan 28 Februari akan diubah karena bertepatan dengan Hari Raya Galungan.

Kapan pun jadwal pemungutan suara, sebaiknya juga mempertimbangkan tiga aspek. Pertama, aspek hukum. Kedua, aspek sistem politik. Ketiga, aspek manajemen teknis. Makin dalam dan terhubung pembahasan tiga aspek ini untuk penentuan jadwal pemilu, akan berbuah pada proses dan hasil pemilu yang lebih baik.

Masalah hukum

Pada aspek hukum, jadwal pemilu terkait dengan Putusan MK dan status undang-undang pemilu di Prolegnas 2020-2024. Dua hal saling terkait ini memberikan pengetahuan pada kita bahwa pergeseran jadwal pemilu yang diupayakan DPR dan Pemerintah dengan penyelenggara pemilu lebih bergantung pada dasar hukum yang lebih lemah, yaitu peraturan teknis KPU.

Menggeser jadwal pemilu tanpa merevisi undang-undang pemilu berarti memaksakan konstitusionalitas ketentuan jadwal pemilu dalam UU 7/2017. Padahal, DPR dan Pemerintah harus merevisi UU 7/2017 untuk merespon Putusan MK No 55/PUU-XVII/2019.

Pada putusan tersebut, MK menawarkan enam model keserentakan pemilu. Jadwal pemilu menjadi konstitusional ketika DPR dan Pemerintah sudah memilih model tersebut melalui revisi undang-undang pemilu atau melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).

Menggeser jadwal pemilu tanpa merevisi undang-undang pemilu pun berarti mengabaikan status undang-undang pemilu dalam Prolegnas 2020-2024. Status undang-undang pemilu masih jadi bagian Prolegnas 2020-2024. Undang-undang pemilu memang sudah dicabut dari UU Prioritas 2021 tapi masih jadi UU Prolegnas 2020-2024. Ini bisa bertentangan dengan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Masalah sistem politik

Pada aspek sistem politik, pergeseran jadwal sebaiknya mempertimbangkan tujuan perbaikan sistem politik Indonesia. Jadwal pemilu serentak harusnya memperbaiki sistem pemerintahan presidensial kita. Pergeseran jadwal ke Februari saja, tidak akan menghilangkan masalah sistem presidensial kita yang berhadapan dengan tinggi fragmentasi partai di DPR . Tetap menyatukan pemilu DPR, pemilu DPR provinsi, dan pemilu DPRD kabupaten/kota dengan prosporsional daftar terbuka serta jumlah kursi hingga 10/12 per dapil akan menghasilkan perolehan kursi yang merata di parlemen yang mencairkan ideologi partai sehingga cenderung koruptif.

Selain itu, jika aspek sistem politik ini merujuk UUD NRI 1945, akan mengganggu kualitas penerapan sistem presidensial Indonesia. Mengenai ketentuan periode jabatan lima tahun, ini telah pasti dimaknai berakhir pada bulan Oktober. Sehingga, lima tahun Periode Jokowi-Amin berakhir pada 20 Oktober 2024.

Jika jadwal pemungutan suara Pemilu Presiden 2024 menjadi Februari, jaraknya terlalu jauh dengan jadwal pelantikan presiden terpilih 2024. Politisasi isu hasil pemilu bahkan bisa mengarah menggagalkan hasil pemilu. Polarisasi massa pemuja/pembenci presiden terpilih akan terus dimainkan politisi dengan kepemilikan media massanya. Semuanya lebih mungkin terjadi, lengkap dengan hoax dan konflik yang bisa menjurus pada kekerasan.

Pemilu Serentak 2019 jadi contoh buruk yang baiknya tidak diulang. UU 7/2017 yang mempertahankan ambang batas pencalonan presiden 20/25 persen serta pengkondisian polariasi massa hanya menghasilkan dua pasangan calon presiden-wakil presiden. Akibatnya, dibanding pemilu presiden sebelumnya, jarak penetapan hasil pemilu presiden yang diserentakan dengan pemilu legislatif jadi lebih jauh dengan jadwal pelantikan presiden. Polarisasi massa dan hoax terus dimainkan politisi telah mengorbankan petugas dan pemilih karena pada akhirnya para elite yang bertarung malah menyatu dalam pemerintahan.

Masalah manajemen teknis

Pada aspek manajemen teknis, pergeseran jadwal pada Februari untuk pemilu presiden dan pemilu legislatif dan pada November untuk pilkada serentak, berarti mendekatan pemungutan suara pada fase musim hujan di Indonesia. Tantangan persiapan dan distribusi logistik akan lebih berat dilakukan di musim hujan.

Pemilu Indonesia, khususnya pemilu legislatif, sudah berpengalaman menetapkan pemilu pada musim panas. Ini menjadi faktor penting dalam perbaikan demokrasi Indonesia melalui penyelenggaraan pemilunya. Pergeseran jadwal pemungutan suara ke awal/akhir tahun mengubah pola manajemen teknis yang sudah menjadi kebiasaan penyelenggaraan pemilu nasional Indonesia pada musim panas.

Belakangan, pemahaman dan pengalaman soal musim itu tidak lebih dipertimbangkan dalam penjadwalan pilkada serentak. Klaim sukses lebih dikedepankan dengan banyak pengorbanan para petugas logistik dan TPS.

Semoga penggeseran jadwal pemilu yang dilakukan DPR dan Pemerintah serta penyelenggara pemilu nantinya, bukan sebagai tanda meremehkan pemilu. Kita tahu, Indonesia ini amat besar dan luas. Menyedihkan jika penyelenggara(an) negaranya malah berdasarkan kepentingan berkuasa semata atau sebatas menjalankan tugas. []

USEP HASAN SADIKIN