Maret 19, 2024
iden

TOPO SANTOSO | Perspektif Hukum Pidana Pemilu Indonesia

“Sanksi yang sangat berat adalah sanksi administrasi seperti pembatalan sebagai kandidat atau pembatalan hasil pemilu. Artinya apabila dua hal ini ditegakkan maka mungkin tidak diperlukan lagi sanksi pidana.”

Pernyataan itu dituliskan Topo Santoso dalam naskah pidatonya dalam Pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 2014. Jika kita meminta Profesor Hukum ini mengevaluasi dan memberikan masukan dalam regulasi pemilu, ia sering mengutarakan tentang kuatnya obsesi pemidanaan dalam undang-undang pemilu tapi tak berpengaruh pada pembatalan kepesertaan dan hasil pemilu.

Pidana pemilu merupakan salah bentuk pelanggaran dalam pemilihan pemerintahan demokrasi. Banyak kasusnya yang berhenti atau tak tuntas. Ini berbanding lurus dengan sangat sedikitnya orang yang mendalami pidana pemilu. Topo Santoso merupakan satu dari sedikit pakar hukum yang secara pengalaman dan pendidikan formal mengguleti pemilu, khususnya pidana pemilu.

Topo mulai masuk di dunia pemilu dengan menjadi Panitia Pengawas Pemilu 1999 Kabupaten Bogor. Lelaki kelahiran Wonogiri (Jawa Tengah) 5 Juli 1970 ini tak memperkirakan, menjadi langkah awal dosen hukum pidana Universitas Indonesia ini menempatkannya menjadi salah satu pakar pemilu di Indonesia. Di pemilu pertama setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru itu Topo mewakili unsur akademisi perguruan tinggi.

Pengalaman awal Topo pada Pemilu 1999 memberikan banyak kesan, khususnya tindak pidana pemilu. Di dalam pemilu semua pihak berlomba meraih kemenangan kursi. Ketika hukum belum dijalankan, semua pihak berlomba dengan berbagai cara. Mulai dari tingkat paling awal, kampanye, juga dalam pemungutan suara. Bentuknya bisa jual-beli suara atau pun pencurian suara. Sejumlah pelanggaran tersebut malah membuat Topo menyukai pemilu.

Ilmu hukum beserta gelar Sarjana Hukum dan Magister Hukum (MH) dari UI (1997-1999) menjadi potensi kuat bagi Topo terlibat di Pemilu 1999. Topo yang lulus MH dengan tesis “Studi tentang Hubungan Polisi dan Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana Sebelum dan Sesudah Berlakunya KUHAP” berpendapat, di dalam pemilu sering bertemu isu-isu koordinatif antar penegak hukum. Masalah koordinasi pun terjadi dalam pelanggaran pemilu.

Topo menjelaskan, ada perbedaan sudut pandang dari pengawas pemilu, kepolisian, kejaksaan dan hakim atau pengadilan dalam melihat pelanggaran. Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ini menjelaskan, pelanggaran yang diterima atau ditemukan pengawas pemilu akan dianalisis lalu jika memenuhi penilaian tindak pidana, harus diproses polisi. Di sini masalahnya muncul. Polisi sebagai penerima laporan, punya beberapa ukuran sendiri agar suatu kasus bisa diteruskan. Sehingga polisi menekan atau meminta pengawas pemilu segera melengkapi lagi. Padahal menurut pengawas pemilu, tugasnya sudah selesai. Menyidik adalah tugas polisi. Tapi polisi punya pandangan, pengawas pemilu yang seharusnya mengumpulkan bukti dan saksi sebagai pihak terdepan dalam pengawasan pemilu.

Permasalahan lain dalam pelanggaran pemilu adalah terbentur peraturan batas waktu pelaporan yang sangat singkat. Bila terlewati tiga hari tidak bisa diproses lagi. Banyak sekali perkara pidana pemilu yang seharusnya masuk pengadilan, berhenti.

Dari pengalamannya di Pemilu 1999, Topo merasa masih banyak yang harus dibenahi dari pemilu di Indonesia. Terlibat di bidang pemilu terus mendorongnya mendalami studi pemilu melalui ilmu hukum. Dipilihlah bahasan dan penelitian pemilu dalam studi doktoral (S3) di Malaysia (2001-2004). Judulnya “Settlement of Election Offenses in Four Southeast Asian Countries”.

Topo telah banyak menulis buku bidang hukum. Di antaranya: Kriminologi (co-author bersama Eva Achjani Z), Seksualitas dan Hukum Pidana, Polisi dan Jaksa: Keterpaduan atau Pergulatan?, Menggagas Hukum Pidana Islam, Membumikan Hukum Pidana Islam, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Mengawasi Pemilu, Mengawal Demokrasi (co-author bersama Didik Supriyanto), Menunggu Perubahan dari Balik Jeruji (co-editor bersama Hasril Hertanto), Pra-Penuntutan dan Perkembangan di Indonesia (co-author bersama Choky R. Ramadhan), Tindak Pidana Pemilu, Pemilu di Indonesia: Regulasi, Pelaksanaan dan Pengawasan (co-author bersama Ida Budhiati).

Berdasar studi perbandingan kepemiluan, Topo menyarankan agar Indonesia perlu belajar dari negara seperti Filipina juga Singapura dan Malaysia mengenai putusan pengadilan untuk pidana pemilu yang bisa dipakai sebagai dasar gugatan. Jadi, selain dipidanakan juga dibatalkan sebagai calon. Intinya, pidana dipakai sebagai dasar menggugat pihak lain di Mahkamah Konstitusi.

Topo yang pernah mengikuti kursus ilmu hukum di Brisbane Australia (1994), Academy of American and International Law di Texas (1995), dan di Harvard Law School AS (1996) menilai, secara mendasar Indonesia belum tahu bagaimana menggunakan hukum pidana pemilu atau tujuan dari menyelesaikan pelanggaran pemilu. Hukum pidana dijalankan, tetapi tidak ada implikasi terhadap pelaku. Pada gugatan sengketa pemilu di MK, sebagian besar seputar perselisihan hasil suara pemilu. Kemudian MK memperluasnya menjadi pelanggaran yang dilakukan masif, sistematis, dan terstruktur. Ini bisa membatalkan hasil pemilu.

Seharusnya putusan pengadilan untuk pidana pemilu juga bisa dipakai sebagai dasar gugatan. Undang-undang harus mengatur hal itu. Kenyataannya banyak orang menggugat adanya pelanggaran pidana pemilu. Tapi dalam persidangan, pasti ditanyakan hitung-hitungan suara bahwa dia kalah dari pihak yang diadukan, sehingga tak bisa dibuktikan.

Hal filosofis hukum pidana belum disertakan dalam undang-undang pemilu. Jadi, ada kebingungan ketika menyusun perbuatan apa saja yang dilarang dan diancam sanksi pidana. Padahal, tujuan penyelesaian pidana pemilu seharusnya untuk membatalkan calon atau hasil pemilu. Di Indonesia tujuan ini belum ditekankan. []

USEP HASAN SADIKIN

foto: @santosotopo70