November 15, 2024

Transparansi dan Akuntabilitas Partai Politik

Ketentuan-ketentuan hukum mengenai laporan keuangan partai politik (parpol) di Indonesia, mulai dirumuskan secara lebih jelas dalam Undang-undang No. 31/2002 tentang Partai Politik, dan kemudian UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, yang kini diubah menjadi UU No. 2/2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2/2008 tentang Partai Politik. Penguatan sistem dan kelembagaan parpol menjadi muatan pokok UU No. 2/2011, meliputi demokrasi internal, serta transparasi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan parpol.

Dalam UU tersebut diatur, parpol berhak memperoleh bantuan keuangan dari APBN/APBD sesuai peraturan perundang-undangan, dan berkewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan yang bersumber dari dana bantuan APBN/APBD secara berkala 1 (satu) tahun sekali kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pengolaan Keuangan Partai Politik juga diaudit setiap 1 (satu) tahun dan diumumkan secara periodik.

Ketentuan lain yang perlu diperhatikan adalah aturan dalam UU No. 2/2011 tentang Partai Politik yang memuat sanksi pidana bagi setiap orang atau perusahaan dan/atau badan usaha yang memberikan sumbangan kepada parpol melebihi ketentuan yang ada, yakni maksimal Rp. 1 milyar bagi perseorangan bukan anggota Parpol dan Rp. 7,5 milyar bagi perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 tahun anggaran.

Ketentuan selanjutnya dalam UU tersebut, pengurus parpol di setiap tingkatan organisasi harus menyusun laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan setelah tahun anggaran berakhir, dan hasil pemeriksaan laporan itu terbuka untuk diketahui masyarakat.

Sampai sekarang, publik belum mengetahui tentang bagaimana hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Keuangan Negara Kepada Parpol, karena memang tidak ada publikasi tentang hal itu. Sebagaimana diketahui, dalam Peraturan Pemerintah No. 83 tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 5/2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Parpol, mengatur ketentuan yang menegaskan bahwa bantuan keuangan yang diberikan kepada Partai Politik penghitungannya berdasarkan pada jumlah perolehan suara hasil Pemilu  DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Kemudian bantuan keuangan kepada Partai Politik digunakan sebagai dana penunjang kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat Partai Politik dan bantuan Keuangan kepada Partai Politik digunakan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat paling sedikit 60 % (enam puluh persen).

Menurut Catatan Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), yang dilansir awal Desember 2013 lalu, bahwa anggaran untuk bantuan parpol yang berasal dari APBN melalui Kementerian Dalam Negeri  sebesar Rp. 9,904 miliar pada tahun 2011, pada tahun 2012 sebesar Rp10,4 miliar, lalu di tahun 2013 sejumlah Rp10,9 miliar. Kemudian dalam satu periode (lima tahun), jumlah uang negara yang disalurkan  ke parpol mencapai Rp 1,4 triliun.

Sementara sumber data Litbang “Kompas” yang diolah dari data KPU dan Permendagri No. 24/2009, tanggal 29 Januari 2014, tentang Bantuan keuangan untuk Parpol di DPR dari APBN/APBD diberikan setiap tahun kepada parpol yang mendapatkan kursi di DPRD provinsi/kabupaten/kota sebesar Rp. 108 persatu suara, dengan rincian sebagai berikut:

Partai Demokrat (Perolehan kursi 148, perolehan suara 21.665.295, perolehan bantuan keuangan Rp. 2.338.771.860), Partai Golkar (perolehan kursi 106, perolehan suara 15.031.497, bantuan keuangan Rp. 1.623.401.676), PDI-P (perolehan kursi 94, perolehan suara 14.576.388, perolehan bantuan keuangan Rp. 1.574.249.676), PKS (perolehan kursi 57, perolehan suara 8.204.946, perolehan bantuan keuangan Rp. 886.134.168), PAN (perolehan kursi 46, perolehan suara 6.273.462, perolehan bantuan keuangan Rp. 667.553.869),

PPP (perolehan kursi 38, perolehan suara 5.544.332, perolehan bantuan keuangan Rp. 598.787.856), PKB (perolehan kursi 28, perolehan suara 5.146.302, perolehan bantuan keuangan Rp. 555.800.616), Partai Gerindra (perolehan kursi 26, perolehan suara 4.642.795, perolehan bantuan keuangan Rp. 501.421.860), Partai Hanura (perolehan suara 17,  perolehan suara 3.925.620, perolehan bantuan keuangan Rp. 423.966.960). Total jumlah dari perolehan bantuan keuangan untuk Parpol tersebut sebesar Rp. 9.180.068.976

Namun demikian, walau ada jatah parpol dari anggaran negara, masih saja oknum kader-kader parpol melakukan tindak pidana korupsi atau pencucian uang luar biasa besar. Akuntabilitas keuangan parpol di Indonesia yang rendah serta lemahnya pengawasan atas pelaksanaan ketentuan dalam UU Parpol, memperlihatkan transparansi sebagai asas kehidupan berdemokrasi belum melembaga dalam budaya politik nasional.

Salah satu titik rawan penyelenggaraan Pemilu 2014 adalah meningkatnya potensi pelanggaran aturan dana kampanye. Walaupun tentu saja mesin dan aktor politik yang berkompetisi memerlukan dana yang sangat besar untuk memastikan kemenangan.

Herbert E Alexander (Financing Politics, trans, 2003) mengemukakan terdapat 3 bentuk dasar pengaturan keuangan dalam politik, yaitu:

Pertama, keterbukaan publik (public disclosure) untuk memberikan berbagai informasi kepada publik, selama mau pun setelah kampanye tentang pengaruh uang terhadap pejabat-pejabat terpilih dan untuk membantu mengurangi ekses-eskes dan tindakan penyalahgunaan, dengan cara meningkatkan risiko-risiko politik yang harus ditanggung oleh mereka yang melakukan praktik-praktik seperti itu.

Kedua, pembatasan-pembatasan pengeluaran (expenditure limits)–untuk mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pembekakan biaya, dan oleh adanya beberapa kandidat  yang mempunyai lebih banyak uang dari yang lainnya.

Ketiga, pembatasan pemberian sumbangan (contributions restrictions)–untuk mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh adanya kandidat-kandidat yang mengikatkan diri pada kepentingan-kepentingan tertentu.

Dalam pemilu, hal  yang secara subtantif penting adalah derajat legitimasi politik sebagai “free and fair democratic elections” yang berpengaruh pada tingkat kepercayaan publik atas hasil-hasil pemilu, yang dengan sendirinya akan sangat rendah jika proses pemilihan umum penuh dengan pelanggaran aturan-aturan dana kampanye.

Awal Januari 2014, Abdullah Dahlan Koordinator Divisi Korupsi Politik dari Indonesia Corruption Watch (ICW), misalnya, menilai langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatur pelaporan dana kampanye partai politik peserta pemilu lewat Peraturan KPU (PKPU) No. 17/2013 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Peserta Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, belum menyentuh substansi. Oleh karena laporan dana kampanye hanya sebatas memenuhi syarat administrasi saja. Laporan dana kampanye parpol, hanya disebutkan nominalnya, tidak dari mana asal dana kampanye tersebut.

Dana kampanye parpol di Pemilu 2014 sekarang ini, sangat rawan dengan tindak pidana pencucian uang, sementara itu 12 pasal mengenai dana kampanye, ditambah 4 pasal tentang sanksi pidana pelanggaran dana kampanye legislatif dalam UU No.8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD sama sekali tidak akan mampu menjerat tindak pidana pencucian uang dan tidak cukup luas, rinci dan spesifik untuk menjadi dasar penegakan hukum atas berbagai bentuk penyimpangan. Bahkan perilaku koruptif  yang langsung atau tidak langsung berhubungan dengan pemberian dan penerimaan dana kampanye secara melawan hukum yang ditenggarai akan semakin meningkat, mengingat latar belakang kompleksitas kepentingan ekonomi dan politik dewasa ini.

Oleh karena itu, pencegahan dan penanggulangan tindak pidana pencucian uang dalam pemilu 2014 harus dilengkapi dengan implementasi UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang mendefinisikan secara luas konsep money laundering, transaksi keuangan mencurigakan, jenis-jenis harta kekayaan hasil tindak pidana, kewajiban penyedia jasa keuangan, serta tugas pokok dan fungsi Pusat Pelaporan serta Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), termasuk kerjasama internasional dalam masalah tindak pidana pencucian uang.

Adalah langkah maju bagi KPU untuk mengajak kerja sama dengan PPATK dalam mengawasi dana kampanye dan diharapkan ke depannya dapat membantu pelaporan dan audit dana kampanye Pemilu 2014. Ini mampu menekan kecenderungan pelanggaran aturan-aturan dana kampanye.

Akuntabilitas dan transparansi keuangan serta dana kampanye partai politik merupakan salah satu prinsip utama demokrasi prosedural yang harus dijalankan. Salah satunya dalam bentuk laporan dan audit keuangan partai politik dan dana kampanye. Ini dilakukan baik sebagai perwujudan transparasi kelembagaan maupun guna mencegah terjadinya korupsi politik pada Pemilu 2014. []

GIRINDRA SANDINO
Wakil Sekretaris Jenderal

Komite Independene Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia