Salah satu indikator negara demokratis ialah adanya Pemilihan Umum (Pemilu) yang bebas, Pemilu yang dilakukan sesuai dengan hati nurani, tanpa adanya paksaan dan tekanan dari pihak manapun. Pemilu merupakan manifestasi demokrasi tidak langsung yang dianut sebagian besar negara-negara modern termasuk Indonesia dengan menggunakan konstruksi sistem perwakilan (representative democracy).
Esensi penting di dalam sistem perwakilan adalah adanya sekelompok kecil orang yang memiliki peran besar di dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan-keputusan politik, dan sekelompok besar orang yang mewakilkan kepentingan-kepentingannya kepada sekelompok kecil orang tersebut. Proses mewakilkan itu dilakukan melalui Pemilu yang bebas dan adil. Sekelompok kecil itu disebut wakil (representative) yang mewakili, dan banyak orang yang diwakili (represented).
Pemilu bukanlah sekadar seremonial pelaksanaan tahapan semata dari awal hingga akhir. Namun, Pemilu sesungguhnya awal dari perwujudan kehendak rakyat yang telah dimandatkan kepada wakil-wakilnya. Melihat perkembangan dalam konteks kekinian, yang terjadi justru adalah proses-proses politik lebih cenderung bercorak elitis, yang terjadi kemudian adalah bahwa para wakil rakyat itu tampak lebih mengedepankan dirinya sebagai “trustees representationâ€.
Para wakil lebih cenderung bergerak sendiri-sendiri seolah-olah memperoleh kepercayaan penuh dari para pemilihnya. Konsekuensinya, para wakil itu kurang menunjukkan dirinya sebagai “delegates representationâ€, yaitu berusaha memperjuangkan terdapatnya kebijakan-kebijakan sebagaimana diinginkan oleh para konstituen.
Banyak faktor yang diyakini berperan hingga hal tersebut terjadi. Pertama, tidak berlangsungnya kaderisasi yang kuat di tubuh Partai Politik plus sistem multipartai yang dianut sehingga melahirkan kader-kader yang memiliki kekuatan popularitas dan finansial semata tanpa didukung kekuatan kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni. Kedua, kurangnya partisipasi publik untuk ikut berperan aktif mengawasi jalannya tahapan demi tahapan Pemilu, justru lebih fokus pada menunggu hasil akhir dari Pemilu itu sendiri.
Terhadap hal kedua tadi, juga dipengaruhi oleh minimnya kesadaran publik mengenai arti penting proses tahapan Pemilu itu sendiri. Publik belum memahami benar bahwa merekalah sesungguhnya subyek dari Pemilu itu, bukan sekadar obyek yang berkepentingan dengan beberapa menit berada di bilik suara sebagai implementasi hak kedaulatan di dalam negara. Publik seharusnya lebih memahami bahwa Pemilu hanyalah sebuah jalan menuju kepentingan hajat hidup yang lebih baik lima tahun ke depan.
Sebagai institusi negara, Pengawas Pemilu yang diberi mandat melalui undang-undang untuk melakukan pengawasan Pemilu secara formal sangat mengharapkan peran serta yang aktif dari publik untuk bersama-sama melakukan pengawasan Pemilu. Berkaca pada Pemilu-Pemilu sebelumnya, bentuk dan macam pelanggaran masih sering terjadi meskipun Pengawas Pemilu dan jajarannya telah berupaya semaksimal mungkin melakukan pengawasan melalui strategi preventive dan represive. Hal ini terjadi dikarenakan oleh dua faktor :
Pertama, kondisi subyektif yang dipengaruhi oleh minimnya jumlah Pengawas Pemilu di tiap jajaran dengan komposisi 5 orang Bawaslu RI, 3 orang masing-masing di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan serta 1 sampai dengan 5 orang pada tingkat desa/kelurahan, meskipun telah dibantu oleh jajaran sekretariat yang terbatas pada fasilitasi administrasi dan keuangan. Hal ini tentu saja tidak akan mampu mengakomodir persoalan-persoalan yang muncul di lapangan dengan banyaknya Partai Politik berikut calonnya yang bertarung dengan beragam kepentingan yang diusung.
Kedua, kondisi obyektif yang dipengaruhi luasnya wilayah dan persebaran populasi serta untuk beberapa kasus terkendala oleh kondisi geografis ekstrim yang memperlambat mobilitas Pengawas Pemilu untuk dapat menyelesaikan permasalahan, pemahaman publik terkait dengan eksistensi Pengawas Pemilu yang hingga kini masih diposisikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu kelas dua di bawah KPU, serta berdasarkan pengalaman penulis, mulai marak masyarakat yang menciptakan pasar terhadap praktik-praktik politik uang terutama pada tahapan masa kampanye dan masa tenang.
Sebagai lembaga formal, Pengawas Pemilu memiliki kewajiban untuk dapat mengantarkan Pemilu menuju wujud demokratis melalui proses yang berkualitas dan bermartabat, bebas dari praktik-praktik yang mencederai kemurnian hasil Pemilu. Hal ini dapat dicapai, tiada lain kecuali dengan menggugah kesadaran masyarakat serta membuka ruang keterlibatan langsung untuk dapat berpartisipasi melakukan pengawasan.
Penggugahan dapat disentuh melalui tiga hal. Pertama, sebagai kelompok besar yang mewakilkan/memandatkan pembuatan dan pelaksanaan keputusan-keputusan politis kepada kelompok kecil yang mewakili/diberi mandat, maka publik seharusnya sadar dan merasa berkepentingan dengan calon mandatarisnya dalam bentuk korelasi yang positif.
Kedua, korelasi positif tentunya berbasis pada pengetahuan track record dan pemahaman terhadap kemampuan calon tanpa paksaan maupun imbalan dalam bentuk apapun dan tidak dipengarui oleh hubungan kekerabatan dan kedekatan. Ketiga, setelah menemu-kenali calon yang dianggap layak, tinggal bagaimana menjaga kemurnian posisi tawar si calon agar tidak tercemari oleh perilaku peserta lain maupun oleh penyelenggara dengan proaktif melakukan pengawasan sepanjang tahapan.
Dengan hal tersebut di atas, Pengawas Pemilu diharapkan mampu menjadi jembatan antara pengawasan formal kelembagaan di masa kini dengan pengawasan partisipatif di masa datang. Diharapkan lini-lini kekurangan yang dimiliki dari sisi subyektif dan obyektif dapat tertutupi.
Aspek lain yang tentu saja diharapkan dapat mewujudkan derajat demokrasi yang lebih baik melalui pengawasan partisipatif adalah terbangunnya pola relasi yang lebih kuat antara wakil dengan terwakil pasca Pemilu. Akuntabilitas wakil tentu dapat ditunjukkan dengan berusaha memperjuangkan kepentingan dan berupaya menyelesaikan permasalahan melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat bersama-sama pemerintah. Para wakil juga bisa menyalurkan jalan pemecahannya melalui institusi-institusi yang terkait langsung dengan permasalahan yang dihadapi publik sebagai terwakil.
Dengan pengawasan partisipatif, para wakil tentu akan lebih rensponsif terhadap isu-isu yang berkembang di daerahnya masing-masing, lebih banyak mendengar, mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan terwakil yang diwaklinya. Secara politik, para wakil dikatakan akuntabel ketika terwakil memberi hadiah untuk mewakilinya kembali sebagai wakil pada Pemilu berikutnya. []
MUHAMMAD YUNUS
Anggota Bawaslu Provinsi Sulawesi Barat