Rapat Tim Kerja Bersama Pemilu dan Pilkada 2024 pada 24 Mei 2021 sedikit banyak menyadarkan kita bahwa ada kebutuhan mengubah undang-undang pemilu. Bisa dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) seperti halnya yang disinggung salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakat (DPR) dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, atau bisa juga melalui rancangan baru di DPR. Masih teringat pernyataan sebagian aktor pembentuk undang-undang menyampaikan keinginannya untuk tidak sering-sering mengubah undang-undang pemilu. Kenyataannya memang, terdapat urgensi yang mendorong DPR dan Pemerintah merevisi undang-undang pemilu.
Secara kronologis, revisi undang-undang pemilu tidak lepas dari beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi. Di antaranya Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013. Putusan ini memberikan konsekuensi munculnya gagasan pemilu serentak. Ditindaklanjuti dalam UU 7/2017, titah MK mengenai pemilu serentak bisa dilaksanakan pada 2019.
Sayangnya, penyelenggaraan pemilu serentak pertama itu telah memberikan dampak terhadap para petugas penyelenggara pemilu. KPU mencatat per 7 Mei 2019, sebanyak 440 petugas meninggal dunia serta 3668 petugas lainnya jatuh sakit. Timbulnya korban jiwa dan jatuh sakitnya para petugas disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya faktor kelelahan. Petugas secara teknis melaksanakan pemilu presiden-wakil presiden, pemilu DPR, pemilu Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, dan pemilu DPRD kabupaten/kota, secara bersamaan pada satu hari pemungutan suara.
Beban kerja tersebut tentu tidak sebanding dengan kemampuan para petugas. Akibtanya para petugas menjadi korban dari jatuh sakit hingga sampai merenggut nyawa. Merujuk Global Commision on Elections, Democracy and Security, Pemilu 2019 tidak dapat dikatakan sepenuhnya sesuai hak asasi manusi dan integritas. UU 7/2017 sebagai dasar hukum Pemilu 2019 hanya terfokus pada layanan hak pilih bagi pemilih dan hak dipilih peserta pemilu. Makna hak asasi manusia dalam undang-undang pemilu tidak melekat bagi penyelenggara pemilu, khususnya petugas lapangan.
Penulis mengapresiasi inisiasi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang mengajukan permohonan judicial review tentang desain dan jadwal penyelenggaraan pemilu serentak. Perludem mempermasalahkan desain lima kotak pemilu serentak dan merekomendasikan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah. Pemilu serentak nasional adalah penyerentakan pemilu presiden, pemilu DPR, dan pemilu DPD pada satu hari pemungutan suara. Sedangkan pemilu serentak daerah adalah penyerentakan pilkada provinsi dengan pemilu DPRD, lalu pemilu DPR, dan pemilu DPD pada satu hari pemungutan suara.
Perludem mempermasalahkan desain lima kotak pemilu serentak dan merekomendasikan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah. Pemilu serentak nasional adalah penyerentakan pemilu presiden, pemilu DPR, dan pemilu DPD pada satu hari pemungutan suara. Pemilu serentak daerah adalah penyerentakan pilkada provinsi dengan pemilu DPRD provinsi serta pilkada kabupaten/kota dengan pemilu DPRD kabupaten/kota.
Dalam amar putusannya permohonan tersebut ditolak untuk seluruhnya. Dalam pertimbangan hakim telah diberikan enam model yang dapat dan dinilai konstitusional terhadap UUD NRI Tahun 1945 untuk dijadikan pilihan dalam penyelenggaraan pemilu serentak.
Putusan ini penting dicermati menyertakan UU 10/2016. Pasal 201 ayat (8) menghendaki pemungutan suara serentak nasional bagi kepala daerah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia akan dilaksanakan pada November 2024. Bayangkan, betapa semakin beratnya beban kerja penyelenggara pemilu. Dalam satu tahun, ada semua pemilu: pemilu presiden-wakil presiden, pemilu DPR, pemilu DPD, pilkada provinsi, pemilu DPRD provinsi, pilkada kabupaten/kota, dan pemilu DPRD kabupaten/kota.
Jika desain penjadwalan pemilu dibiarkan seperti itu, seakan kita tidak berkaca buruknya penyelenggaran Pemilu 2019 yang berdampak pada korban jiwa. Pada hakikatnya penulis mengharapkan Pemerintah dan DPR dapat mencermati kenyataan, permasalahan, dan kebutuhan dalam penyelenggaran pemilu serentak. Sehingga, Pemerintah dan DPR punya penjelasan utuh mengenai urgensi revisi UU Pemilu untuk merespon Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 dalam menentukan model pemilu serentak menyertakan pengalaman Pemilu 2019.
Revisi UU Pemilu memang masih terbuka sebagai penyikapan Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019. Setidaknya dalam menemukan model pemilu serentak yang paling ideal. Tapi, RUU Pemilu pun kita sadara secara das sein (kenyataan) yang menghendaki bahwa hukum adalah produk politik yang terbentuk dari proses formulasi yang berasal dari kompromi dan kehendak-kehendak politik. Jangan sampai revisi UU Pemilu kurang atau bahkan mengabaikan ketentuan dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sehingga menjadi cacat formil. Potensi ini bertambah jika pemilu yang membutuhkan persiapan panjang undang-undangnya dibuat dalam waktu yang pendek dan terbatas.
Penulis mengkhawatirkan urgensi yang dijadikan dasar Pemerintah dan DPR dalam revisi UU Pemilu. Sebagai produk politik yang langsung berdampak pada partai politik dan pejabat politik di pemerintahan, RUU Pemilu biasa sebagai manifestasi kompromi kelompok-kelompok politik kekuasaan. RUU Pemilu menjadi alat bagi para kelompok politik dominan untuk melanggengkan kekuasaannya.
Segala kemungkinan masih dapat terjadi. Kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam revisi UU Pemilu harus terus diperluas. Urgensi UU Pemilu penting dikawal sepanjang proses perumusannya hingga perwujudannya dalam pasal-pasal dan implementasinya. dapat menjawab permasalahan dan kebutuhan terhadap penyelenggaraan pemilihan umum. []
RAHMAT BIJAK SETIAWAN SAPII
Mahasiswa Fakultas Hukum UPN Veteran Jakarta