Menanggapi penggunaan UU ITE di Pemilu 2024 yang berdampak pada kriminalisasi terhadap lawan politik, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, menilai hal tersebut terjadi lantaran tidak adanya oposisi yang kuat. Gabungan koalisi pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo tak hanya partai-partai politik, namun juga organisasi-organisasi masyarakat. Hal ini menyebabkan tak adanya kontrol terhadap kekuasaan.
“Hari ini memang sudah tidak ada lagi check and balances. Hampir tidak ada oposisi. 2019, 2024, partai sudah bergabung dalam koalisi besar. Bahkan, tidak hanya koalisi partai, tetapi juga berkoalisi dengan unsur-unsur non partai politik, misalnya organisasi keagamaan, ormas, yang semuanya ditarik menjadi bagian pemerintahan. Jadi, oposisinya hanya masyarakat sipil,” urai Khoirunnisa, pada diskusi yang sama.
Ia menambahkan, kriminalisasi melalui UU ITE menjadi salah satu cara untuk memenangkan kompetisi. Ninis meyakini cara yang sama akan digunakan pada Pilkada Serentak 2024. Koalisi besar di nasional akan menciptakan kompetisi sengit serupa di level daerah.
“Apa yang terjadi di Pemilu 2024 akan terjadi lagi di Pilkada. Apalagi pilkada isunya sangat lokal. Koalisi di daerah mungkin akan mirip juga dengan koalisi di nasional. Sudah terlihat ingin meng-grab daerah sehingga ada calon tunggal,” ujar Khoirunnisa.
Selain pelanggaran kebebasan berekspresi melalui kriminalisasi UU ITE, Safenet juga menemukan pelanggaran dalam moderasi konten. Peraturan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) No.5/2020 memuat indikator multitafsir dalam memoderasi konten, yakni melanggar ketentuan perundang-undangan, meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum, dan memberitahu cara atau menyediakan informasi elektronik yang dilarang.
“Jadi, tidak jelas indikator meresahkan masyarakat. Akibatnya, ini digunakan untuk kepentingan pemerintah saja,” pungkas Balqis. []