Usia Veri Junaidi setengah dari hidup Indonesia, tapi ia punya banyak cita. Salah satunya, lelaki kelahiran Malang 10 November 1984 ini tak henti-hentinya bermimpi, Pemilu Indonesia ada banyak calon presiden muda. Ia jengah orang-orang tua. Terutama yang memberi janji pembaharuan padahal bagian dari kuasa Orde Baru.
Yang membedakan banyak dari kita dengan Veri, ia melembagakan mimpi demokrasi itu. Dirinya tak sabar diam atau menunggu. Karena ini, ia membuat Nyari Presiden 2024 (Nyapres2024). Inisiatif ini menyambung kegelisahannya, saat kita sudah memandang perbaikan kepemimpinan Pemilu 2014 tanpa petahana, tapi dihadang elite kuasa dengan pembatasan dua calon.
Veri jadi pembeda berbagai penjelasan yang menekankan pada kerangka hukum. Soal copras capres muda, Indonesia masih menguncinya. Mulai dari konstitusi yang menutup calon independen. Ada ambang batas pencalonan dalam undang-undang. Juga kualitas buruk partai.
Veri bukan tak tahu itu semua. Sebagai Master Hukum Tata Negara lulusan Universitas Indonesia, Veri sangat memahaminya. Ia terus mengingatkan bahwa hidup di demokrasi bukan soal institusi negara saja, melainkan juga partisipasi warga. Elite kuasa memang membatasi hak-hak warga tapi seiring ini, kognitif massa belum berdaya melawan dengan gagasan dan variasi pencalonan.
Mumpung masih ada usia. Optimalkan cita, asa, semangat, tenaga, dan waktu yang ada. Bagi Veri, orang muda punya banyak keunggulan tapi memang bukan uang. Jika kita punya ide tentang sesuatu, langsung wujudkan. Jika memang relevan dan disetujui banyak orang, dukungan dan perubahan pasti datang. Jika bertepuk sebelah tangan, kita bisa cepat punya bukti untuk tak mengulang.
Pertama, yang banyak kita tahu, bersama Risfa “Netha” Neltasia, Veri membuat Rantau English Club (REC). Veri dan istrinya berpemahaman, pendidikan di Indonesia, khususnya akses belajar Bahasa Inggris, belum merata. Akses makin menghambat ditambah bagi anak-anak kurang mampu. Institusi kultural inisiatif masyarakat ini jadi oase di padang pasir pendidikan.
Ada dalam kesadaran pendidikan belum merata, Veri berpemahaman isu “pemilu” masih elitis di Indonesia. Bersama teman-temannya di isu kepemiluan, ia membuat “Savedemokrasi”. Menurutnya, pemilu yang punya kompleksitas konsep banyak dipahami orang sebagai hal yang teknis dan sederhana. Lebih baik jika kita menjelaskan pemilu dengan istilah-istilah demokrasi yang sudah lebih dipahami.
Beberapa tahun sebelum Pemilu 2014, Veri terobsesi dengan istilah “Wikicaleg”. Ia begitu menggebu-gebu menyambut antusiasme positif masyarakat sipil dalam pesta demokrasi ketiga pasca-Reformasi. Menurutnya, pemilih butuh platform seperti Wikicaleg yang menginstitusikan pengetahuan memilih.
“Coba bandingkan deh dengan Pemilu 2009. Kampanyenya negatif. ‘Jangan Pilih Politisi/Partai Busuk!’ atau ‘Jangan Pilih Pelaku Poligami!’. Pemilu 2014 kampanyenya positif. ‘Pilih yang Bersih!’ atau ‘Pilih yang Jujur!’ lalu ada ‘Ayo Vote!’,” begitu Veri menggambarkan.
Sebagai deputi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Veri melawan kampanye negatif dari “Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya!” dengan “Jangan Ambil Uangnya!” karena masih banyak caleg lain yang bersih. Bisa dibilang, ini merupakan salah satu kegiatan awal Perludem saat dirintis sebagai yayasan bersama Titi Anggraini. Partisipasi pemilih menggunakan haknya amat penting seiring dengan pentingnya menjaga kualitas pemilih dengan melawan politik uang. Sambutan politik uang oleh rakyat bersenyawa dengan politisi korup sehingga melanjutkan pemerintahan rentan korupsi.
Seiring itu, Veri bersemangat dengan institusi pengawasan pemilu. Menurutnya, masyarakat sipil harus terus berpartisipasi memantau pemilu meski negara melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah menanganinya. Bersama Perludem ia membuat Paralegal Pemilu dan bekerjasama dengan I-Lab membuat Matamassa. Paralegal Pemilu merupakan edukasi pemiluan yang lulusannya berpartisipasi dalam pelaporan dan pendampingan hukum pelanggaran pemilu. Sedangkan Matamassa merupakan platform digital pelaporan pelanggaran pemilu partisipatif.
Berhenti aktif di Perludem lalu mendirikan Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif, Veri punya evaluasi bagi institusi NGO. Menurutnya, NGO, khususnya bidang pemilu dan demokrasi, amat sulit bertahan jika hanya bergantung pada pendanaan donor internasional. Harus ada cara-cara lain, bahkan di luar dari donasi. Ia cerminan evaluasi ini dengan solusi konkretnya dengan membuat firma hukum.
“Saat dari kita punya pandangan hitam putih memisahkan peran riset keilmuwan advokatif NGO dengan peran beracara di persidangan, Veri melakukannya secara bersamaan,” ujar akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti dalam temu daring mengenang Veri Junaidi (3/7) yang diselenggarakan para sahabat.
Tak cukup di situ, Veri pun menggabungkan riset advokatif NGO dan firma hukum dengan bisnis warung kopi. Kopi Independen, Kopi Koalisi Solid, Kopi Koalisi Terbuka, Kopi Koalisi Cair, Kopi Conteng, Kopi Coklit, Kopi Ingat Sesuatu (baca: Melawan Lupa), merupakan wujud persenyawaan aktivisme dengan wirausaha.
“Mampir!” kita akan disambut Veri saat melewati Kantor Kode Inisiatif yang menyatu dengan Kedai Inisiatif Coffee. Dilematis untuk mengiyakan/menolak-nya. Kita akan mendapat obrolan seru dan bersemangat tentang demokrasi Indonesia atau malah tenggelam hingga larut malam, terlambat pulang.
Yang juga diketahui kita adalah mahar perkawinan Netha-Veri dalam bentuk buku. Banyak pemikir atau pegiat punya obsesi ini. Ia mewujudkannya dalam tajuk “Mahkamah Konstitusi Bukan Mahkamah Kalkulator”. Ini tanda keyakinan dirinya bahwa kepedulian publik penting di-install dalam institusi privat bernama keluarga.
3 Juli 2021 Veri mengingatkan kita dan dirinya, sekaligus. Keadilan dalam Penjaga Konstitusi Demokrasi tak bisa dikalkulasi dengan alat hitung matematis. Pun begitu dengan usia dan mimpi Veri.
Selamat jalan, Veri Junaidi. Segala citamu untuk demokrasi akan dilanjutkan para buah hati dan anak-anak Reformasi. []
USEP HASAN SADIKIN
Foto: Ruang Bedah Kasus (Veri Junaidi YouTube Channel)