August 8, 2024

0% VS Efektivitas Sistem Presidensial

Ambang batas pencalonan presiden kembali menjadi perbincangan hangat. Perdebatannya mendominasi media dari mulai stasiun TV nasional hingga media online, para pakar, pengamat politik bahkan politisi. Masing-masing mengemukakan pendapat disertai argumentasinya mengenai angka yang cocok untuk diterapkan pada syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.

Para pendukung ambang batas pencalonan 0% telah beberapa kali mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. Ketentuan yang digugat adalah Pasal 222 UU 7/2017 yang menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 2O% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen)dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.

Namun beberapa kali MK menolak permohonan tersebut. MK berargumen hukum, ambang batas pencalonan presiden merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Artinya, yang bisa mengajukan ambang batas 0% hanyalah pembentuk undang-undang yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan atau Presiden. MK pun berpendapat, pasal tentang ambang batas pencalonan merupakan open legal policy yang bisa diubah kapan saja oleh para pembuat undang-undang.

Ambang batas pencalonan memang menjadi perhatian para pengamat politik dan ketatanegaraan. Harapan ambang batas pencalonan 0% bukan tanpa rujukan penerapan negara lain. Di Amerika Serikat dan Prancis, tidak ada ambang batas pencalonan presiden seperti di Indonesia. Bahkan, di Amerika Serikat ada pencalonan presiden dari jalur independen nonpartai politik.

Namun, apakah ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 0% cocok untuk diterapkan di Indonesia? Apakah ini dapat menambah efektivitas pemerintahan dan memperkuat sistem presidensial di republik ini?

Jika kita komparasi sistem presidensial dan format pemilu, penerapan di Indonesia berbeda dengan di Amerika Serikat. Meskipun sistem pemerintahan Amerika Serikat adalah presidensial murni, namun presiden AS tidaklah dipilih langsung, melainkan dipilih oleh perwakilan yang disebut electoral college yang dipilih dengan menggunakan sistem First Past the Post (FPTP) yakni peraih suara terbanyak langsung ditetapkan menjadi pemenang (IDEA, Desain Sistem Pemilu: 33). Selain itu format pemilu legislatif AS juga menggunakan sistem mayoritarian FPTP yang memungkinkan penyederhanaan sistem kepartaian menjadi sistem dua partai dominan. Sistem dua partai yang ditopang oleh sistem pemilu mayoritarian seperti di AS dianggap lebih mampu menciptakan pemerintahan efektif (Didik Supriyanto, Demokrasi dan Pemilu: 216).

Berbeda dengan di Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial namun menggunakan sistem multipartai dengan sistem pemilu proporsional representatif (PR). Sistem ini memungkinkan hasil pemilu tidak ada partai yang menjadi mayoritas tunggal sehingga untuk membentuk pemerintahan efektif, partai pemenang pemilu harus membangun koalisi ketika mencalonkan presiden dan wakil presiden. Koalisi ini bukan hanya untuk sekedar memenuhi syarat ambang batas 20% jumlah kursi DPR, tapi juga agar ketika pasangan calon tersebut berhasil memenangkan pemilu mendapatkan dukungan mayoritas di DPR untuk menghindari pemerintahan terbelah (divided government).

Sistem presidensial Indonesia pun berbeda dengan Prancis. Prancis menganut sistem pemerintahan semi-presidensial, di mana presiden memang dipilih secara langsung oleh rakyat dengan popular vote, namun Prancis juga memiliki perdana menteri yang dipilih oleh parlemen tetapi juga bertanggung jawab kepada presiden. Sistem ini memungkinkan check and balancing antar lembaga pemerintahan yang membuat jalannya pemerintahan bisa efektif. Di satu sisi presiden memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih langsung oleh rakyat.  Di sisi lain juga kepentingan mayoritas parlemen merasa telah terwakili dengan adanya perdana menteri yang mereka pilih.

Selain itu, Prancis juga menggunakan format pemilu yang memungkinkan penguatan sistem presidensial. Presiden dipilih sekitar 1 bulan sebelum pemilu legislatif yang berdampak efek ekor jas. Pengaruh kemenangan presiden terpilih masih terasa pada pemilihan anggota parlemen, sehingga pemerintahan presiden terpilih bisa memiliki dukungan mayoritas parlemen. Situasi tersebut diperkuat oleh sistem pemilu Prancis yang menggunakan Two Round System yang membuka peluang bagi kandidat dari partai presiden terpilih mendapat dukungan besar dari pemilih.

Kondisi berbeda terjadi pada sistem dan format pemilu di Indonesia, dengan sistem PR Terbuka. Dukungan pemilih untuk calon anggota legislatif cenderung lebih merata ke berbagai partai politik karena terbentuk pola kandidat sentris dan rendahnya party-ID sehingga sulit terbentuk mayoritas tunggal pada hasil pemilu di Indonesia. Ini ditambah dengan format pemilu serentak yang menggabungkan pemilu presiden dan pemilu legislatif di hari yang sama, membuat coattail effect tidak begitu terasa.

Ambang batas pencalonan nol persen memang sangat baik bagi demokrasi. Ini memberikan kesempatan yang luas bagi warga negara yang potensial untuk dapat berkompetisi menjadi calon presiden dan wakil presiden serta memberikan banyak pilihan kepada masyarakat untuk memilih calon presiden dan wakil presiden alternative. Namun, jika ambang batas pencalonan 0% dipadankan dengan sistem pemilu dan format pemilu yang tidak tepat maka menurut beberapa pakar bisa menyebabkan instabilitas pemerintahan karena bisa menjadi sebab pemerintahan terbelah atau pemerintahan minoritas yang bisa menyebabkan instabilitas pemerintahan atau bahkan menjurus ke instabilitas politik.

Ambang batas pencalonan presiden 0% sepertinya lebih cocok jika dijadikan padanan untuk sistem pemilu mayoritarian, terutama varian first past the post dan two round system. Pilihan sistem ini terbukti berhasil membentuk mayoritas tunggal di parlemen dan efektivitas pemerintahan presidensial setidaknya pada dua negara demokrasi mapan seperti di Amerika Serikat dan Prancis.

Sebaliknya, ambang batas pencalonan presiden dengan besaran 20% seperti di Indonesia memungkinkan terbentuknya efektivitas sistem presidensial. Presidensial Indonesia menjadi terjaga karena partai politik terkondisikan untuk berkoalisi pada awal atau prapemilu agar dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang pemilu. Selain ini, besaran 20% pun bertujuan untuk lebih memungkinkan pembentukan koalisi mayoritas pendukung presiden di DPR, sehingga tidak terjadi pemerintahan terbelah.

Jika dipaksakan pada sistem pemilu proporsional daftar terbuka dan sistem multipartai seperti di negara kita, ambang batas 0% pada kandidasi presiden bisa saja akan menjadi penyebab “politik dagang sapi” dan “politik belah bambu” bagi partai oposisi pascapemilu jika presiden dan wakil presiden terpilih berasal dari partai minoritas dan justru akan melemahkan sistem presidensial di republik ini. []

MUAMAR KADAFI

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kepulauan Seribu

2 comments

  1. Avatar

    Perubahan Sistem harus di realisasikan kepada Seluruh masyarakat .agar dpt di pahami oleh lapisan seluruh masyarakat Indonesia di manapun mereka berada tentang sistem pemilihan presiden . Demokrasi Indonesia LUBER Apakah sistem ini bisa di terapkan.

    Bagaimana KPU Menyikapi hal ini pro dan kontra pasti
    Tetap semangat untuk Indonesia Bangkit menuju Bahagia

  2. Avatar

    Sangat bermanfaat…teruskan menulis utk memberikan pemahaman dan wawasan bagi masyarakat agar terciptanya masyarakat sebagai pemilih yang cerdas dalam pemilu.