Tahun 2014, dengan suksesnya pemilu legislatif dan pemilu presiden, cukup menggembirakan bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Harapan pemilu merekayasa penciptaan pemerintahan dengangovernability yang baik di sistem presidensial multipartai khas Indonesia (pelan-pelan) menguat.
Suksesnya penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilihan presiden jadi highlight atas event politik di 2014. Sistem presidensial, yang menyertakan pemilihan presiden langsung oleh rakyat, semakin matang. KPU memegang peran sentral dengan terobosan-terobosan yang berkait dengan transparansi dan akuntabilitas—barang langka yang selama pilpres lalu belum terlalu mencuat.
Keputusan Mahkamah Konstitusi mengubah pelaksanaan pemilu, yang sebelumnya terpisah antara pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) menjadi pemilihan serentak, juga membawa angin segar bagi presidensialisme. Ini mendorong tersusunnya pemerintahan untuk bekerja secara efektif—eksekutif didukung partai mayoritas di legislatif.
Di tahun ini juga presidensialisme mendapat tantangan. Hasil pemilu mencipta divided government—presiden tak didukung mayoritas partai di parlemen. Di September, rancangan undang-undang pemilihan kepala daerah yang menyertakan mekanisme pemilihan oleh DPRD disahkan. Meski Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perppu, konsolidasi siklus pemilu nasional-daerah masih belum padu. Perppu menitah pilkada dilaksanakan di 2015 dan 2018—waktu yang tak ideal bagi siklus pemilu ke depan.
Meski pelan-pelan, peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan pemilu dan demokrasi cukup memberi harapan bagi konsolidasi sistem dan penyelenggaraan pemilu legislatif dan eksekutif sebagai faktor determinan yang menghasilkan pemerintah efektif di sistem presidensial multi partai.
23 Januari 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan segar bagi perjalanan pemilu dan demokrasi di Indonesia. MK mengubah pelaksanaan pemilu, yang sebelumnya terpisah antara pemilu legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres), menjadi pemilihan serentak. Pemilu serentak, yang sohor dengan sebutan pemilu lima kotak ini, diputus MK atas pertimbangan rancang bangun sistem pemerintahan menurut UUD 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial.
Menyatukan pemilu eksekutif dan legislatif mendorong “efek menarik kerah†(coattail effect). Jika pemilih disodorkan surat suara pilihan presiden dan surat suara pilihan partai, maka pemilih cenderung memilih partai yang mencalonkan presiden yang disukai pemilih. Ini mendorong kemajuan bagi tata negara Indonesia karena menguatkan desain presidensialisme yang mendorong tersusunnya pemerintahan untuk bekerja secara efektif—eksekutif didukung partai mayoritas di legislatif.
9 April 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melewati tes pertama pelaksanaan pemilu sebagai praktik demokrasi yang matang. KPU sukses menyelenggarakan pemilu legislatif dengan pujian atas pengorganisasian hari pemilihan yang baik.
Yang tak bisa dilewatkan dari kerja KPU adalah keterbukaan pada tahapan-tahapan penyelenggaraan. Upaya KPU menerapkan laporan dana kampanye partai dan mendorong partai mengkoordinir laporan dana kampanye calon legislator menjadi salah satu terobosan. Melalui peraturan KPU, penerapan laporan dana kampanye melahirkan kesadaran transparansi pemilu Indonesia.
KPU juga mengunggah data pemilih ke dalam Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) untuk menjadi data nasional yang digunakan dalam Pemilu 2014. Langkah KPU merekam dan mempublikasikan daftar pemilih, tak sekedar angka, tapi menyertakan nama dan provinsi adalah proyek terobosan yang sebelumnya tak dilakukan.
9 Juli 2014, pemilihan presiden mempertarungkan dua kandidat: Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Tak hanya mencoblos, masyarakat juga diimbau untuk turut mengawal proses penghitungan suara.
Hasil penghitungan suara di TPS, yang dituangkan dalam formulir C1, dipindai dan hasilnya menjadi arsip digital yang bisa dilihat publik melalui web KPU. Ini memunculkan konsekuensi partisipasi anak muda melalui media sosial dan dunia digital. Muncul kawalpemilu.org dan laman “C1 yang aneh†sebagai media pengawalan hasil pilpres.
21 Agustus 2014, MK, secara konstitusional, mengukuhkan kemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia 2014—2019. Sidang MK menolak seluruh permohonan yang diajukan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Dalil-dalil yang diajukan tim Prabowo-Hatta, baik mengenai kesalahan rekapitulasi suara oleh KPU maupun pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif, sama sekali tak terbukti.
MK juga menyatakan tak dapat menerima dalil tentang adanya penggunaan daftar pemilih tambahan (DPTb) dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) sebagai sarana untuk memobilisasi pemilih. Â Setelah MK mencermati, dikaitkan perolehan hasil, tidak terdapat DPKTb yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon
DPTb, DPK, dan DPKTb harus dinilai sebagai implementasi dalam rangka memenuhi hak konstitusional warga negara untuk memilih. DPTb, DPK, dan DPKTb itu tidak bertentangan dengan hukum dan konstitusi, karena dinilai telah memberikan ruang bagi pemilih yang memenuhi syarat tapi tidak terdaftar dalam DPT.
26 September 2014, dini hari itu, rancangan undang-undang pemilihan kepala daerah yang menyertakan mekanisme pemilihan oleh DPRD disahkan. Voting Sidang Paripurna DPR RI tentang RUU Pilkada menghasilkan 135 memilih pilkada langsung dan 226 memilih pilkada tak langsung. Yang tak bisa terlupa, Fraksi Partai Demokrat melakukan aksi walkout dalam sidang itu setelah merasa usulan pilihan pilkada langsung dengan sepuluh perbaikan tak diakomodasi.
Pengesahan ini perlu dimaknai sebagai pelemahan atas tata negara Indonesia. Evolusi presidensialisme multipartai bersistem pemilu proporsional seharusnya didukung dengan Pemilu yang lekat dengan sistem pemerintahan presidensial: presiden tak dipilih parlemen, melainkan rakyat. Presidensialisme menemui tantangan.
1 Oktober 2014, perseteruan sejak hari pertama. Anggota DPR dan DPD hasil pemilu legislatif dilantik dan diambil sumpahnya di Gedung DPR-MPR, Senayan. Setelah itu, sidang dilanjutkan dengan agenda memilih pimpinan DPR RI. Penguasaan Koalisi Merah Putih terhadap pimpinan DPR RI menjadi poros seteru pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Praktik presidensialisme lagi-lagi menemui tantangan. Divided government mencipta keadaan, yang disebut Eep Saefulloh Fatah, dilema presidensialisme: memelihara dukungan politik dari politisi dan partai atau mengefektifkan manajemen pemerintahan dan kebijakan. Tentu saja, formula terbaik dari penyelesaian dilema itu adalah terpeliharanya dukungan politik dan tercapainya efektivitas manajemen pemerintahan dan kebijakan. Namun, praktik politik di berbagai negara lain serta kenyataan politik di Indonesia, memperlihatkan bahwa win-win solution semacam itu sungguh tak mudah dicapai. Ada semacam rumus trade-off di antara keduanya. Yang satu sukses dengan kegagalan yang lain sebagai bayarannya.
Kedudukan presiden yang bisa jadi lemah berhadapan dengan politik parlemen, dibaca Rocky Gerung, semata-mata soal kekurangan keahlian politik presiden. Sistem presidensial mengandalkan legitimasi langsung kekuasaan presiden pada hasil pemilu. Filosofinya adalah bahwa hanya pemilu yang dapat membatalkan kekuasaan presiden. Deretan hak yang dimiliki DPR, sejauh-jauhnya ia ditafsirkan, tidak dapat melebihi mandat langsung yang diterima presiden dari rakyat. Dalam sistem presidensial, yang sungguh-sungguh merupakan wakil rakyat bukan anggota DPR, melainkan presiden. Soalnya adalah apakah presiden memahami privilese politik itu dan memanfaatkannya untuk penguatan kebudayaan politik kita.
2 Oktober 2014, Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang guna mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung. Perppu yang diterbitkan adalah Perppu No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur dan Bupati/Wali Kota, serta Perppu No 2/2014 tentang Perubahan UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Penerbitan Perppu No 1/2014 itu sekaligus mencabut UU No 22/2014 tentang Pilkada yang diputuskan DPR pada 26 September yang mengatur pilkada oleh DPRD. Sementara Perppu No 2/2014 hanya mencabut dua pasal UU No 23/2014 yang terkait kewenangan DPRD memilih kepala daerah.
Ada sepuluh poin perbaikan pilkada langsung yang diatur dalam perppu, di antaranya uji publik calon kepala daerah tidak sampai menentukan gugur tidaknya calon dan penghematan anggaran kampanye dengan pembatasan kampanye. Pembatasan kampanye bertujuan mengurangi potensi konflik antarpendukung. Presiden menjelaskan dasar kegentingan memaksa yang dijadikan alasan dikeluarkannya perppu.
Menurut SBY, penolakan luas yang ditunjukkan sebagian besar rakyat Indonesia harus disikapi dengan tindakan yang cepat, dan salah satunya dengan menerbitkan perppu. Ia mengingatkan, UU yang mendapatkan penolakan yang kuat dari masyarakat akan menghadapi tantangan dan permasalahan dalam implementasinya. Hal lainnya yang menjadi dasar kegentingan memaksa ialah jadwal 204 pemilihan kepala daerah tahun 2015.
20 Oktober 2014, Joko Widodo dan Jusuf Kalla dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI Periode 2014—2019. Pelantikan inin merupakan tanda berakhirnya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014. Dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, tahapan penyelenggaraan pilpres diakhiri dengan pengucapan sumpah/janji.
Penyelenggaraan pemilu sebagai transisi pemerintahan berlangsung baik. Tak ada pertumpahan darah dalam transisi pemerintahan ini. Acara dihadiri peserta pilpres yang tak terpilih. Ketua MPR, Zulkifli Hasan menyebutkan nama, Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto dan ketua umum Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa. Keduanya berdiri menyambut penyebutan nama oleh Ketua MPR.
30 Desember 2014, KPU menggelar uji publik perdana tiga rancangan peraturan terkait pemilu kepala daerah serentak. Jika DPR mengesahkan Perppu No 1/2014, tahapan pilkada serentak dimulai Februari 2015 dan berakhir Desember 2015. Waktu persiapan peserta yang sangat terbatas jadi topik utama pembahasan dalam kegiatan yang diikuti para pemangku kepentingan, terutama perwakilan partai politik dan lembaga swadaya masyarakat. Apabila tahapan penyelenggaraan pilkada serentak dimulai Februari 2015, parpol akan kesulitan menjaring bakal calon berkualitas.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) merekomendasikan pengunduran penyelenggaraan pilkada serentak ke Juni 2016. Alasan utama Perludem agar pilkada serentak diundur sampai Juni 2016 adalah demi menciptakan siklus pemilu lima tahunan yang ideal. Jadwal pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada selama ini telah menimbulkan kesemrawutan politik, sehingga mengacaukan tatanan politik, merusak rasional pemilih, menciptakan konflik internal partai politik berkelanjutan, meningggikan biaya politik yang harus ditanggung partai politik dan calon, memboroskan dana negara, dan membebani penyelenggara.
Dengan skenario ini, pekerjaan KPU permanen akan tertata dan siklus lima tahunan yang ideal akan tercapai. Pada tahun pertama pemilu nasional, misalnya 2019, lalu tahun 2020 tidak ada pemilu, 2021 akan pemilu lokal. Ada jeda dua tahun sehingga pemilih bisa menilai dan kemudian memberikan penghukuman atau penghargaan kepada partai melalui pemilu lokal. []
MAHARDDHIKA
Pegiat rumahpemilu.org