September 13, 2024

90% Lebih Mau Memilih tapi Partisipasi Pemilih 75,75%

Partisipasi pemilih di Pilkada DKI Jakarta 2017 meningkat 10,75% dibanding 2012 tapi terjadi ketaksesuaian tinggi antara angka keinginan memilih dan realitas partisipasi pemilih. Masalah pemuktahiran daftar pemilih dan tingkat mobilitas penduduk Jakarta menjadi sebab tak terfasilitasinya keinginan memilih yang tinggi. Dibutuhkan perbaikan regulasi dan sosialisasi pemilih untuk lebih menjamin akurasi kedaulatan rakyat.

“Salah satu pertanyaan suvei kami adalah tingkat keinginan memilih. Angkanya 90 persen lebih. Tapi partisipasinya tak sampai 80 persen. Penting dievaluasi,” kata direktur eksekutif Populi Center, Usep Ahyar dalam diskusi “Partisipasi Pemilih dan Rasionalitas” di kantor Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Jakarta Selatan (27/2).

Menurut Usep, keadaan daftar pemilih di Pilkada DKI Jakarta 2017 mirip dengan daftar pemilih di Pilkada DKI Jakarta 2012. Jika daftar pemilih dengan penduduk sebenarnya dibanding, perbedaannya bisa 25 sampai 30 persen.

Tingkat keinginan memilih 90 persen lebih pun didapat Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Peneliti SMRC, Saidiman Ahmad mengatakan, 99% warga berhak pilih Jakarta ingin memilih. Bahkan 88% meyakini tak akan ada persoalan yang akan menghalangi untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS) pada 15 Februari 2017.

“Pertanyaan kami, ‘apakah akan memilih pada hari pilkada tanggal 15 Ferbuari?’ 99 bilang ya. Kemudian ditanya lagi, ‘apakah di hari pemilihan ada kemungkinan tak datang ke TPS?’ kecil dan sangat kecil kemungkinan menjawab 88 persen,” jelas Saidiman.

Selama pemilihan kepala daerah secara langsung diterapkan di DKI Jakarta, pemungutan suara 15 Februari 2017 merupakan pilkada dengan partisipasi tertinggi. Pilkada 2012 putaran pertama partisipasi hanya 65% yang meningkat di putaran kedua jadi 68%. Pilkada 2007 hanya satu putaran, partisipasi pemilihnya 65,4%.

Hasil rekapitulasi suara manual KPU DKI Jakarta, partisipasi pemilih Pilkada 2017 adalah 75,75%. Ada 5.564.313 pengguna hak pilih dari 7.108.589 nama di daftar pemilih tetap (DPT). Angka DPT ditambah dengan 237.003 nama di daftar pemilih tambahan (DPTb). Angka pengguna hak pilih yang dijumlah DPTb menjadi 5.801.316 dibagi angka DPT yang dijumlah DPTb lalu dikali 100%, maka menghasilkan persentase partisipasi pemilih Pilkada DKI Jakarta senilai 75,75%.

Deputi Perludem, Khoirunnisa “Ninis” Agustyati berpendapat, perbedaan jauh antara persentase keinginan memilih dengan partisipasi pemilih disebabkan dua hal. Pertama, permasalahan pemutkahiran data pemilih. Kedua, mobilitas penduduk Jakarta yang sangat tinggi. Karena dua keadaan ini, sangat mungkin akan banyak warga berhak pilih tapi tak bisa memilih karena persoalan administrasi kependudukan dan pendataan pemilih.

“Tahun 2013 kami mengusulkan, data yang dijadikan dasar pemuktahiran daftar pemilih adalah DPT di pemilu terakhir. Misal, di Pilkada DKI Jakarta 2017 data pemilih terakhirnya adalah Pilpers 2014, inilah yang dipakai menjadi data dasar,” kata Ninis (27/2).

Ninis melanjutkan, DPT selain dimutakhirkan setiap jelang pemilu juga penting dicocokan dengan sensus penduduk. Pencocokan ini juga wajar dilakukan banyak negara. Bukan hanya untuk mengaktualkan data penduduk tapi juga pembanding pengecekan.

“Sayangnya data pencocokan di pemilu, termasuk pilkada, bukan sensus penduduk BPS tapi DP4 yang sumbernya dari DAK2,” ujar Ninis.

Daftar Agregat Kependudukan per-Kecamatan (DAKK) berpotensi dipolitisasi pemerintah dearah untuk kekuasaan dan keuntungan anggaran. Sehingga angkanya cenderung dilebih-lebihkan. Jika penduduk banyak, kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota akan banyak.

Sebagai ilustrasi, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPENAS) memproyeksi penduduk Indonesia 2012 adalah 244.668.283 jiwa. Sementara DAKK 2012 yang dikeluarkan Pemerintah berjumlah 251.857.940 jiwa, sehingga berselisih 7.189.657 jiwa. Jika dikonversi menjadi kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, selesih tujuh jutaan jiwa itu masing-masing menjadi 90 kursi dan 660 kursi.

Koordinator nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafidz mengatakan, salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap partisipasi pemilih adalah pemilih tak berada di tempat pada hari pemungutan suara. Keberadaan atau tempat tinggalnya jauh dari TPS.

“Pola perpindahan masyarakat juga sangat tinggi. Bisa pindah kerja, pindah sekolah sehingga jarak dengan TPS menjadi jauh. Secara teknis mempengaruhi partisipasi pemilih,” kata Masykurudin (27/2).

Ketaksesuaian layanan penyelenggara dan pemahaman warga berhak pilih pun jadi sebab tak tercapainya potensi partisipasi. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di sejumlah TPS berpemahaman tak sesuai dengan regulasi sehingga malah membuat warga berhak pilih menjadi tak bisa memilih. Pemahaman sebagian warga pun masih keliru mengenai kesesuaian nama di DPT dengan waktu jam pemungutan suara.

“Ada pemilih tak mendapat C6 (kartu pemberitahuan memilih) tapi ada di DPT, malah dilayani di satu jam terakhir. Padahal harusnya bisa dari pagi. KPPS antar TPS pun tak baik berkoordinasi saat surat suara di satu TPS habis,” kata anggota Badan Pengawas Pemilu DKI Jakarta, M. Jufri (15/2).

Jufri berpendapat, kesalahan layanan itu bisa disebabkan dari bimbingan teknis (Bimtek) KPPS. Dari 7 orang anggota KPPS, hanya 2 orang yang mendapatkan Bimtek. 2 orang ini yang kemudian menyampaikan apa yang didapat dari Bimtek kepada 5 anggota KPPS lainya. Padahal, banyak perubahan aturan teknis di TPS dibanding pemilu sebelumnya.

Anggota KPU DKI Jakarta, Moch. Sidik menjelaskan kepada publik (15/2) bahwa proses Bimtek kepada perwakilan KPPS sudah dilakukan sebaik mungkin. Termasuk di dalamnya pentingnya menggunakan data pemilih online untuk memastikan pemilih.

Menurutnya, ada pemahaman yang tak sesuai di sebagian pemilih. Di antaranya, warga tak mendapat C6 yang tak bisa memilih padahal seharusnya bisa memilih karena C6 sebatas pemberitahuan, bukan syarat. Lalu, ada yang nama ada di DPT tapi tak dapat C6 tetap datang ke TPS tapi berpemahaman hanya bisa memilih di TPS pada satu jam terakhir (12.00-13.00).

Ada pekerjaan rumah dalam sosialisasi dan kerja bersama antar pihak, khususnya untuk putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017. Memastikan pemahaman sama: 1) Pemilih adalah warga berhak pilih  yang terdaftar di DPT; 2) Pemilih bisa memilih di TPS dari jam 7.00 sampai 13.00 dengan atau tanpa C6.

3) Jika tak ada di DPT, pemilih yang mempunyai e-KTP bisa tetap memilih di TPS sebagai pemilih DPTb dengan menyertakan Kartu Keluarga sebagai verifikasi e-KTP. Pemilih di DPTb hanya bisa memilih di satu jam terakhir (12.00-13.00).

4) Jika warga berhak pilih tak ada di DPT dan tak mempunyai e-KTP, bisa melapor jauh hari ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) di keluarahan, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di kecamatan, penyelenggara wilayah KPU Jakarta Pusat, Barat, Utara, Timur, Selatan, atau KPU Provinsi DKI Jakarta untuk pelaporan tak terdaftar di DPT lalu meminta Surat Keterangan (Suket) ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) yang akan dipastikan namanya pada data hasil perekaman e-KTP. Pemegang Suket dari Disdukcapil pun masuk sebagai pemilih di DPTb. []

USEP HASAN SADIKIN