September 13, 2024

Sumarno: Yang Dilarang Jika Menghina SARA

20160927_055329_sumarno2

Regulasi penyelenggaraan Pilkada 2017 tak bertuliskan larangan mengkampanyekan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam pilkada. Undang-undang Pilkada (No.8/2015 dan No.10/2016) dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.12/2016 tentang Kampanye menekankan pelanggaran mengenai SARA jika terjadi penghinaan.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, Sumarno kepada satu media (20/9) pernah menjelaskan posisi penyelenggara Pilkada 2017 menyikapi SARA berdasar UU Pilkda dan PKPU. Menurutnya, tak masalah jika pemuka agama menyampaikan kriteria pemimpin yang bisa saja salah satu kriterianya adalah seiman. Berikut penjelasannya kepada rumahpemilu.org saat dihubungi (27/9).

Sebagai Ketua KPU DKI Jakarta, anda pernah mengatakan di media tentang kampanye SARA?

Saya mau mengklarifikasi dulu, dalam wawancara itu saya tidak menyebut nama-nama yang akan menjadi calon. Saya hanya menjelaskan posisi SARA dalam aturan pelaksanaan pilkada.

Sebetulnya bagaimana?

Saya menjelaskan bahwa SARA, suku, agama, ras, dan antargolongan itu merupakan fakta dalam demokrasi. Saya setuju dengan pandangan Ketua DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), Jimly Asshiddiqie. Menurutnya, SARA adalah bagian dari demokrasi yang dinamika partisipasinya tak boleh dilarang sehingga harus diakui termasuk di pemilu.

Menurut anda, tak masalah jika ada pemuka atau kelompok agama mengajak untuk memilih pemimpin yang seiman?

Apa masalahnya? Jika ini dipermasalahkan, kita kemungkinan akan mempermasalahkan ajaran agama.

Anda pun tak mempermasalahkan jika ada tokoh masyarakat atau ormas yang mengajak untuk memilih pemimpin yang sesuku atau orang asli daerah?

Iya. Apa masalahnya? Yang dilarang oleh aturan pilkada jika menghina SARA. Jika ada orang Jawa lalu dia merasa pemimpin harus orang Jawa masa ajakannya harus dilaporkan sebagai pelanggaran.

Anda menekankan ajakan memilih berdasarkan SARA menjadi pelanggaran jika menyertakan penghinaan?

Iya. Dalam undang-undang, yang dilarang bukan kampanye SARA tapi penghinaan SARA. Tempat pun juga ada yang dilarang. Tempat ibadah dan tempat pendidikan dilarang dijadikan tempat kampanye.

Soal tempat ibadah dan tempat pendidikan sebagai tempat yang dilarang kampanye, apakah kampanye yang dimaksud harus sesuai pengertian dalam undang-undang?

Undang-undang memang mengartikan kampanye sebagai penyampaian visi, misi, dan program partai. Penerapannya tak akan sekaku ini. Jika di tempat pendidikan ada yang mengajak memilih si A dengan menyebutkan nama atau nomor urut, itu bisa dipahami sebagai kampanye. Ini masuk yang dilarang dalam undang-undang.

PKPU No.12/2016 tentang Kampanye menambah atau (/) dari pengertian sebelumnya dalam UU Pilkada sehingga bisa diartikan (visi, misi, dan program) tak harus akumulatif. Tanggapannya?

Iya. Kami sedang membuat petunjuk teknis (Juknis) untuk menindaklanjuti PKPU itu. Kami sedang membuat aturan yang lebih teknis sehingga dilapangan lebih aplikatif.

Mengenai pendidikan dan kampanye memilih, KPU akan melakukan apa?

KPU DKI Jakarta sudah beberapa kali mengajak sekolah dan perguruan tinggi untuk bekerjasama melakukan pendidikan pemilih. Kami ada juga Election Camp. Ada juga Kursus Pemilu. Agendanya sedang disusun kapan dan di mana saja kegiatan ini dilakukan. []